[caption caption="ilustrasi: saat dia mempercepat langkanya | Dok. Pribadi"][/caption]Pasti dia sudah menunggu lama menanti kedatanganku. Dari bandara yang hanya berjarak beberapa kilometer dari Pintu 1 depan Kampus Merah. Harusnya saya sudah memperhitungkan saat dan titik macet di Kota Makassar.
Beruntung dia tenang menunggu. Jadi handphoneku tidak sibuk bunyi untuk menerima panggilannya akibat penantian selama tiga jam. Aku memintanya untuk masuk di toko buku tempat dia menunggu. Tetapi dia enggan. Aku memintanya dia ke warung makan, dekat tempat dia menunggu. Tetapi dia enggan. Akhirnya, aku menyerah memintanya.
Loloslah dari kemacetan, aku melihat handphoneku yang sudah menunjukkan pukul 14:15 WITA. Sekitar tiga menit lagi sampailah mobil yang mengantarku di tempat pertemuan (pertama) kita.
Dari jarak sekitar lima puluh meter, sebelum mobil berhenti, kulihat dia yang tidak bermuram durja sedikitpun menungguku. Aku meminta mobil berhenti di depan. Tepat di depannya. Aku membayar mobil sesuai kesepakatan dengan driver di bandara.
Aku turun sambil tunduk. Menuju ke dia. Menuju pria yang sedari tadi menungguku. Aku sudah merasa dia melihatku pas turun dari mobil. Dia menujuku. Hingga kedua langkah kami berhenti. Aku masih tunduk. Sampai kuulurkan tanganku dan menyalaminya. Aku melihat wajahnya. Aku selami mata redupnya.
Senyum dua senti ke kanan dan dua senti ke kiri menghiasi wajah kami. ”Mauki jalan ke mana dulu (Mau jalan ke mana dulu)?”, katanya sambil menutup dan memasukkan buku yang dibacanya tadi ke dalam ransel hitamnya.
”Jalanmeki ke kampus dulu Kak, terus singgahki makan di Workshop (Kita jalan saja dulu Kak, terus kita singgah makan di Workshop)”, balasku sambil menyeka keringatku yang sudah membasahi alisku.
Lalu kami berjalan kaki memasuki Kampus Merah lewat Pintu 1. Sejak enam tahun yang lalu hingga sekarang aku masih takut menyeberang di jalan ini.
***
Namanya Damang Averroes Al-Khawarizmi, sering kupanggil dengan nama Zainuddin. Karena kami. Di awal perkenalan, sama-sama suka dengan penjiwaan yang dilakonkan oleh Zainuddin dan Hayati di film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Sebuah film yang diangkat dari novel karya Hamka. Dari situ juga, dia sering memanggilku dengan Hayati.
Hayati yang dinantinya, kini telah berjalan di sampingnya. Mendengar suara Hayati. Melihat sosok Hayati. Langkah kami berbanding lurus dengan diam kami. Mungkin dia sedang bercengkerama dalam-dalam dengan jiwanya. Sedang aku hanya memperhatikan sepatunya dan sepatuku yang sengaja kusamakan, kaki kanan-kaki kanan, kaki kiri-kaki kiri. Hingga tali sepatuku lepas.
Maka diamnya pecah. Dia tertawa. Melihat tingkahku yang menyamakan langkahnya. Kupasang wajah dengan bibir mengkerucut. Dia tertawa lagi. Dan mempercepat langkahnya. Kuambil kesempatan untuk memotret tampak belakangnya.
Tibalah kami di Fakultas ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Unhas. Kulihat kanan kiri. Tidak ada yang berubah sejak terakhir aku meninggalkan Makassar. Hanya pada di halaman depan Fisipol, terlihat megah. Bertuliskan nama Fakultas tersebut. Berlatar putih bersih.
Karena waktu telah menunjukkan pukul 14:45 WITA. Aku mengurungkan niatku untuk tidak masuk ke fakultas. Takut waktunya tidak dapat. Penerbangan selanjutnya pukul 20:05 WITA. Maka Aku mengajaknya untuk makan di Workshop sebelum ke bandara lagi.
***
Taksi sudah datang menjemput. Aku mengeluarkan buku dari ransel coklatku, yang telah kubungkus rapi dnegan kertas buram kecoklatan sehari sebelum ke Makassar. “Buku kesukaanku, jagakanka Kak (Buku kesukaanku, tolong dijaga Kak),” nada suaraku merendah. “Kenapa dikasika, Dek, nah kita butuh juga pasti (Kenapa kamu memberikannya ke saya, pasti kamu butuh juga). Aku hanya tersenyum. Enggan menangis di hadapannya.
Sebelum menutup pintu mobil, dia meraih tanganku dan berkata, ”Kusayangki, tolong jaga cintaku”, sambil menyerahkan buku kumpulan cerpen yang sudah sangat tidak asing lagi bagiku, Menetak Sunyi. Kumpulan cerpen yang ditulis bersama dua rekannya. Yang sudah kudamba sedemikian bulan. Yang dia berjanji akan diberikan pada pertemuan pertama.
“Pergima Kak”, taksi melaju.
Kututup mataku dengan kedua telapak tanganku. Enggan melihatnya di kaca spion. Enggan melihatnya yang berdiri memandangi taksi yang mengantarku menjauh dari tempatnya berdiri. Dia pasti begitu sedih.
Aku meninggalkannnya setelah kusempatkan waktuku hanya beberapa jam. Hanya karena macet. Yang kuperhitungkan bisa tiba on time di bandara. Aku tidak ingin tiba di bandara dengan mata membengkak. Untuk meredakan tangisku. Aku minum air yang dia sudah belikan untukku. Agar dalam kemacetan aku tidak kehausan. Kukuatkan diriku mengambil handphone untuk mengiriminya pesan:
Sayangku, terima kasih atas waktumu di tengah sibukmu. Dan maaf, di hadapanmu, aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu: Erna, bahagiakah engkau denganku?. Maka di sini aku ingin menjawabnya: Sayangku, saya sangat bahagia denganmu. Adakah saya tidak bahagia, ketika menggenggam tanganku saat akan menyeberang? Adakah saya tidak bahagia, ketika engkau dengan cepat menali sepatuku yang lepas?
Dia membalas: I LOVE YOU SAYANGKU (dengan smiley sedih)
Kubalas: Sayangku, aku tahu engkau begitu pilu, di pertemuan pertama kita yang hanya beberapa jam saja. Dengan itu, saya mempersiapkan segalanya di buku yang aku berikan kepadamu pada perpisahan kita. Buka halaman 310 sayangku. Ada luapan rindu yang bisa engkau baca di setiap engkau merinduku yang melebihi beberapa jam pertemuan tadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H