Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Seni

Lukisan Yos Suprapto dalam Logika Fadli Zon

28 Desember 2024   12:55 Diperbarui: 30 Desember 2024   19:54 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis Ermansyah R. Hindi -Dokpri

Sesungguhnya muncul keterkekangan ketika orang yang mengontrol tubuh pelukis. Jadi, yang ngehek itu lukisan Yos Suprapto atau otak seksi pak menteri?

Pameran lukisan Yos Suprapto di Galeri Nasional Indonesia bertajuk "Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan" dibredel. Padahal sebenarnya kritik atas elit negara lewat lukisan itu bukan barang baru. Sudah jadi modus klasik. 

Coba tengok ke belakang!

Yos Suprapto bukan pelukis kelas dadakan yang sedang menanjak. Dia seorang pelukis tenar tanpa laris jadi seleb, bukan bintang iklan dan seniman yang gampang banget dapat duit. Yos Suprapto tidak bergaya hidup glamor dan fleksang-fleksing. Terus, tiba-tiba bumi berubah malapetaka, kilat menyambar-nyambar dan angin ribut. Yos Suprapto sebagai seniman tidak cepat meredup karena lukisannya dilarang menghiasi Galeri Nasional.

Lukisannya bukan orderan merosot tajam, malah pelukis Yos Suprapto dapat tawaran pameran dari negara lain. 

Sebagai pelukis, Yos Suprapto tidak peduli saat dibungkam oleh industri seni dan ditolak secara sepihak yang memang seakan "bertangan besi" itu.

"Lukisan ini masih lebih sopan dari realitanya sangat parah, sisa realitanya aja masih akan diderita generasi puluhan atau ratusan tahun ke depan." Begitu komentar netizen di akun X dari seseorang yang menyebut Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY yang senasib Jokowi (saya salah satu yang menebak lukisan tak berhadiah) yang pernah dikritik lewat karya seni. Memang benar cuitan akun itu kalau kritik lewat lukisan membuat beragam ekspresi seseorang. Yang geram, yang ketawa sampai ada acuh tak acuh ekspresinya saat melihat pameran lukisan.

Sudah tentu komentar terkait lukisan Yos Suprapto berbeda kondisinya antara zaman kakek kita dulu dan dan zaman anak muda sekarang dalam linangan air mata silih berganti dengan ketawa ngakak. Lukisan yang dipamerkan oleh Yos Suprapto juga tergantung dari sisi mana kita melihatnya. 

Bagi yang punya jiwa seni yang tinggi wajar mereka mengapresiasi.

Tetapi, bagi pihak yang merasa terganggu atau mengancam reputasi dan posisinya dengan lukisan Yos Suprapto karen dianggap menikam tajam ke jantung kuasa yang ada dalam genggamannya jelas akan berbeda sikapnya. Lukisan Yos Suprapto hanya bisa diekpresi oleh jiwa seni, bukan sok berkuasa belaka.

Saya lihat, bergantung dari posisi mana dia menilai lukisan Yos Suprapto. Apakah seorang pejabat menganggap dirinya tidak nyaman, wah, lukisan itu tidak enak karena menyerang oknum pejabat atau mantan pejabat negara. Apakah juga lukisan dianggap murahan nilai seninya lantaran tampilannya begitu norak, vulgar atau merangsang hasrat berahi. Karena lukisan punya logika tersendiri, maka ia tidak bisa dikungkung dalam kebebasan berekspresi. 

Nah, alasan pejabat bahwa kebebasan itu ditengahi oleh kebebasan yang lain malah seni lukislah yang aman dari alat campur tangan kuasa, yang memanfaatkan hak kebebasan sebagai pembenaran tindakannya.

Aalaa, sekelas pak Menteri Fadli Zon masak tidak paham soal seni lukis? Begitu batinku berbicara. 

Kesempatan baik ini perlu dimanfaatkan oleh pak Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Yang namanya pahit getirnya zaman kuasa otoriter semestinya pak Menteri Kebudayaan yang lebih paham.

***

Sehari baru saja lewat. Di grup WhatsApp saya mencuat berita seputar pelukis Yos Suprapto, yang beberapa hari lalu ramai di media sosial. 

Saya tidak menyangka jika teman di grup WA memunculkan lagi semacam "prahara kebudayaan" di zaman kebebasan berekspresi di negeri kita.

Terlepas bahwa kebebasan itu jadi kebablasan, yang jelas lukisan sebagai karya seni seakan tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. Ungkapan ini mungkin agak berlebihan, tetapi itulah faktanya. Negeri kita banyak melahirkan seniman hebat, diantaranya pelukis Yos Suprapto. Tapi, apa jadinya jika pemegang otoritas "membonsai" kreatifitas seni bahkan membredel pameran lukisan, yang digelar di Galeri Nasional. Lelaki gagah dan perkasa sama saja menteri yang jadi kewenangannya untuk ngatur-ngatur. Ya sudah sana, pameran lukisan Yos Suprapto di sini tidak laku, kecuali ekspresi takut kehilangan kuasa atau posisi terhormat.

Makanya, publik atau netizen layak saja bertanya-tanya, kenapa ada menteri yang gitu-gitu nggak dipakai habis keperkasaannya yang blunder dan sok paling benar di zaman ini? 

Selalu cuma alasan saja demi menjaga budaya malu dari hal-hal yang merusak moral bangsa. Muncul satu atau lebih alasan penolakan. Kenapa? Ah, ada saja alasan.

Lalu, bagaimana alasan logis Menteri Fadli Zon terhadap pameran lukisan Yos Suprapto, sehingga patut dihentikan? Ah, ini anggap saja logika Fadli Zon.

Pertama, lukisan Yos Suprapto mengandung makian. "Bahkan mungkin makian terhadap seseorang," kata Fadli. Dalam tahun politik 2024, diakui kerap muncul istilah dan sisipan yang bernuansa politik. Sedikit-sedikit dihubungkan dengan politik. Bukan kebetulan, lukisan Yos Suprapto itu dihubungkan sepak terjang Jokowi sebagai Presiden dalam sepuluh tahun terakhir. Ada perangai mantan nomor satu di republik ini yang sulit dicerna oleh akal budi. Ucapan dan tindakannya tidak jarang mengundang kontroversial sehingga akibatnya bertentangan dengan logika publik.

Lukisan "subversif" memang yang paling memancing perhatian, terutama dari tingkat elite. 

Secara watak politik kuasa, lukisan Yos Suprapto tidak pantas karena menyenggol kuasa atau yang "masih merasa berkuasa" yang mempertontonkan trik atau siasat demi kepentingannya ternyata kedoknya dibongkar lewat karya seni lukis.

Hal ini seiring dengan jabatan baru di kabinet yang sudah dimiliki oleh Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan. Hasrat untuk berkuasa pun sedikit atau banyak telah memengaruhi pengambilan kebijakan dalam bidang kebudayaan. Entah itu obyektif atau subyektif tertantang dengan lukisan Yos Suprapto?

Kedua, mengumbar hasrat seksual dan persetubuhan. "Kemudian ada yang telanjang. Sedang bersetubuh. Itu tidak pantas," kata Fadli.

Baiklah. Kita sadar bahwa Indonesia masih menjaga norma dan hukum kesusilaan. Maksudnya? Jika tidak ada lagi moral bangsa lantaran hasrat seksual termasuk lewat media seni lukis, maka apa lagi yang kita bangsawan. 

Oh, begitu! Cuma bedanya, seni lukis dengan pilihan bebas bisa dipertanggungjawabkan secara moral dan estetis oleh sang pelukis Yos Suprapto. Kalau di kepala kita sebatas "mesum" tentu saja yang terbayang hanya pelanggaran moral, seks yang menyimpang atau tabu atas seksualitas. 

Coba, medium apa yang kebal dari umbaran citra berahi? Film porno apalagi?
Namun demikian, lukisan Yos Suprapto sudah keder bahkan dibenci oleh pihak tertentu sekadar menunjukkan bahwa eksistensi yang pernah berkuasa dan masih ada antek-anteknya masih kuat pengaruhnya. Seni lukis saja sudah dianggap mengganggu posisi dan bagaimana jika bentuk gerakan yang lain? Saya hanya geleng-geleng.

Kita kembali lagi. Semuanya berpulang pada cara pandang. Jadi, lukisan Yos Suprapto tidak bisa direduksi oleh politik. Ia akan bergerak dari satu bentuk ke bentuk seni lukis lainnya. 

Toh, sangat kontras antara seni politik dan seni lukis. Cuma sama-sama pakai kosa kata seni. Itu saja.

Logika Fadli Zon mungkin dibayangi oleh semacam mekanisme pertahanan diri. Daripada dia terancam posisinya karena membiarkan lukisan Yos Suprapto bebas bergentanyangan untuk membuka "topeng" dan "borok" Jokowi dan aparat lainnya, mending bagaimana mencari alasan pembenaran untuk membredel pameran lukisan Yos Suprapto. Titik. 

Ternyata, sebuah lukisan akan berpotensi menggegerkan "istana."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun