Kau akan selalu mau tahu, kekasihku.
Telah ada istana yang kubangun dalam hatiku. Tata ruangnya telah kuatur sedemikian abstraknya. Sedemikian imajinasinya. Sedemikian hidupnya engkau di sana. Engkau bisa saja meninggalkanku, ketika duniaku tidak sesuai dengan mayaku. Kau bisa saja memporak-porandakan isi istana itu, sengaja mati di dalamnya. Engkau punya hak untuk itu. Tetapi sayangku, bagaimana mungkin engkau meninggalkanku untuk itu. Aku yang pemarah. Aku yang pencemburu. Aku yang egosi. Aku yang cepat emosi. Aku yang bicara kadang berteriak-teriak. Aku yang bicara terkesan mendominasi. Aku yang terkadang tidak ingin mendengar nasihatmu. Maka, alasan apa engkau ingin meninggalkanku? Dari sini, untuk pertemuan pertama, akan kupenjarakan sifat-sifat buruk itu. Karena aku akan senyum merekah untukmu, mengagumi tumpukan buku-buku ilmu hukummu, dan membuatkanmu secangkir kopi.
Sayangku, sampai berkomunikasi di Makassar lagi. Aku akan selalu menunggu handphoneku berdering dari telfonmu, dari smsmu, atau dari BBMmu.
Jogja, 13 Desember 2015
Ditulis untuk mengiringi perjalanan Kekasihku ke kampung halamannya.
*Sesaat sebelum tulisan ini akan diupload di Kompasiana*
Saya menerima BBM darinya:
Sayangku, tidak jadika berangkat ke Sinjai hari ini, karena terlambatka bangun. Besokpi mungkin pulangka sayangku. (Sayangku, saya tidak jadi berangkat ke Sinjai hari ini. Karena saya terlambat bangun. Mungkin besok saya pulang sayangku).
Ah, kekuatan tulisan ini. Mungkin tulisan ini meminta dibaca dulu sebelum dia berangkat ke kampung halamannya.                      Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H