"Kenapa keluar dari pekerjaan?"
"Saya merasa sudah cukup puas bekerja di sana. Saya ingin mencari pengalaman kerja di tempat lain, bu."
"Iya, tapi kenapa Adik tertarik bekerja di sini? Apakah orangtuamu sudah tidak ada?"
"Ya. Tetapi bukan itu alasan saya ingin bekerja di sini, bu. Lagipula ada keluarga adik Papa yang tinggal bersama saya sekarang."
"Mereka mengizinkan?"
Aduh bu! Saya perempuan dewasa. Bukan anak belasan tahun yang harus minta izin orangtua untuk menjadi pekerja sosial, protes Lestari dalam hati. Pikirannya terus berbicara sendiri.
Oke, saya paham mengapa Yayasan meragukan niat saya bekerja di tempat ini. Saya mungkin masih terlihat muda. Perawakan sayapun kecil, mana pantas jadi ibu Asrama. Tapi kan, posisi itu yang sedang kosong di sini? Sudahlah bu. Tunjukkan saja bagaiman saya harus bekerja, harap Lestari. Bibirnya terkatup, tapi berharap ibu Yani mengizinkan dia menjadi ibu Asrama bagi sekumpulan Opa dan Oma di sini.
Tahukah bu, saya ingin sekali menjadi orang yang dibutuhkan. Saat ini tidak ada lagi teman-teman sebaya. Saya lebih banyak bergaul dengan anak-anak muda bergaya posmo. Punya dunia sendiri dan tidak tertarik bersahabat dengan perempuan single 40-an seperti saya.
Lestari masih ngedumel dalam hatinya ketika ibu Yani menawarkan pekerjaan menangani Koran Lansia. "Anda pegang koran saja dulu. Nanti kita lihat, apakah tugas sebagai ibu Asrama bisa Anda jalankan,” pungkas ibu Yani. Kali ini ia sudah memanggilnya dengan 'benar'.
***
Lestari menghembuskan napas panjang ketika keluar dari ruangan ibu Yani. Lagi-lagi ia ditawari pekerjaan lama. Menulis. Tapi baiklah. Ia akan mencobanya. Bukankah untuk menulis perlu bertemu dengan orang-orang yang tinggal di asrama ini?