Mohon tunggu...
Erna Suminar
Erna Suminar Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar, sederhana dan bahagia

# Penulis Novel Gerimis di El Tari ; Obrolan di Kedai Plato ; Kekasih yang tak Diinginkan ; Bukan Cinta yang Buta Engkaulah yang Buta. Mahasiswa Program Doktor Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Statsion Tugu

14 Januari 2015   03:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:12 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14211549001512458513

[caption id="attachment_390569" align="aligncenter" width="259" caption="sumber gambar : satuluka.blogspot.com"][/caption]

Kereta melaju dari Statsion Tugu. Lelaki  itu duduk di gerbong terakhir. Melepas pandang dan mencoba membenamkan gumuk-gumuk ingatan, di lipatan ruang yang maha dalam. Berharap, suatu hari, kota ini  terlalu  purba  untuk dikenang. Ketika  peluit kepergian ditiup, sudah tak lagi  ada waktu  untuk saling menunggu.

Perempuan-perempuan genit di Pasar Kembang, melepas lirikan, menjilati kesedihan. Semua manusia tahu, persetubuhan dengan dunia, hanya akan mengekalkan duka. Seperti politikus yang melacurkan hati dan pikiran,  tak akan pernah mampu merumahkan bahagia.



Tetapi, aku pernah bahagia di sini…

Ketika ia ingin menabur bunga pada setiap jengkal ingatan yang membuatnya terluka, kenangan mengalir, sederas Selokan Mataram  selepas hujan. Sejatinya, air itu bening. Di Selokan Mataram seluruh menjadi keruh. Inilah mungkin lumpur-lumpur yang terkuak dari pori-pori  bumi. Sepeti rasa sakit yang meluncur dari lipatan hati. Indah, jika air itu mengalir lalu  yang tersisa adalah  hening. Selaksa cinta bersalin rupa  seharusnya menjadi suka cita.

Mengingatmu semestinya indah.  Yang tersisa hanyalah  perih..!  Apakah memang cinta kerap melarut bersama duka? Seperti rindu yang bersekutu dengan kegelisahan, lalu tunai setelah  bertemu?  Jika saja ada amnesia tentang sejarah, yang melarung kemudian hilang dari ingatan,  aku ingin itu, adalah  kamu…!



Seharusnya dan semestinya adalah, serupa rantai  ketidakrelaan untuk melepaskan atas kemelekatan. Saat kereta melaju, di kota ini, yang paling mungkin dilakukan lelaki itu adalah menitipkan masa lalu. Tetapi, perempuan itu terlanjur masuk dalam rangkaian gerbong kehidupannya. Sekalipun ia berusaha tindas semua kenangan. Bayang-bayang  menyelinap tanpa rasa  hormat. Lelaki itu memejamkan mata,  memeramkan kepedihan di rongga dada, lalu   merumuskan perasaan baru.

Suatu waktu, aku harus berhenti mengingatmu. Melupakanmu pasti  butuh waktu. Untuk mengubur seluruh  perasaan, bahwa aku pernah mencintaimu.

(Yogyakarta, 2013)

________________

*) Puisi ini telah dimuat dalam buku    Kumpulan Puisi  : "Kekasih yang Tak Diinginkan" (2014)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun