Memang betul, proposisi dialektis sudah ada dalam ide. Selebihnya, ia dipancing untuk keluar menampakkan dirinya sebagai wujud yang berbeda di tengah realitas.
Sebelum kegilaan, diam bukan berarti tanda ‘penerimaan’ (ya) untuk membekukan atribut ‘mulia’ atau ‘tinggi’. Ia melebihinya dari sekedar bentuk perlawanan dengan tanda diam dapat berarti kata ‘menolak‘ (tidak). Tidak ada ‘keadaan pikiran’ dari jenis mesin, tetapi diskursus.
Apabila seseorang digambarkan dalam proposisi: ‘budak’ adalah ‘pinggiran’ dan ‘hina’; ‘Tuan’ adalah ‘pusat’ dan ‘mulia’ tidak mengurangi nilai dari hukum identitasnya. Sebaliknya, dalam pertentangan: ‘Logos’ adalah ‘Tiran’; ‘Nalar’ bukan ‘Gelap’. Jadi, ia ada dalam ide. Saya melihat, bahwa “logika terbalik” adalah bagian dari kegilaan yang lebih halus.
Misalnya, selera kuasa di mana tembok-tembok batu dan jeruji penjara, ruang interogasi tidak lagi menjadi saksi bisu, tetapi tatanan logika proteslah yang menggoreskan ke dalam jiwa. Rezim kebenaran dari siapa saja, dimana tempat selubung dimainkan manipulasi bahasa sebuah kepentingan berasal dari kesadaran palsu.
Dalam rezim kebenaran, tubuh adalah pelipatgandaan kesenangan sekaligus pelipatgandaan kegilaan. Ia menghaluskan perdagangan kekerasan melalui teknik-teknik pembungkaman atau penjinakan dari mesin kuasa, sehingga efek-efek kuasa bisa dialirkan sampai ke pelosok pikiran.
Di situlah momentum kegilaan yang bertujuan untuk mengidentifikasi dirinya dan meningkatkan kewaspadaan atas bentuk-bentuk pengawasan berasal dari dalam pengawasan dirinya sendiri.
Semakin kuat dan luas jaringan mekanisme-mekanisme kuasa, terus, semakin penting pula diketahui sebuah ketelanjangan di balik kegilaan. Ia bukan saja menggunakan teknik atau strategi yang nyata dan kasar, tetapi juga sesuatu yang tersembunyi.
Pada satu sisi, jenis logika pertukaran mengidentifikasi kemana ia bergerak. Di sisi lain, ia bisa mengetahui sejauh mana identifikasi diri benar-benar dialami. Karena itu, relasi-relasi kuasa dengan sangat lihai menggunakan strategi-strategi pembujukan lewat kesediaan ‘melayani’. Ini dalam kaitannya dengan pikiran yang ada di kepala orang yang memegang otoritas.
Belum lagi, pada posisi ‘yang dikuasai’. Pikiran seseorang terperangkap dalam keserentakan diawali oleh pilihan “sebagian,” “semua” atau “tidak sama sekali” karena kegilaan dienyahkan. Untuk yang gemar merenung, berpikir, menghayati, bangkit, bergerak, dan mengubah dunianya.
Wah, kegilaan adalah mekanisme hasrat. Mengapa? Ada mekanisme-mekanisme hasrat untuk berkuasa yang tersembunyi.
Sementara itu, nilai tertinggi, seperti ‘mulia’, ‘tinggi’, ‘pusat’, dan ‘atas’. Sejauh ini, nilai negatif berarti kesatuan nilai positif dari keseluruhan nilai terpantul melalui nilai asal. Nilai dari seluruh nilai hanya berlandaskan “primordial” di balik pikiran. Nilai redup ketika setiap tujuan manusia ditegaskan; berarti pikiran bukan lagi menjadi konsekuensi logis yang diciptakannya, melainkan berasal dari kekuatan tubuh.