Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Hidup Tanpa Tembok Pembatas

11 Mei 2024   07:27 Diperbarui: 24 Juni 2024   22:53 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup orang tua dengan anak-anaknya tidak berjarak, sekalipun jauh antara satu daerah dengan daerah lain. Dikatakan tidak berjarak juga, sekalipun diperantarai dengan handphone. 

Itulah mungkin ungkapan paling cocok di era digital, terlebih lagi di era medsos.

Suatu hari, ibundanya anak-anak nge-post di Facebook. Senang melihat mereka di pondok, full kegiatan yang bermanfaat.

Semoga tahun depan bisa ditambah harinya, mereka akan meniti Ramadhan ria di pondok. Kalau boleh berharap-harap sepekan mereka dibina. Biar lebih sedikit waktunya berlibur. Kalau pulang ke rumah lebih banyak tadabburan handphone daripada tadarrusan al-Qur'an. 

Seandainya sama saja yang mereka lakukan di pondok dan balik ke rumah, lebih senang kalau mereka lama-lama di rumah. Colek ustadz-ustadzah DAGO (Ponpes Darul Arqam Gombara)!

Kami yakin kalau mereka (shaleh-shalehaku) membaca status ini bakal marah-marah lagi sama bundanya. Saya hanya tersenyum sendiri. Kemarin saja saya cuma bercanda ke mereka, saya bilang waktu itu. "Semoga kalian Ramadhan di pondok ya!" Mendadak saja wajahnya serentak masam.

Ternyata tidak berselang lama, keluar surat resmi dari pondok menyatakan kalau mereka akan menjalankan ibadah Ramadhan di pondok selama lima hari, lalu libur. Saya pikir-pikir, betul juga yaa kata-kata dari orang tua itu adalah doa. Untung ketika itu yang baik-baik saya ucapkan diijabah oleh Allah. Padahal saya cuma bercanda.

Meski kami rindu kehadiran mereka di rumah dan terkadang membuat kami menangis sembunyi-sembunyi. Tetapi, demi masa depan mereka, kami ikhlas mereka Ramadhan di pondok. Banyak mungki ibu sama dengan ibundanya anak-anak. Kalau rindu sama anak pondoknya, ibu-ibu diam-diam menangis apalagi puasa pertama tanpa mereka. Tiba-tiba saja hidung berair ingat mereka.

Tidak ada orang tua yang tidak senang jika anak-anaknya berkumpul di rumah. Pastilah mereka senang sekali. Diantaranya, terbantu sekali dengan pekerjaan rumah kalau mereka ada. Ibunya anak-anak bahkan tidak cuci piring, tidak masak  nasi, tidak goreng telur. 

Semua anak yang bergantian masak dan cupir. Terus terang, ada satu yang membuat kami resah dan gelisah kalau kami ke kantor tidak ada yang mengawasi bermain HP kasian.

Berharap kelak mereka menjadi menjadi hafidz-hafidzahnya bunda dan kaeng (ayah). Maaf, keluar lagi curhat-curhatan orang tua yang memiliki anak zaman now.

***

Ini sepenggal cerita anak shaleh kami (Ahmad Mumtazar Ermansyah) ketika masuk pondok pasca libur Ramadhan. Anggaplah tulisan ini merangkap curhatan ibundanya anak-anak. 

Curhat-curhatan ibu itu ditumpahkan lewat tulisan dan juga Facebook tentang duka cita petualangan kecil anak lelaki kami.

Cerita ibundanya anak-anak yang terekam seperti berikut ini. Ahad, 22 April 2024. Saya sampai hari ini sebagai orang tua belum paham mengapa anak laki-laki malas mencukur rambutnya. Tidak siswaku. Anak lelakiku pun seperti itu. Padahal gammara'na (dalam bahasa Makassar berarti 'anak ganteng') dilihat kalau anak muda cukur pendek.

Jauh-jauh sebelum masuk pondok, ibunya anak-anak sering mengingatkan kapan cukur. "Sudahma ma cukur bunda," kata anak putra kami. Ya, memang benar dia sudah mencukur rambutnya saat pertengahan Ramadhan.

Tidak disangkal, cukur suka suka dia, memendekkan bagian bawah, kecuali rambut kepala di bagian atas masih terbilang panjang untuk ukuran anak sekolahan. Ibundanya anak-anak pun berkata kembali. "Cukur lagi yg bagian atas nak, masih panjang rambutmu." Dia hanya diam dan tidak ada respon.

Dalam hati ibundanya anak-anak memberi batas waktu sampai setelah lebaran. Karena nanti +10 (plus sepuluh) setelah lebaran, dia baru masuk pondok. Jadi, masih panjang waktu. "Biarlah dulu dia menikmati rambut model ala-ala dia sukai," guman ibundanya anak-anak.

Pasca lebaran, ibundanya anak-anak kembali mengingatkan. "Pergi dulu cukur nak, sudah hampir masuk pondok." Anak lelaki kami malah berkata. "Tunggu dulu pengumuman pondok bun, kalau disuruh ki cukur pendek nanti saya cukur. Tetapi, kalau tidak ada ji jangan deh. Karena pendek ji rambutku bagian bawah".

Ibundanya anak-anak kembali berkata. "Jangan tunggu nak pengumuman dari pondok. Karena selalu begitu aturannya kalau mau masuk pondok harus cukur 2 (dua) cm." Dia hanya terdiam. Anak kami yang satu ini tipenya seperti itu, tidak banyak membantah kalau sudah didesak oleh ibundaxnya.

Karena dia sudah tahu karakter ibundanya saat dibantah pasti naik "tanduknya." Kami ingat betul, akan tiba ke Kota Makassar, dalam perjalanan di hari Sabtu sore, adeknya nyelutuk. "Hiii... Mumtaz bunda tidak pergi cukur, na masuk maki pondok besok." Ibundanya pun menjawab. "Setengah mati bunda suruh pergi cukur, tapi tidak mau. Jadi, nanti kalau ditolak sama musrifnya masuk asrama, bertanggungjawab sendiri nak. Bunda tidak mau lagi bantu. Saya ingin pulang besok ke kampung itu kalau dari pondok. Saya, tidak bisa lama di pondok."

Ibundanya anak-anak mengingatkan kembali kisahnya sewaktu habis liburan yang lalu dan berkata. "Tidak mau saya itu temani mengantri di tukang cukur SMP bakda Isya, seperti libur yang lalu."

Flesbek, kilas balik cerita. Saat itu dia juga habis liburan dan kembali ke pondok. Tetapi, ditolak karena rambutnya panjang, tidak mau cukur. Apa mau dikata, kami mengantarnya ke tukang cukur favoritnya anak-anak santri putra Gombara yang bertempat cukup jauh dari pondok.

Sampai di tukang cukur ternyata antrian panjang. Kami pun menunggu anak-anak hingga selesai waktu Isya. Setelah itu, kami mengantarnya kembali ke pondok. Lalu, menyempatkan untuk menjenguk adeknya yang masuk pondok duluan. Kami meninggalkan pondok sekitar pukul 22.00 WITA.

Kisah yang lalu pun terulang. Saat ibundanya anak-anak mengantar ke musyrifnya, tidak ada masalah. Sisa buku Amaliah Ramadhannya belum  ditandatangani oleh ibundanya.

Kemudian, ibundanya  anak-anak menandatangani  dan mengatakan kepada musyrifnya. "Maaf ustadz, kalau sudah tuntas bisakah saya pamit, pingin ke putri untuk urus kakak dan adiknya Mumtaz." Syukurlah, ustadznya langsung mengiyakan. Ibundanya anak-anak  beranjak menuju kampus putri.

Mendampingi duo gadisku untuk menghadap musyrifahnya. Tidak terbayangkan, urusan di putri cepat tuntas karena kebetulan duo gadisku seasrama, sehingga sekali menghadap 2 (dua) orang, maka urusan beres. Selanjutnya, kami lanjut mengantar ke asrama sembari membantu mengangkat barang mereka.

Sementara, mengangkat barang muncullah si anak shaleh di gerbang putri dan memanggil ibundanya. Sepertinya ada hal penting yang akan dia sampaikan.

Ibundanya pun menemuinya di pintu gerbang putri. Dia berkata: "Bunda tidak bisa ka masuk asrama, disuruh ka cukur." Ibundanya sontao berkata. "Betul to yang bunda bilang, tidak dikasi masuk itu di asrama kalau tidak cukur. Begitulah kalau tidak mendengar ki nak. Coba pergi cukur, naik ojek saja nak karena mau bantu dulu bawa barangnya kakak dan adekmu ke asramanya."

Setelah itu, mengangkat barang duo gadisku hingga beres. Kami pamit lantaran mau langsung balik ke daerah. Kendaraan kami sudah keluar dari pintu gerbang putri ternyata si anak shaleh masih setia menunggu dan terus membujuk untuk diantar ke tukang cukur.

Saya sebagai ayahnya hanya berkata. "Pergi maki cukur nak pakai ojek saja karena kami nanti kemalaman di perjalanan menuju kampung." Ibundanya pun bersuara. "Makanya nak, kalau dikasi tahu sama orang tua dengarki. Apa kalau begini, sudah mau magrib baru mau lagi diantar pergi cukur. Jam berapa sampai kasihan di rumah." Dia berkomentar. "Antar ma dulu cukur bunda baru pulang ki." 

Akhirnya, ibundanya kasi penawaran, boleh diantar pergi cukur, tetapi jangan di tukang cukur yang pernah kita datangi. Cari saja yang dekat sini dan tidak antri. Dia pun sepakat dan lanjut ke tukang cukur.

Setelah dapat tukang cukurnya, ibundanya beritahu si anak shaleh. "Kalau sudah cukur ke mesjid nak, di sana kami tunggu." Usai membereskan cukurnya, kami pun mengantar kembali si anak shaleh ke pondoknya. Dan kami lanjut pulang ke kampung karena besok hari harus masuk kantor. Kurang lebih pukul 23.00 WITA, alhamdulillah kami tiba di rumah, di kampung.

Semoga harapan kami dapat terkabulkan. Kelak kalian para pejuang ilmu menjadi qurrata a'yuun kedua orang tuamu. Taat kepada Allah dan cinta kepada rasul-Nya. Barakallah sukses dunia akhirat anak shaleh-shaleha kami.

Belajar sabar menjadi orang tua menghadapi anak-anak zaman now. Anak gen Z. "Ternyata, menaklukkan siswa lebih mudah dibanding menaklukkan anak sendiri (he he)," ujar ibundanya. 

Kami sering minta bantuan ke ustad dan ustadznya di pondok untuk menasehati mereka. Karena memang survei membuktikan guru itu lebih didengar dibanding orang tua.

Terima kasih kepada guru-guru, ustadz dan ustadzahnya anak-anak shaleh-shalehaku yang sudah mendidik mereka menjadi pribadi yang lebih baik. Meski saya diguyonkan oleh anak shalehs-shalehaku, bunda tukang jamma' jamma' (lapor-lapor).  Yang terpenting, suara batin kami sebagai orang tua terhubung bersama anak shaleh-shalehaku tanpa mengenal tembok pembatas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun