Hati anak kecil itu membuncah setiap kali mendengarnya. Mau makan apa adalah kemewahan. Tidak setiap saat ia mendengar tawaran ini. Dan hari ini ia mendapatkannya.
"Aku mau makan bakso, Ma," jawabnya penuh semangat.
"Bakso lagi?" tanya ibunya.
Si bocah mengangguk riang. Ya, bakso lagi. Yang tempatnya di sudut pasar sentral tempat ibunya biasa berjualan serta berbelanja kebutuhan dapur.
"Baiklah. Kita ke sana. Tapi ingat ya, jangan pakai sambal," nasihat sang mama.
"Iya."
Sambal adalah kegemaran si bocah yang masih berumur 7 tahun itu. Meski sering berkeringat kepanasan, ia tetap saja mencari sambal setiap kali makan di luar. Sedangkan ia anti makanan pedas. Entah sejak kapan. Mungkin sejak ayah si bocah pergi tanpa pamit dan meninggalan hati yang pedas di hatinya. Atau barangkali ada sebab lain.
Mereka menemukan bangku yang masih kosong di dekat perapian. Anaknya lebih senang duduk di ujung ketimbang di tengah. Meski ibunya berkali-kali meminta si bocah pindah duduk, tak akan mempan. Alasil, tampaklah pemandangan yang ganjil; dua ibu duduk bersebelahan, di pinggir dan di tengah, sementara si bocah duduk di tepi yang lain.
Karena itu, kali ini ia membiarkan ketika Nehemia, nama bocah itu, segera menentukan posisi duduknya. Ia mengapit ibunya bersama ibu yang satu lagi di ujung yang lain.
Sang mama tersenyum. Sambil menungu bakso dihidangkan, mereka menikmati teh manis panas yang sudah lebih dahulu dipesan.
Sembilan tahun lalu, tempat ini masih asing bagi keduanya. Sejak perempuan itu masih bersama suaminya, dan bahkan ketika si kecil lahir, ia hidup nyaman di rumah. Segala kebutuhan tercukupi dari gaji si kepala keluarga. Karena itu ia tak pernah diizinkan bekerja di luar rumah, apalagi berjualan soto seperti yang kini dilakukannya.