Asa kian meninggi di tengah kegamangan berjalan maju atau mundurnya demokrasi di negeri ini. Terbukti dengan kemasan semangat demokratisasi yang tidak main-main. Perdebatan tentang demokrasi juga menjadi warna mencolok hampir di setiap kajian. Tidak hanya itu, pengatasnamaan demokrasi untuk kebijakan tidak pernah alpa mengorbit dalam retorika. Alhasil, demokrasi seharusnya menjadi barang yang mudah ditemukan. Sayang seribu sayang, demokrasi menemui kesialannya. Demokrasi akhirnya menjadi barang langka, mendekam dalam penjara transisi.
Perlahan-lahan namun pasti nilai demokrasi dijauhkan dari ‘induknya’. Dilahap habis oleh kekuasaan, oleh oligark-oligark, oleh kebijakan berbasis kepentingan elit dan golongan, dan keserakahan. Ditelan mentah-mentah ketika demokrasi masih seumur jagung, menghampiri usia 18 tahun pasca Orde Baru digulingkan. Masih sangat belia ketika demokrasi menjadi ujung tombak, alat dan tujuan kesejahteraan. Tapi hanya dijadikan bola mainan yang bisa dioperkan kemana elit berkepentingan. Ironisnya demokrasi ibarat diiris sembilu. Begitu menyedihkan.
Atas nama kesedihannya itu, nilai-nilai yang dijauhkan darinya, transisi berkepanjangan, dan nyaris tanpa hasil, dan demokrasi bisa saja tenggelam ke dalam lautan luas dan bergelombang. Hingga tidak lagi tampak kehebatannya seperti di awal, ketika dipilih menjadi sistem yang terbaik dari yang terburuk. Karena demokrasi sedang tidak berteman dengan agen demokrasi manapun, kecuali mereka yang sibuk berdebat namun tidak menembus gerbang permasalahan demokrasi.
Partai politik yang katanya kawan sejati, teman hidup-matinya demokrasi, juga tidak menunjukkan kesetiaannya. Partai politik berjalan di atas rel nihil demokrasi. Hanya menciptakan ‘abu jalanan’ bagi rakyat. Di tengah gagahnya warna-warna kebesaran partai politik, mereka hanya mempertontonkan warna abu-abu, nyaris buram. Apa lacur, demokrasi masih mengharapkan partai politik menjadi kawan sejatinya sampai suatu saat tatkala demokrasi hanya tertulis dalam sejarah, yakni tinggal nama.
Yah, demokrasi sedang tidak sehat. Penyakit akut sedang menghampirinya. Karena urat nadi rakyat nyaris terputus dalam jasadnya oleh korupsi yang telah lama menggerogoti, oleh elit oligark yang hanya merisaukan kepentingan pribadi dan golongannya, dan akhirnya masyarakat cenderung apolitis. Maka demokrasi patut dilebarkan sayapnya sebagai ‘malaikat’.
Demokrasi sebagai ‘malaikat’, bahkan tidak sedikit beranggapan bahwa demokrasi sebagai ‘iblis’. Dua sifat yang tentu bertolak belakang. Karena siapapun, golongan manapun dengan kekuasaannya dapat melebarkan sayapnya sebagai malaikat dan sebagai iblis menuju kesejahteraan atau kesengsaraan. Namun sayang, bagi rakyat itu masih curam, buram, dan suram. Tidak nampak bahkan hanya bayangannya saja. Sulit mengidentifikasi di tengah keterbukaan yang luar biasa tidak terbendungi. Potensi ini ternyata tidak berhasil dibendung oleh demokrasi yang lahir dari rahimnya sendiri.
Namun, segala peluh yang ditanggung, demokrasi masih menyisakan harapan besar. Tombak kesejahteraan masih menjadi PR belum terselesaikan. Demokrasi tidak akan terus menerus takluk pada pengemas yang tidak acuh pada isi demokrasi. Rakyat juga tidak akan berkelanjutan dengan hanya menyantap kemasan tanpa tahu rasa nikmat dari isi demokrasi. Nikmat partisipasi rakyat, nikmat pendidikan politik rakyat, dan tentu nikmat kesejahteraan. Kemana demokrasi ini harus dibawa jika bukan dalam dekapan mesra rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H