Mohon tunggu...
Erna Manurung
Erna Manurung Mohon Tunggu... Penulis - Sedang bermukim di kampung halaman (Serang, Banten)

Senang menulis hal Ikhwal masalah-masalah kesehatan jiwa, sesekali jalan-jalan di sekitar rumah lalu melaporkannya ...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pengalaman Penyintas Masalah Kejiwaan dan Dukungan untuk Mereka

6 Juni 2021   11:41 Diperbarui: 18 Juni 2021   06:26 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi pendamping atau caregiver bagi penyintas masalah kejiwaan sungguh tidak mudah. Apalagi mereka (penyintas) yang memiliki pemikiran untuk bunuh diri (suicide). Para pendamping ini perlu mendapat dukungan secara emosional dari pihak lain, apakah itu keluarga, teman/sahabat, atau komunitas. Serta diperlengkapi dengan pengetahuan yang memadai mengenai masalah-masalah yang dialami oleh si penyintas.

Pada tanggal 20 April 2021 lalu, akun instagram (IG) IntoThe Light Indonesia, sebuah komunitas advokasi, kajian, dan edukasi pencegahan bunuh diri & kesehatan jiwa orang muda, menayangkan perbincangan mengenai isu ini. Dengan mengangkat tema "The Voice of Caregiver: What it Means to be a Caregiver", kita akan melihat bagaimana tantangan dan pergulatan seorang caregiver ketika mendampingi penyintas. Perjalanan pendampingan yang menguras waktu, tenaga, dan pikiran (serta emosi tentunya) akhirnya membawa dia pada jalan keluar bagi penyintas, yaitu mendapat pertolongan profesional.

Saya merangkum percakapan ini melalui tayangan tundanya beberapa waktu lalu. Selain itu, saya juga mengutip beberapa sumber tertulis yang tercantum di dalamnya.

Disclaimer: dalam tulisan ini saya akan menulis secara gamblang mengenai persoalan yang dialami oleh penyintas, yakni pemikiran atau upaya untuk bunuh diri. Apabila pembaca merasa terganggu dan kurang nyaman dengan istilah yang digunakan, silakan melewati tulisan ini.

Pengantar

Sebagai pembuka, tidak ada salahnya kita memahami kembali siapa itu Caregiver. Caregiver) adalah sosok individu yang mendampingi dan memberikan dukungan sosial kepada seseorang yang sedang menjalani perawatan. Jenisnya ada banyak, salah satunya caregiver untuk orang yang memiliki pemikiran untuk bunuh diri. 

Sylvia Adriana (Sylvi), Voice Coordinator Into The Light Indonesia, yang juga adalah Personal Caregiver membagikan pengalamannya. Ia tidak menyebutkan identitas orang yang didampingi, untuk melindungi privacy-nya. Namun untuk memudahkan menulis rangkuman ini, saya 'memberi nama' penyintas tersebut Ari. 

Jadi ini nama samaran saja ya. Sesungguh-sungguhnya, saya tidak tahu namanya, sebab memang identitasnya dilindungi. Dalam perbincangan tersebut, Sylvi ditemani oleh Selvi yang bertindak sebagai moderator.

Cerita Sylvi

Ketika Sylvi mendampingi Ari, awalnya ia bingung apa yang terjadi dengan dia. Ia sama sekali tidak dipersiapkan untuk itu. Sylvi juga tidak tahu apa yang terjadi dengan Ari. Ari adalah orang terdekatnya saat itu. Mereka berkomunikasi setiap hari, tapi posisi Silvy lebih banyak sebagai pendengar dan merespons sebisanya. Sedangkan pihak Ari lebih banyak bercerita.

Masalah bermula ketika Ari tidak mau masuk kerja. Padahal saat itu posisinya di kantor cukup baik. Dengan pengetahuan yang terbatas, Sylvi bertanya apa adanya dan ia terkejut ketika menyaksikan respons Ari yang cukup agresif. "Ini di luar dugaan. Awalnya aku merasa bingung, lalu terkejut dan kemudian merasa takut. Inilah yang pertamakali aku rasakan," ujar Sylvi. 

Ia melanjutkan, "Sebetulnya ketika itu aku melihat sesuatu yang tidak beres, lalu menyarankan Ari untuk menemui profesional. Pilihan Ari langsung ke psikiater. Ia tidak ingin ke psikolog karena marasa akan merepotkan dirinya. Ari memang tidak mau bertemu banyak orang. Dari hasil kunjungan ke psikiater, dia terdiagnosa mengalami depresi."

Setelah berkunjung ke psikiater 2-3 kali, akhirnya Sylvilah yang menjadi perantara Ari dan psikiater. Selama di dekat Ari, Sylvi diam-diam memantau perkembangan Ari lalu melaporkan hasilnya kepada psikiater.

Selanjutnya Sylvi membagikan kisahnya kepada Selvi (moderator), dalam bentuk tanya-jawab berikut ini:

Hai Kak, selama menjadi caregiver tentu ada kendala dan tantangan dalam menghadapi orang yang punya keinginan kuat untuk suicide. Apa saja bentuknya, Kak?

Aku merasakan banyak tekanan, baik secara fisik maupun emsional. Juga secara finansial. Itu semuanya melelahkan. Tapi yang paling berat adalah secara emosional. Tantangan ini agak tricky, karena proses aku mendampingi orang itu sudah cukup lama sejak dia mengutarakan keinginan bun-dirnya dan mencoba upaya-upaya tersebut di depan mata.

Aku cukup lama mendengar keluhan, curhatan, dan emosi negatif si Ari, lalu ketransfer (tertular) ke aku. Karena begitu seringnya terpapar hal-hal yang buruk dari dia, akhirnya timbul pikiran dalam diri aku, 'Oh, mungkin memang begitu (bundir) 'kali ya solusinya?'

Dengan terpapar emosi negatif terus-menerus, cukup menguras tentunya. Bagaimana Kakak mengatasinya?

Aku juga (awalnya) bingung. Pikiranku penuh banget, dan responsku pada saat itu cuma, ya sudah, dengerin aja. Tapi ada hal yang perlu dibedakan. Betul dia depresi.  Dia merasa tidak nyaman, dia merasa sakit, dan lain-lain. Oke, kita validasi emosinya. Aku selalu bilang, "Iya, jadi elo pasti nggak enak."

Tetapi ini pun nggak gampang. Situasinya menjadi buruk itu ketika kita menerima begitu saja emosi negatif dia tanpa boleh meng-counter-nya. Ibaratnya dia bilang, 'gue boleh ngelempar kotoran ke elu, tapi soal kotorannya mau kamu bersihkan atau buang, itu urusan kamu. Yang jelas kamu nggak boleh lempar balik ke aku. Karena hal ini, aku nggak bisa melakukan apa-apa dan ini berat banget sih. Padahal, kita harus membedakan antara memvalidasi perasaan-perasaan dia dengan tidak membenarkan perilakunya.

Kalau seorang penyintas mengeluarkan kata--kata yang buruk, bagaimana caranya supaya kita tidak sakit hati atau terbawa perasaan marah?

Sebentulnya, untuk tidak membalas kata-kata kasar dari seseorang itu agak sulit. Kalau dibilang jangan baper, sangat nggak mungkin karena hal ini sudah sangat menyakitkan. Kalau itu terjadi, aku menahan diri dan tarik nafas sekuat-kuatnya lalu hembuskan lagi. Ini aku lakukan berulang-ulang. Kalau aku pengen nangis, aku nangis aja. Yang pasti, jangan mengingkari efek dari emosi negatif yang kita alami. Kalau perlu, lampiaskan kemarahan kita melalui barang, asalkan jauh dari dia. Emosi itu harus dilampiaskan dan dikeluarkan. Jangan dipendam.

Sebagai seorang caregiver, kita juga perlu rutin memantau kondisi mental orang yang kita dampingi seperti apa? Kebutuhannya seperti apa? Bagaimana cara kamu memahami kebutuhan orang itu?

Pertama, dengan melihat Ari mau bicara dengan aku pun itu sudah bagus. Aku mendengarkan dia tanpa berargumen. Kadang aku harus mengikuti kemauan dia, daripada keadaannya menjadi lebih buruk.
 
Tetapi yang penting, seorang caregiver harus bisa menarik batasan dengan penyintas dan memiliki komunitas pendukung. Serta, memahami kondisi mentalnya sendiri. Makan yang cukup dan sebisa mungkin carilah cara untuk tetap seimbang (mental dan fisik).

Hal atau pelajaran apa yang paling bermanfaat selama Kakak menjadi caregiver?

Hal penting buatku adalah dimana aku bisa merawat dia tapi tidak bisa merawat diri sendiri. Saat itu aku membuat kesalahan yang besar; salah satunya, berusaha menjadi penyelamat. Mungkin ini yang dinamakan Savior Syndrome. Karena saat itu posisi aku sebagai orang yang paling dekat, aku berpikir bahwa nggak ada lagi yang bisa nemenin dia. Ya udah, pikirku. Harus aku yang menolong dia, hanya aku yang bisa.

Ternyata  itu salah besar. Kita nggak bisa memposisikan diri kita sebagai penyelamat. Aku adalah orang yang paling dekat dengan dia. Maka emosi negatifnya tuh pindah ke aku. Aku merasa bahwa itu tanggung jawab aku dan aku yang mesti menyembuhkan dia. Dan aku berupaya banget buat menyembuhkan dia. Tapi ini membuat aku jadi mengorbankan diri sendiri, tidak lagi memikirkan keperluanku sendiri. Yang penting, gimana caranya aku bisa menolong dia supaya dia nggak punya pemikiran ingin bunuh diri lagi.

Akhirnya aku mencari bantuan profesional dan belajar untuk tidak terjebak dalam Savior Syndrome yang selalu ingin menyelamatkan dia (Ari).

Kemudian Sylvi menceritakan sebuah kejadian dimana dia berada dalam posisi yang membahayakan. Rupanya Ari telah mempersiakan sebuah rencana yang mengancam keselamatan baik dirinya maupun Ari. Atas pertolongan Tuhan, Sylvi berhasil menghubungi psikiater yang menangani Ari. Lalu Ari dibawa ke salah satu rumah sakit jiwa yang ada di Jakarta dan dirawat di sana hingga pulih. Dalam sebuah kesempatan Ari meminta maaf kepada Sylvi atas yang pernah ia lakukan kepadanya.

Tips dan Saran buat orang yang mendampingi penyintas suisice, apa saja Kak?

Bagi para caregiver di luar sana, jangan mencontoh pengalaman aku. Apapun masalah yang dia alami, kita hanya bisa memvalidasi perasaan-perasaannya. Tetapi hidupnya bukan tanggung jawab kita. Diri kita ini terlalu berharga untuk dikorbankan sedemikan rupa demi orang lain.

Selain itu, beberapa tips yang bisa aku bagikan buat kalian: kalian harus banyak istirahat, bekali diri kita dengan pengetahuan yang cukup tentang orang yang kalian dampingi, menyimpan nomor kontak darurat. Kita juga harus memiliki prioritasyang tepat  supaya pekerjaan utama kita tidak keteteran. Milikilah manajeman stres yang baik, seperti olahraga dan makan yang benar. Ini akan sangat  membantu kita. Kemudian, belajarlah mengenali diri sendiri dan pahami keterbatasan diri kita. Ingat, seorang caregiver untuk penyintas suicide bukanlah penyelamat, juga bukan konselor. Kita hanya menemani mereka.  

Penutup
Menjadi  caregiver, khususnya untuk penyintas masalah-masalah kejiwaan, memiliki banyak tantangan. Yang sering dihadapi antara lain: (1) Sulitnya memberi perawatan pada orang yang dirawat dalam hal medis maupun kegiatan sehari-hari; (2) Caregiver kurang mendapatkan dukungan sosial; (3) Kesulitan berkomunikasi dengan caregiver lain atau dengan orang yang dirawat; (4) Masalah keuangan untuk biaya perawatan dan kehidupan sehari-hari. 

Maka, untuk menjadi caregiver yang efektif selain menyediakan waktu untuk beristirahat, mereka perlu mengikuti pembelajaran atau kursus singkat mengenai kondisi orang yang dirawat, membuat perencanaan finansial dan legal, mengikuti kelompok pendukung (support grup), dan memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitar kita atau masyarakat (IG Into The Light Indonesia, dengan mengutip sumber-sumber).

Mari kita dukung para pendamping/caregiver di dalam tugas-tugas dan peran mereka. ***

______________

Gbr: tangkapan layar dari i.pinimg.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun