Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kaum Pencemooh Gagasan

30 September 2024   19:04 Diperbarui: 12 Oktober 2024   05:59 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih tiga hari ini di media sosial platform X muncul kejadian yang memancing perhatian netizen. Seorang anak nomor satu di republik telah tampil beda dengan mengenakan rompi saat blusukan sembari bagi buku dan susu di masyarakat. Hasil jepretan kamera berupa rompi bertuliskan "Putra Mulyono" disebar di medsos. Saya belum beranjak dari medsos, kontan mata saya memandangi akun X yang menampilkan gambar kaos bertuliskan "Korban Mulyono." Begitu penasarannya, saya membuka akun itu. Bluaarr! Para netizen berebut mengomentari gambar di akun 'Sahabat ICW'.

Medsos X adalah dunia yang nyaris sepenuhnya kritis dan teliti. Peristiwa baru, penyelidikan baru, juga wacana yang sebagian baru.

Tentang kalimat terakhir itu, tidak banyak netizen menyadari sepenuhnya bahwa mereka juga tidak luput dari sindiran atau sorotan. Sadar sekadar sadar, tetapi zaman dengan segala yang baru tersebut nyatanya jarang dipahami dan dipersiapkan secara matang sejak dini sebelum mereka merambah dunia medsos. Sebabnya jelas, yaitu tenaga dan waktu mereka terkuras untuk meladeni ocehan dan tingkah aneh maupun untuk menghamburkan "amunisi" bagi perjuangan sosial yang divirtualkan di dunia nyata. Habis sih habis energi. Mulut netizen itu kerjanya mengoceh di medsos. 

Lah, suara kritis dari netizen menjadi suara dari langit, iya kan? 

Padahal setelah berhasil melampiaskan uneg-unegnya, banyak di antara mereka berbicara dan menulis di akun kelewat menohok, menyindir nyelikit muka-belakang, dan memaki kiri-kanan karena apa yang mereka lihat atau dengar sebenarnya berdasarkan fakta atau bukti yang susah dibantah. Mereka mencemooh seseorang atau kelompok karena haknya untuk menyampaikan kebenaran.

Terlepas dari rasa muak dan mual netizen, maka anak nomor satu di republik juga terkesan abai dengan nurani yang berujung dicemoohi! Cuma ingat, cemoohan bukan berarti permusuhan atau kritik bukan atas dasar kebencian!

Apa sejauh ini? Kita ingin membicarakan tentang para netizen yang doyan cari celah petinggi hingga pesohor lainnya. Mereka tidak bisa diremehkan, tidak gampang ditaruh di belakang telinga, dan tidak diurusi perkembangan kekuatannya. Sebenarnya, jumlah netizen yang garang untuk mencemooh ini jika dikumpulkan akan cukup untuk mendirikan sebuah negara baru.

"Wah, sejak sekarang perlu berjaga-jaga jika petinggi sudah kebal dan nggak mau dengar suara netizen! Yang penting cemoohan netizen di medsos bikin kita lebih bisa menciptakan atmosfir intelektualisme, menghargai perbedaan, mendidik, dan melatih untuk memecahkan masalah kehidupan nyata!"

Gampang saja ngomong begitu. Saya sudah melihat beberapa hari tentang Kaesang Pangarep usai memakai rompi bertuliskan "Putra Mulyono" lewat medsos, yang menganggap kritikan berupa cemoohan netizen seperti angin berlalu. 

Oke deh. Kaesang tetap punya alasan pembenaran dari sikapnya untuk menyiasati cemoohan netizen dengan berbagai jurus acuh tak acuh yang sedang menggebuknya dari berbagai arah.

Bukankah cara ogah-ogahan yang bersangkutan terhadap kritikan bisa bertahan lama dari gempuran mematikan di medsos? Misalnya dengan aktif di masyarakat, lalu jadi viral meski bertubi-tubi Kaesang seakan aksi "tutup telinga" akan semrautnya di lingkungan sekitar.

Siasat lainnya dengan aktif mencemooh dirinya di ruangan gagasan dalam bentuk rompi atau kaos bertuliskan selain "Putra Mulyono" dan hal itu dinantikan oleh netizen. Apakah Kaesang lulus ujian cemoohan dari netizen tatkala mengubah rompi atau jenis lain dengan bunyi tulisan yang berbeda? Anda pikir ini lucu?

Sampai kemudian, ada orang melihat sebagai kaum yang agak langkah di bumi karena netizen nggak pernah kekurangan bahan. Bahwa netizen yang kritis dan kocak sebagai kaum pencemooh gagasan selama itu bertentangan dengan semangat dan nilai-nilai dasar Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. 

Bukankah memungkinkan untuk memahami dan menafsirkan secara berbeda terhadap nilai-nilai dasar negara?

Lantas, apa yang baru selain dari rompi bertuliskan "Putra Mulyono" untuk digagas sekaligus dicemoohi? Apakah masih ada "senjata" yang lain di luar kaos bertuliskan "Korban Mulyono" untuk melawan dengan menggunakan energi di balik rompi bertuliskan "Putra Mulyono?" Nah, gagasan yang aneh dan baru di balik rompi bertuliskan "Putra Mulyono" dimulai dari Kaesang Pangarep. Terus, kaos bertuliskan "Korban Mulyono" yang meramaikannya.

Namun, yang terbuka kemungkinan banyak cemoohan dari netizen. Yang jelas juga, rompi bertuliskan "Putra Mulyono" itu berasal dari Kaesang.

Mustahil dia menerima bulat-bulat jika tidak sesuai keinginannya. Bayangkan, cemoohan menukik ke ragam usulan dari netizen tentang rompi Kaesang bertuliskan "Adik Fufufafa" atau cemoohan "Pelaku Gratifikasi," "Temen Nebeng," "Muka Tembok," "Keluarga Nepotisme" hingga "Songong" dan "Dicebokin Bapak." Mayoritas kaum pencemooh tidak nyasar adalah mereka yang akhirnya jadi momok-momok yang meneror dengan nasib menjaga kedaulatan republik medsos.

Konyolnya, cemoohan secara tertulis dengan berbagai julukan untuk membalas rompi Kaesang bertuliskan "Putra Mulyono" menjadi gagasan "murni" untuk memainkan para netizen sebagai pencemooh yang reaktif karena kaos bertuliskan "Korban Mulyono" adalah hal biasa. Mereka bahkan seakan terperangkap oleh hasrat untuk membalas lawan. 

Rompi Kaesang bertuliskan "Putra Mulyono" bukan beban bagi dirinya, malah dianggap basi jika kaum pencemooh mengubahnya sebagai balasan seperti kaos bertuliskan "Korban Mulyono" saat wara-wiri di medsos. Orang yang ragu melihat bahwa biar baju bertuliskan "Korban Mulyono" dan julukan lainnya "digoreng" lewat medsos bakal tidak ada hasilnya.

Karena sebuah gagasan yang dianggap recehan dan gimik ndeso, maka rompi bertuliskan "Putra Mulyono" bisa jadi mengubur kaos bertuliskan "Korban Mulyono" seiring berlalunya waktu melebihi medsos di dunia nyata. Sebagian kaos bertuliskan cemoohan pada Mulyono dan Kaesang akan tersimpan dalam jejak medsos sebagai kenangan. Sebagian yang lain akan terlihat sejauh mana gagasan Kaesang dengan rompi bertuliskan "Putra Mulyono" memiliki kemampuan handal sebagai jebolan sebuah cemoohan dari netizen.

Begitulah masalah belum muncul di balik permukaan. Ada orang menilai bahwa kaos bertuliskan "Korban Mulyono" menjadi alat yang digunakan untuk memukul mundur gagasan di balik rompi bertuliskan "Putra Mulyono." Kata lain, orang percaya jika menyerang balik dengan menggunakan energi lawan perlahan-lahan akan keok.

Selama ini, menggunakan energi lawan mirip jurus di dunia 'bela diri' belum tentu cocok dengan kaos bertuliskan "Korban Mulyono" untuk membalas rompi bertuliskan "Putra Mulyono" dan julukan lainnya sebagai bentuk cemoohan dari netizen. 

Jurus pamungkas ala 'ilmu bela diri' melalui kaos bertuliskan "Korban Mulyono" tidak dijamin punya seni keindahan sebagaimana rompi bertuliskan "Putra Mulyono" tidak lebih baik untuk mengubah keadaan.

Padahal, masalah di balik peristiwa yang kasat mata sesungguhnya jauh lebih dalam dan luas. Andaikata bisa dibayangkan, sekian ribu hingga jutaan netizen tergoda menjadi kaum pencemooh, ada gaya Kaesang yang menggelikan seiring berapa parah masalah yang terjadi di negeri kita?

Memang benar, sebagian di antara mereka memiliki kemampuan logika dan analisis lebih dari cukup. Namun demikian, akibat terkondisikan dan terpaksa oleh keadaan, mereka memanfaatkan waktu untuk menyentil bahkan mencemooh, getol mengkritisi kebijakan, dan termasuk mati-matian mengejek gagasan kaleng-kaleng.

Sebagai pencemooh, netizen menghabiskan waktunya untuk memata-matai akun yang menampilkan Kaesang dan keluarga, yang mereka tidak senangi. Mereka menyalurkan kata-kata "pedas" dan mengoceh secara kontan telah berlangsung sejak "Anak Mulyono" sangat mengecewakan.

Begitu netizen melihat negeri kita dalam keadaan tidak baik-baik saja, di situlah mereka mencemooh. Jangan lupa. Di balik cemoohan demi cemoohan nyaris tanpa sepi sejauh mata dan telinga aktif bermain di medsos. Mereka ada karena mereka peduli. 

Coba netizen tidak mencemooh gagasan, mungkin kita tidak paham masalah yang menimpa seseorang dan masyarakat.

Dalam perjalanan netizen bagaikan algojo digital yang menghantui di tengah ramainya gagasan atau kabar menghebohkan (jika tidak bete habis). Mereka akan terjun di dunia medsos sesuai bidang yang minati masing-masing dalam tujuan yang sama, yaitu siap-siap mencemoohi anak-anak Mulyono. Maka mereka meluangkan waktu untuk mengabarkan aktivitas yang melibatkan Kaesang, entah itu nebeng teman dengan pesawat jet pribadi hingga rompi bertuliskan "Putra Mahkota." Selebihnya, dalam sebuah drama akan menyediakan waktu bagi netizen untuk melihat sejauh mana perkembangan episode berikutnya. Sudah tentu, netizen dan cemoohannya.

Lucunya, alasan 'nebeng teman' tampak tidak dibalas dengan postingan kaos atau sejenisnya dari netizen. Bisa jadi tidak dibalas mungkin karena gagasan berada di luar bentuk gambar, yang bertuliskan blablabla melalui kaos, rompi atau nongol di benda-benda.

Netizen sebagai pencemooh sebenarnya bisa mereka lancarkan ledakan sosial lewat medsos setelah ada gagasan di balik rompi bertuliskan "Putra Mulyono" andai mereka piawai dalam memilih momen yang tepat. 

Bukan mustahil, keterampilan netizen dalam mengelola isu di balik rompi bertuliskan "Putra Mulyono" sudah bisa diakal-akali oleh Kaesang dan gengnya. Itu pun karena cemoohan netizen sudah lebih dahulu "terbaca" dengan cara menyelipkan gagasan sebelum keterampilan Kaesang dan geng menguasai panggung atau dunia medsos.

Apa gunanya kaos bertuliskan "Korban Mulyono" jika sudah menelan korban bernama netizen sebagai pencemooh? Jika membalas dengan menggunakan energi lawan justeru jadi bumerang bagi dirinya sendiri. Lihatlah!

Ketika puas atas gagasan di rompi bertuliskan "Putra Mulyono" diserang balik dengan menggunakan energi lawan justeru suatu waktu kaum pencemooh akan lemas atau loyo dibuatnya.

Kemungkinan lain, mereka masih tetap gercep, gerak cepat sesuai selera dan minat yang mereka sukai untuk membagi gambar dan berita sekaligus cuap-cuap seputar rompi bertuliskan "Putra Mulyono" dan ancang-ancang gagasan lainnya. Tanpa bayaran sedikitpun, netizen membedakan dirinya dengan buzzer dan  kelompok yang dibeking oleh pihak tertentu. Mereka seakan ceriwis adalah kekuatan. Netizen sebagai kaum pencemooh bukan berarti lebih baik dari lawan atau pihak lain.

Netizen mengkritik tajam bukan sekadar untuk bertahan hidup sebagai hantu-hantu atau kelompok pengacau. Sebagaimana yang lain, mereka berterima kasih pada medsos sebagai mitra, yang menyediakan ruang berbicara dan menulis bagi dirinya, tanpa terkekang.

Menyebalkan atau mengenakkan? Sudahlah! Ketika mencemooh lawan, suara kritis dari netizen sulit dinterupsi. Siapa "moderator" X atau medsos lainnya?

Sekarang, jika kita coba merenungkan apa yang terjadi sebaliknya. Andai berlipat ganda populasi kaum pencemooh di medsos, maka netizen suatu saat juga akan tidak aktif berkomentar dan secara otomatis tidak harus dijauhkan karena pada akhirnya akan menghilang dari peredaran sebagaimana pemilik rompi bertuliskan "Putra Mulyono" dan pemilik kaos bertuliskan "Korban Mulyono" akan ditelan oleh kecepatan berita. Dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain. 

Cepat atau lambat, mereka dianggap semacam "iklan lewat" di jagat medsos. Mereka lebih tahu sasaran yang mana yang harus dicemoohi.

Baiklah. Kita sadar, bahwa dunia medsos dengan aliran cemoohan netizen didalamnya diakui tidak serta-merta mereka menjelma jadi negarawan-negarawan hebat dan tokoh-tokoh besar yang berintegritas. Tokoh-tokoh seperti Mohammad Hatta, Agus Salim, Sutami, Hoegeng Iman Santoso, dan sederet nama lainnya yang pernah tampil di negeri kita bernama Indonesia. Mereka memang hidup di zaman yang berbeda dengan netizen baru.

Apakah semacam tokoh-tokoh besar tersebut yang hidup di zamannya harus menjadi rujukan bagi netizen yang gemar mencemooh? Iya, jelas mereka mengkritik atau mencela perilaku penyelenggara negara yang kelewatan melanggar nilai-nilai moral bangsa.  

Memang Baharuddin Lopa atau Busyro Muqoddas cuma satu di negeri kita, misalnya. Keduanya dikenal sebagai sosok tokoh yang melawan arus. Berpandangan dan bersikap di luar kebiasaan karena keduanya bukan hanya anti korupsi, tetapi juga hidup apa adanya. Mereka tidak silau dengan fasilitas negara.

Tokoh-tokoh besar memang luar biasa dahsyatnya tanpa pamrih berjuang untuk menyelamatkan bangsa kita dari kehancuran. Sementara, setidaknya kritik hingga cemoohan dari netizen menurut gayanya sendiri. Untuk anak Mulyono dan anak-anak pejabat negara lainnya, marilah meneladani nilai perjuangan dari tokoh-tokoh besar bangsa! 

Halaaa, gombal! Netizen pun waspada pada cengengesan.

***

Taruhlah, andaikata ada yang muncul kaos bertuliskan "Adik Fufufafa" di salah satu akun X. 

Lalu, apakah Kaesang mengubah tudingan itu dengan gagasan di rompi atau kostum yang dipakai bertuliskan "Anak Mulyono Pewaris IKN," misalnya akan muncul cemoohan yang lain dari netizen

Saya kira, adanya gagasan IKN di kepala Kaesang lantaran dia adalah adik Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka agar Jakarta tidak rajin disebut sebagai pembanding. Yang satu mantan ibu kota, yang satu lagi sebagai ibu kota negara yang baru. Apakah memang wajah IKN bak "operasi plastik" untuk memiripkan dengan Jakarta. Dalam kondisi Jakarta seperti sekarang ini, lantas dari sisi dan wajah mana yang perlu diikuti? Apakah gedung pencakar langit, jalan tol, fasilitas umum, obyek wisata atau kota kelas dunia?

Jika IKN sebagai kota hijau, maka Jakarta harus menjadi kota bebas banjir dan jauh dari polusi udara, misalnya. Berarti IKN harus bebas banjir karena ikon kota hijau, bukan Jakarta yang pada akhirnya menjadi langganan banjir. Semestinya di IKN sebagai kota yang ditandai dengan hutan atau pohon-pohon yang hijau, rindan, dan sejuk dipandang mata.

Sementara itu, Jakarta kita bisa lihat sebatas "hutan beton" nyaris memenuhi kota dari segala penjuru. Sisanya, taman-taman atau hutan kota yang tidak bisa dijamin bisa bertahan lama sebagai wilayah resapan air. Ini sepintas gagasan tentang IKN.

Lain lagi, kritik atau cemoohan dari netizen setelah membaca selera desain dan pilihan warnanya, sungguh merepresentasikan gambar di rompi bertuliskan "Putra Mulyono" itu kampungan, norak, dan tidak profesional. Apa yang mesti dibanggakan, 'yang katanya' sebagai upaya menampik narasi. 

Panas, panas, ah biarkan saja! Sebentar juga akan redah.

Coba saja, jika netizen bikin yang seperti rompi itu lebih baik kita ladeni juga dengan hal yang cukup sensasional, buat dia nggak bakalan berani untuk memajang kedua kalinya. Seperti halnya saat dia mencoba pakai tulisan di rompi atau jenis lainnya sengaja dipertontonkan di depan khalayak ramai. Ayo, coba lagi!

Sayangnya, kadangkala seseorang yang viralkan, eh dia juga yang kelojotan ketika yang dia viralkan itu dijadikan gimik. Entahlah, apa sesuatu yang baik dicoba kembali?

Netizen maupun Kaesang merasa dirinya keren ketika saling menanggapi. Perhatikan saja apa cemoohan dari netizen dengan mengatakan pemilik rompi bertuliskan "Putra Mulyono" benar-benar putus urat malu, buta matanya, dan tuli pendengarannya. 

Ingin sih gaya-gaya milenial yang kesannya menanggapi cemoohan dengan santai, tetapi gaya model begitu lama-lama bikin kesal juga seakan meledek warga yang kontra sehingga jadinya nggak asik lagi.

Terkadang hidup ini jarang mengambil cermin sebelum menampilkan rompi atau sejenisnya. Akhirnya, kaos bertuliskan "Korban Mulyono" versus rompi bertuliskan "Putra Mulyono" ini penuh berkah bagi teman-teman karena bisa memesan kaos di marketplace. Ide desain kaosnya menjadi rezeki buat orang lain. "Sablon atau pabrik kaos laris manis bisa menambah penghasilan, iya toh?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun