Mohon tunggu...
Ermaya Movida Satha
Ermaya Movida Satha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student of English Education Study Program at Yogyakarta State University

Impossible We Do. Miracle We Try

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menyoal Maksimalisasi Supervisi Pendidikan Terhadap Maraknya Kekerasan Seksual

28 Desember 2021   19:29 Diperbarui: 28 Desember 2021   22:55 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang supervisor harus mampu mengawasi profesionalitas kinerja para guru agar tidak terjadi hal-hal yang diinginkan di lingkungan sekolah, salah satunya kekerasan seksual. Maraknya kasus pelecehan seksual di lingkup pendidikan tentunya tak terlepas dari peran supervisi pendidikan, khususnya kontribusi kepala sekolah dalam mengawasi tenaga pendidik perlu ditingkatkan untuk meminimalisir hal yang tidak diinginkan terutama tindak kekerasan seksual di sekolah.

Idealnya kepala sekolah tidak hanya mengawasi atau mengevaluasi aspek peraturan, kurikulum, metodeologi pengajaran, profesionalitas kinerja tenaga pendidik saja namun harus memperhatikan aspek sosial peserta didik, terutama interaksi interpersonal dengan teman sebaya ataupun dengan para tenaga pendidik, mengingat banyak kasus kekerasan seksual saat ini yang dilakukan oleh oknum pengajar.

Akhir-akhir ini skandal dan berita mengenai kekerasan seksual terhadap anak marak beredar di Indonesia, khususnya di lingkungan sekolah. Kekerasan seksual umumnya dilakukan oleh orang dekat atau yang sudah akrab dengan korban yang dapat berpotensi mengakibatkn trauma psikologis, tekanan mental bahkan kematian. Jumlah riil kasus kekerasan seksual pada anak lebih besar dibandingkan yang tercatat di kepolisian, hal ini terjadi karena banyaknya kasus yang tidak dilaporkan dan biasanya kasus ini terjadi di lingkungan sekolah (Ansori, 2015).

Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada tahun 2010 sebanyak 1717 kasus pengaduan yang masuk dan dari semua kasus kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kasus kekerasan seksual pada anak sebanyak 553 kasus. Pada tahun 2011 terjadi 2.275 kasus kekerasan pada anak, sebanyak 887 diantaranya adalah kekerasan seksual pada anak. Pada tahun 2012 kekerasan pada anak terjadi 3.871, sebanyak 1.028 diantaranya adalah kekerasan seksual pada anak. Tahun 2013 terjadi 2.673 kekerasan yang terjadi pada anak, sebanyak 1.266 diantaranya adalah kekerasan seksual pada anak.

KPAI juga memaparkan kasus kekerasan seksual di Lembaga pendidikan didominasi oknum guru yaitu mencapai 88% dan 22 % merupakan kepala sekolah. Selanjutnya, 64,7%  dari kasus kekerasan seksual tersebut terjadi di SD, 23.53% di SMP dan 11,77%  di SMA (Lokadata, 2020). Sebagian besar peserta didik yang menjadi korban  kekerasan dan pelecehan mengalami penurunan prestasi akademik di sekolah, sehingga peserta didik cenderung selalu curiga dan ketakutan terhadap orang disekitarnya, selain itu peserta didik menjadi antisosial dan memiliki sikap dendam yang salah arah dengan semua orang yang ada di sekelilingnya.

Tentunya harus terdapat kebijakan dan strategi kepala sekolah untuk meminimalisir kekerasan seksual di Indonesia dan memberantas oknum atau pelaku yang menyebabkan faktor psikologis peserta didik terganggu. Berikut strategi atau kontribusi yang dapat direalisasikan kepala sekolah untuk meminimalisir tindak kekerasan seksual di sekolah agar memaksimalkan efektivitas supervisi pendidikan:

1. Mensosialisasikan pendidikan perlindungan diri terhadap tindak kekerasan seksual. 

Langkah umum yang dapat ditempuh yaitu menanamkan nilai-nilai, norma dan karakter yang baik serta memberi informasi mengenai kiat-kiat menjaga diri khususnya pada perempuan. Selain jenis-jenis sentuhan atau batasan perilaku dari orang terdekat sangat informatif jika diberikan pengetahuan sejak dini, agar peserta didik mampu memproteksi dirinya.

2. Menjalin kerjasama antar lembaga atau pihak yang berkompeten.

Kepala sekolah tentu sudah cerdas dalam memperluas relasi antar lembaga, hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk mencegah kekerasan seksual yang kian menjamur, lembaga tersebut antara lain dapat berupa lembaga psikologi, organisasi keagamaan, dan pakar pendidikan untuk memotivasi atau memberi wawasan mengenai pencegahan tindak kekerasan seksual. Selain itu pembentukan tim internal sekolah untuk memberantas tindak kekerasan di sekolah juga dapat direalisasikan.

3. Membina pendidikan berkontekstualisasi ajaran agama.

Lembaga pendidikan sejatinya harus menyadari jika pendidikan tidak hanya mengenai transfer of knowledge namun juga perihal penanaman nilai-nilai keagamaan/religius, sosial budaya, maupun norma kemasyarakatan. Nilai moral yang bersumber dari pancasila itu mampu membentuk adab dan karakter peserta didik menjadi terarah, kepala sekolah dapat membuat beberapa kegiatan keagamaan yang diisi narasumber terkait untuk memotivasi dan menumbuhkan kesadaran akan proteksi diri/interaksi interpersonal terhadap kekerasan seksual.

Tanggung jawab kepala sekolah memaksimalkan efektivitas supervisi pendidikan tidak hanya sebatas dalam dinding sekolah, tetapi juga di luar sekolah. Pembinaan yang harus diberikan tidak hanya secara kelompok atau klasikal, tetapi juga secara individual (Ametembun N.A Bahri S, 2000:32)

Tentunya campur tangan kepala sekolah untuk memaksimalkan supervisi pendidikan di lingkungan sekolah sangat diperlukan karena beliau figur utama yang memiliki tanggung jawab terhadap warga sekolah, terlebih lagi kasus yang menyeret oknum guru sebagai pelaku.

Pandangan diatas sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi di lapangan, fakta menunjukkan bahwa kasus tindakan kekerasan terhadap anak dan kekerasan di lingkungan pendidikan (sekolah) kini kian menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa peran sekolah dan hukum di negeri ini belum tersosialisasikan secara merata, serta minimnya pemahaman masyarakat khususnya para orang tua sehingga kesadaran untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk kekerasan seksual belum menjadi perhatian serius dan maksimal, ditambah lagi korban (anak/remaja) yang tak jarang enggan membuka diri atau melaporkan hal yang dialaminya kepada pihak terkait. Hal tersebut mampu menambah deretan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan kian menjamur, meskipun belum tercatat dalam data KPAI atau kepolisian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun