Sangat berhati-hati dan phobia itu beda tipis
Menjaga apa yang aku miliki, apa yang aku rasa, dan apa yang aku harapkan bukan perkara mudah. Tak seperti berjalan kaki menuju tempat yang ku mau. Itulah yang kulakukan dengan benda bernama hati.
Aku pernah berjalan berdampingan dengan seseorang yang menurutku memang pantas berada di sampingku. Tapi aku bukan yang Maha tau. Aku pernah meminta dia yang bisa membuat tertawa, Tuhan memberikannya. Tapi tawa tak selamanya indah, ia menyimpan tangis dan menghadiahkannya padaku. Aku pernah meminta dia yang berlawanan denganku, Tuhan memberikannya. Tapi tak selamanya berbeda bisa saling mengisi, ia menyimpan egonya sendiri-sendiri yang entah sering atau terkadang tampak dan berjalan pada ketampakannya masing-masing. Aku mengakukanku dan dia mendiakan dia.
Aku sudah tak berani meminta apa-apa lagi padaNya. Tak meminta dia yang bisa membuat tertawa ataupun dia yang berlawanan. Yang aku mengerti dari yang sudah, aku cuma meminta tanpa tau apa aku bisa berdampingan dengan dia yang kupinta. Aku sudah tak begitu mendamba apa yang dipuja kebanyakan karena aku takut bertemu luka.
Aku tak menyalahkan dia yang menghadiahkan tangis ataupun dia yang mendiakan dia sendiri. in my mind, the point of view is me, not others. Mungkin ada yang salah denganku. Entah pemikiranku ataupun sikapku. Aku yang mengakukan aku mungkin mengusik dia yang telah bersedia berdampingan denganku. Aku yang bergelut dengan hidupku. aku yang punya garis hidup yang kupatuhi, bukan sekedar garis yang kubuat tapi ia menjadi pembatas dalam tindakan bebasku. Mungkin keakuanku terlihat usang dimakan zaman.
Dan aku menyadari. keakuanku yang usang ini memang kurang tepat untuk apa yang dipuja sekarang. Aku mengkotak-kotakkan aku sesuai pemikiranku. Banyak hal yang menurutku tabu tapi menjadi hal remehtemeh sekarang dan itu masih mengusik benakku. Yang tak pernah kamu tau, terkadang aku bingung dengan kita. Keakuanku dan apa yang mereka kata lumrah.
Akhirnya aku putuskan untuk menyerah semenjak kutulis sebuah coretan hampir setahun lalu, coretan pertengahan bulan tepat pada bulan kelahiran ibuku. Dan aku menyadari ternyata aku cukup complicated untuk apa yang pernah kupinta ini. Oleh karena itu aku memilih untuk pasrah. Aku memutuskan untuk tak menuntut Tuhanku. Meminta apa yang kumau tentang apa yang sejatinya merekah bernama cinta.
Mungkin aku teralu mengeja cinta. Terlalu mendefinisikannya dalam kategori yang menurutku sepatutnya. Padahal jika tak didefinisikan sekalipun, cinta akan terlihat sebagai cinta. Ia akan datang tanpa kuminta, ia akan melebur keakuanku dan kediaannya menjadi utuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H