Mohon tunggu...
Erna Davariz
Erna Davariz Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Pegiat dan Pembelajar Demokrasi dan Adat Bugis ernajpp28@gmail.com 085243477344

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Secercah Asa untuk Bone

1 Januari 2016   16:25 Diperbarui: 1 Januari 2016   16:56 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di kepala kita boleh saja dipenuhi oleh citra-citra indah tentang Bone, atau sebaliknya citra-citra yang buruk. Boleh saja kita bangkit berdiri, bersorak-sorak menuntut pembangunan yang arahnya kesejahteraan. Bahkan boleh saja kita duduk termangu, berpura-pura tersenyum dan seakan semua baik-baik saja. Tetapi ingat! Kita sedang berada di era demokratisasi. Era di mana komunikasi sedang menggeliat, menempel, merekat, menerobos batas-batas berupa benteng yang seringkali ‘memotong urat nadi’ kemesraan antara pemerintah dan rakyatnya.

Kemesraan yang mestinya selalu mewarnai kehidupan daerah dengan pembangunan yang diinginkan rakyat, bukan yang berkedok pembangunan atas kepentingan elit semata. Sedang kepentingan rakyat meringkuk, membeku dalam semunya makna pembangunan sebenar. Bukan karena masyarakat tidak mandiri, bukan karena masyarakat tidak mampu tetapi kekuasaan telah menggapai segala hal. Bahkan jika perlu melampaui cita-cita mulia demokrasi. Yah. Demikianlah elit kebanyakan, alih-alih demokrasi tetapi melupakan, meninggalkan jauh nilai-nilai demokrasi. Dan tentu, tujuan demokrasi, yakni kesejahteraan.

Maka di penghujung tahun 2015 ini, izinkanlah saya untuk mengungkapkan lewat tulisan ini dua hal sebagai seorang perantau, yang sedang berguru jauh dari kampung halamannya. Dua hal tersebut adalah kegelisahan dan secercah asa yang tiada lain untuk Bone.

Kegelisahan

Ketika memasuki wilayah perkotaan Bone, maka akan dijumpai lampu warna warni, memanjakan setiap yang melewati jalan-jalan kota, memberi cahaya yang teramat indah setiap malamnya. Ada Lapangan Merdeka yang berhasil menyedot perhatian masyarakat Bone, maka tidak tanggung-tanggung baik yang dari desa pun turut berbahagia mengunjungi tempat tersebut meski hanya sekadar memuaskan nafsunya maniak foto diri (selfie). Tidak salah jika pemerintah daerah telah merogoh dana daerah yang tidak sedikit untuk merelokasi para pedagang kali lima (PKL) yang dulunya di sebut Pirla (Pinggir Lapangan) kini menjadi Pirsu (Pinggir Sungai), untuk menghadirkan Lapangan Merdeka yang anggun di tengah kota.

Tetapi, pernahkah kita duduk bersama sebentar? Merenungi nasib PKL yang kini banyak yang gulung tikar. Pernahkah menjadi headline berita, bahwa mereka sepi pengunjung karena relokasi mereka dari tempat yang sangat strategis digiring ke pinggir sungai, yang minim penerangan jalan, yang pengunjung sebenarnya kurang berselera, di pinggir sungai yang belum ditata dengan cantik. Bukankah itu sama saja mencekik perekonomian para PKL yang menggantungkan hidup mereka di pinggir Lapangan Merdeka untuk berjualan? Tetapi, ini bukan salah siapa-siapa, setiap rezim, setiap pemerintah, punya makna sendiri-sendirinya atas pembangunan. Termasuk menepis mereka membawa ke tepian pembangunan.

Bahkan dari kita, beberapa saja yang bisa merasakan kelesuan yang perekonomiannya lantas berhenti karena pembangunan yang tak diinginkan. Mereka terpaksa mendedah rasa karena tidak tahu harus mengadu kepada siapa. Mereka punya anak cucu yang harus dinafkahi. Rela bekerja hingga larut demi perjuangan hidup mereka lantas begitu saja direlokasi. Maka, tidak ada solusi jernih lainnya selain menyediakan tempat yang apik untuk mereka, strategis untuk dikunjungi.

Tidak hanya itu saja. Tempat hiburan menjadi pelengkap tiada terkira di tengah kota. Yang hanya berjarak berapa kilometer bahkan hitungan meter saja. Rumah makan, resto, dan cafe juga tidak ketinggalan, pelan tapi pasti telah memenjarai perhatian. Menggurita, menyelimuti kota. Di sanalah tempat sebagian masyarakat menghabiskan malam untuk bersantai. Merogoh gocek tidak apa-apa yang penting happy. Tetapi ingatlah siapa yang diperkaya dengan ini dan siapa yang semakin miskin dengan ini. Ingatlah! Tidak tersentuh struktur tetap menjadi ‘monster’ nomor satu dari kemiskinan.

Tidak lama ini, berita menggemaskan kembali berhasil membuat kegelisahan yang tiada tara. Bone disulap dengan taman-taman tematik di hampir setiap sudut kota. Bahkan untuk mereka para elit membutuhkan waktu berapa lama untuk membahas anggaran untuk taman-taman kota. Hanya saja taman-taman kota yang termasuk baru di Bone menjadi kedengaran sangat agung. Mempercantik kota nan sejuk dipandang mata. Pernahkah warga miskin yang masih harus berdiam di rumah tidak layak huni menjadi pembahasan sebagai perbandingan atas kehadiran taman-taman kota tersebut?

Maka lewat kesempatan ini, sesungguhnya meski berada jauh dari Bone, pembangunan yang tersebut di atas hanyalah coretan yang mungkin juga mengiris hati beberapa kalangan yang turut gelisah. Bukan maksud untuk menyalahkan pembangunan berbasis modernitas perkotaan, tetapi seiring melangkah majunya kota mengapa tepat wisata tidak disertakan maju? Tidak menjadi tempat yang ramai dikunjungi.

Tempat wisata seakan mati menggigil, membeku, dipasung oleh megahnya kota. Hampir tidak terindentifikasi lagi, ikon untuk tempat wisata di Bone. Miskin pengunjung di tengah berlimpah ruahnya tempat wisata di Bone yang kini meratapi nasib menanti ajal, tenggelam dalam kesunyian yang menganga semakin hari semakin lebar. Kini waktunya memutar kembali memori kita tentang yang terlupakan. Mencari solusi terbaik untuk tempat wisata di Bone. Menjadi satu pembahasan inti dalam merancang pembangunan. Sebab, jangan sampai hanya tinggal nama yang akan kita perkenalkan kepada anak cucu kita nantinya.

Meski kegelisahan di atas, berwajah terik yang membuat gerah sebab saya yakin bukan hanya saya yang merasakan kegelisahan ini. Namun mungkin sebagian yang lain memilih membebaskan diri dari kepedulian, dari pentingnya menyuarakan kepentingan, dari pentingnya melakukan kontrol terhadap pembangunan.

Kegelisahan di atas mungkin pada akhirnya akan terbuang jauh ke lautan ketidakpedulian bersama kegelisahan-kegelisahan masyarakat Bone lainnya. Tetapi apa salahnya tatkala penghujung tahun menjadi waktu yang tepat untuk memulai berbenah. Maka seperti yang saya janjikan tadi, hal kedua yang ingin saya sampaikan adalah secercah asa untuk kabupaten Bone.

Secercah Asa

Berada di penghujung tahun 2015, sepatutnya menjadi momen untuk melihat secara keseluruhan kondisi daerah, kondisi desa, kondisi mereka yang terpinggirkan pada tahun ini dari yang kemarin, apa yang telah mereka rasakan? Kesejahteraan atau kesengsaraan. Peningkatan ekonomi atau kematian ekonomi? Sudah berapa rumah tidak layak huni disulap menjadi rumah layak huni?

Bagaimanapun terbuai dengan kondisi kota kekinian memang memantik perhatian yang tidah habis-habisnya. Bahwa masih ada secercah asa yang tidak pernah padam oleh kegelimangan. Saya yakin semangat 2016 bisa jadi pintu masuk pembangunan untuk mereka yang belum tersentuh pembangunan, untuk tempat wisata yang akan ramai pengunjung, untuk PKL yang jantung perekonomiannya kembali berdetak, yang taman kota bisa disulap menjadi taman baca sehingga bisa memantik minat baca masyarakat.

Di mana taman-taman ini akan menjadi pesaing handal bagi tempat hiburan. Mengubah masyarakat menjadi konsumer bahan bacaan. Tidak dengan terbuai hiburan yang memang hanyalah hiburan, menyenangkan hati hanya sesaat. Dengan menyulap masyarakat menjadi konsumer bahan bacaan, maka ada berapa anak Bone yang bisa menjadi penulis, menjadi pengamat, melupakan sejenak gadgetnya karena hari-harinya diisi dengan membaca buku.

Secercah asa yang penting di penghujung tahun 2015 ini, adalah budaya membaca harus hidup di setiap sudut kota. Dengan apa? Hadirkan taman-taman baca. Selimuti sudut kota dengan buku-buku, dengan kegiatan membaca. Secara pribadi, di tengah gelimang kota yang kini berada di atas menara gading, itulah bentuk pembangunan yang amat sangat agung.

 Tulisan ini telah terbit di Harian Tribun Bone (Refleksi Penghujung Tahun 2015)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun