Mohon tunggu...
Erna Manurung
Erna Manurung Mohon Tunggu... Penulis - Sedang bermukim di kampung halaman (Serang, Banten)

Senang menulis hal Ikhwal masalah-masalah kesehatan jiwa, sesekali jalan-jalan di sekitar rumah lalu melaporkannya ...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerita-Panjang] Kala Usia Senja Tiba #5

16 Juni 2021   08:00 Diperbarui: 16 Juni 2021   08:10 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah kebetulan atau memang sudah diatur, kedua orangtua Sarweni akhirnya dipindahtugaskan di kota asal mereka dimana mereka sekarang tinggal. Hari-hari setelah sang nenek pergi, kehidupan Sarweni hanya dilalui bersama ayah dan ibunya. Ia batal kuliah dan memilih bekerja.
 
Nasib baik berpihak padanya. Tidak lama setelah masa berkabung, Sarweni ditawari bekerja di panti wreda tidak jauh dari rumahnya. Kata orang panti, ia diminta bekerja di bagian administrasi. Tapi sesekali membantu bagian dapur dan mengurus kebersihan rumah. Tak mengapalah, pikir Sarweni. Yang penting aku sibuk.
 
Sarweni bekerja dengan senang hati. Di panti ini ada asrama besar berisi orang-orang yang sudah tua. Malah ada yang setua neneknya. Ketika melihat mereka berjalan tertatih-tatih dan begitu bergantung pada orang-orang di sekitarnya, Sarweni ingin membantu mereka.
 
Kepala panti mengizinkan, asalkan Sarweni bersedia mengikuti pelatihan. Namun sampai 6 bulan berganti tugas, ia tidak sekalipun dipanggil untuk mengikuti pelatihan. Sarweni mengerjakan tugas-tugasnya secara otodidak saja. Mengikuti naluri. Toh seumur hidupnya, ia hidup bersama seorang nenek.
 
Tetapi Sarweni hanya dua tahun saja bekerja di panti.
 
“Saya kehilangan kestabilan mbak,” Sarweni kembali bercerita.
 
“Kenapa? Kamu tidak betah bekerja di situ?” tanya Lestari. Ia dan Sarweni masih duduk-duduk di kamar itu.
 
“Bukan, saya senang melayani orang-orang tua. Tapi saya tidak tahan setiap kali mendengar kakek dan nenek di sana mengeluh karena keluarganya tidak ada yang menjenguk. Panti itu milik pemerintah. Fasilitas dan tenaganya saagat terbatas. Maklumlah, karena biayanya juga murah. Malah banyak lansia yang ditanggung sepenuhnya oleh panti. Tapi konsekuensinya, pelayanannya serba terbatas.”
 
Sarweni melanjutkan cerita …
 
“Saya sering tidak tahan kalau melihat ada nenek yang tidak bisa membersihkan kotorannya, lalu tidak ada orang yang membantu. Sering saya saksikan, orang-orang tua itu keluar dalam keadaan bau semerbak dan diomeli oleh teman-temanya. Ada juga yang sepanjang hari terbaring di tempat tidur dan menunggu berjam-jam untuk dibersihkan. “
 
Lestari dengan sabar menyimak …
 
“Saya memang lelah karena kurang istirahat. Tapi lebih menyakitkan kalau ada nenek-nenek jompo yang sudah tidak bisa mengurus dirinya sendiri, diabaikan keluarga, plus tidak punya uang sama sekali untuk membayar fasilitas panti.
 
“Lima bulan sebelum saya keluar, hampir setiap hari saya menunggui orang-orang yang meninggal karena sakit. Kebanyakan mereka itu tidak pernah dijenguk keluarganya. Syukurlah kepala panti di sana peka dengan kesedihan yang dialami para penghuni. Setiap kali ada yang meninggal, besoknya kami berkumpul dan mengadakan acara khusus. Maksudnya, mau menghibur orang-orangtua yang kehilangan sahabat-sahabat mereka. Tapi kadang itupun menimbulkan rasa takut pada beberapa orangtua. Setiap kali ada yang meninggal, mereka menangis karena takut bahwa esok hari giliran mereka yang pergi.”
 
“Saya tidak tahan. Ibu saya juga khawatir dengan keadaan saya. Ia minta saya keluar dan segera kuliah lalu bekerja sebagai guru seperti mereka. Tapi saya tidak pernah ingin menjadi guru. Saya tetap ingin menjadi perawat. Tapi jangan menjadi perawat yang cengeng. Saya ingin menjadi perawat yang kuat dan tegar.”
 
Lestari terharu mendengar kerinduan gadis ini. Rasa-rasanya, setiap profesi memiliki kerapuhannya sendiri. Yang akan membawa kita pada kepedihan dan keterhilangan.

***
 
Sarweni kemudian bertemu teman masa kecilnya yang liburan ke Sulawesi. Namanya Endah. Endah kuliah di Yogjakarta, mengambil sekolah keperawatan. Sarweni tertarik kuliah di tempat yang sama karena kampus itu menyediakan beasiswa bagi calon mahasiswa yang nilai akademiknya tinggi, sehat, dan punya jiwa melayani.
 
“Kamu coba saja ikut tes di Makasar. Siapa tahu lolos. Nilai raportmu ‘kan tinggi?” usul Endah.
 
Makassar adalah kota yang ditetapkan sebagai lokasi ujian bagi calon mahasiswa yang berdomisili di Indonesia Timur.
 
Setelah diizinkan oleh kedua orangtuanya, Sarweni mengikuti saran Endah. Mengikuti tes di Makassar untuk mendapat beasiswa. Keberuntungan berpihak padanya. Sarweni lolos tes dan mendapatkan beasiswa 75 persen selama kuliah 8 semester. Memasuki tahun ajaran baru, ia diantar ayahnya ke Jogja untuk memulai kuliah di kota pelajar ini.
 
Ini adalah tahun ketiga bagi Sarweni. Sesuai kurikulum, ia diwajibkan mengikuti kerja praktek di salah satu panti lansia selama 2 bulan.
 
“Kamu senang ya, kuliah di keperawatan?” tanya Lestari lagi.
 
“Hmmm, iya, suka mbak. Pada dasarnya saya suka melayani orang. Apalagi orang yang sudah tua,” jawab gadis itu dengan jujur.
 
“Tapi saya sedih dengan banyaknya panti lansia yang kurang diurus dengan baik. Terutama yang dihuni orang-orang tua tidak mampu, yang tidak punya tunjangan pensiun, dan yang dibuang keluarganya karena tidak sanggup merawat orangtua mereka. Lagipula, kenapa banyak orang yang tidak mempersiapkan diri ketika memasuki hari tua ya, mbak?” (bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun