Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Asal Capres Tidak Mengibuli Si Miskin

17 November 2023   23:06 Diperbarui: 16 Januari 2024   12:22 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nomor urut Amin, Prabowo-Gibran, Ganjar-Mahfud (Sumber gambar: kompas.com)

Di tengah obrolan kami dengan salah satu perangkat desa saat kegiatan monitoring sepekan kemarin, seorang ibu yang berwajah lusuh datang mendekat. Selaku tim monitoring, saya bersama kawan lainnya memang menanti seseorang untuk diwawancarai terkait data kepala keluarga miskin ekstrem. 

Ibu itu rupanya datang sendirian setelah dipanggil oleh tetangganya. Dia mewakili suaminya sedang merantau untuk mencari nafkah.

Sebelum wawancara, kami menoleh ke kiri kanan kondisi rumah miskin ekstrem. Rumahnya adalah rumah panggung. Kami menyaksikan dari tampak depan, rumahnya tidak layak huni.

Tidak ada yang remang-remang dari kondisi rumahnya. Beranjak di tempat kami mejeng dan memelototi rumahnya, kami pun menginjakkan kaki di atas papan lantai yang sudah usang.

Dinding bagian depan rumahnya terbuat dari seng. Jika dilihat dari samping kiri, kanan, dan belakang rumahnya berupa gamacca, dinding rumah berbahan tradisional anyaman bambu. Tangganya yang pendek terbuat dari susunan batu plesteran.

Parah! Dinding gamacca sebelah kanan dari arah depan terlihat sudah menganga. Ia seperti dinding bambu yang robek berat, sehingga tembus pandang tatkala ada cahaya lampu dari bagian dalam rumahnya.

Jika dibiarkan kelamaan karena usianya sudah lapuk, maka dinding bambu rumahnya sewaktu-waktu akan amblas. Rumahnya dimakan usia tidak terasa membiarkan ruang bagian dalam tidak terurus. Sebuah lemari pakaian tanpa cermin dan sebuah bangku kecil yang di atasnya terdapat lipatan pakaian bersusun-susun. 

Rumahnya telanjang di bagian langit-langit; rumah tanpa plafon. Dua helai tirai turut bergelantungan, yang mengantarai ruangan depan dan ruangan dapur. Dua helai pembatas itu terbuat dari karung pupuk dan sehelai selimut yang sudah lusuh.

Bagian dapur menandai kemiskinan yang utuh. Lantai dapurnya terbagi dari bambu dan papan yang menganga. Salah langkah sedikit, kaki kita bisa terjerembab. Kaki kita leluasa keceblos dan bergelantungan karena papan lantainya yang bocor. Hari itu, sumpah demi langit dan bumi! Tidak ada asap yang mengepul di dapur rumahnya.

Mata kepala saya tiba-tiba terpaku pada papan lantai yang sudah bolong-bolong. Berkat jipratan kamera ponsel, lantai papan hingga bagian dapur bisa diabadikan. Sekadar info, foto-foto kondisi rumah miskin ekstrem menjadi bukti betul-betul ada kesesuaian data dengan fakta lapangan. 

Foto rumah miskin ekstrem jelas tidak bertaburan dengan kekayaan dan jauh dari gaya hidup glamor. Foto itu sebagai dokumentasi kemiskinan ekstrem. Boleh dikata, rumahnya sepintas nampak mirip gubuk reok.

O iya. Saya yang bertugas mewancarai agak terhibur. Bukan apa-apa, di atas rumah ibu miskin ekstrem, saya nyaris "dikeroyok" oleh emak-emak. Hari jelang siang itu, saya dikelilingi oleh emak-emak lantaran suasana cukup akrab. Hanya tiga yang bapak-bapak. Saya bareng kawan satu tim, yang nyetir mobil dan yang satunya dari perangkat desa.

Karena itu, ibu yang diwawancarai sebagai responden menemui kami yang sejam lagi bermandi keringat. Diakui, di luar sana, cuaca begitu panas. 

Kawan-kawan membatin, "Duh, bagaimana jika kami yang menyandang miskin ekstrem? Super bokek, menggelepar lagi karena suhu panas tak tertahankan." Keras kehidupan, begitu yang terlontar dari kawan kami.

Ibu Diana namanya. Suaminya, Sudirman sedang menjadi buruh bangunan di tanah rantau. Inilah rumah yang pertama kami monitoring. Rumah di sebelahnya nampak tidak berjejer rumah keluarga dalam kriteria miskin ekstrem. Cuma pembuka mata lewat monitoring lebih dari sepuluh jengkal tanah gersang, titik di mana rumah bertengger di atasnya.

Tidak disangka, ibu miskin ekstrem Diana yang kami temui. Ada pula ibu-ibu dari tetangganya, ternyata mereka ada hubungan keluarga. Mereka mendengar apa yang kami obrolkan dengan ibu miskin ekstrem.

Percakapan kami dengan ibu Diana berlangsung di atas rumahnya, di dekat pintu. Kami duduk bersila, posisi lesehan kecil-kecilan sembari mewawancarai ibu, yang usianya lebih mudah kurang lebih sepuluh tahun dengan usia saya. Karena rumah tangga miskin ekstrem, lahir batin keluarganya sangat bersahaja dan sangat terbatas.

Sampai berlanjut mewancarai ibu Diana, suara emak-emak terdengar sayup-sayup. Eh, sebelumnya di kantor desa diperkenalkan ibu-ibu penyuluh dari Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana. Saling sapa, tetapi saya lupa namanya. Di rumah miskin ekstrem yang sama, kita menyaksikan kesempurnaan penderitaan yang tidak disesalkan karena mereka juga mampu bertahan hidup.

Saat ibu Diana diwawancarai memiliki tujuh orang anggota. Sudirman sebagai kepala keluarga harus menanggung isteri dan lima orang anaknya. Mereka menerima program bantuan melalui Program Keluarga Harapan (PKH) sebanyak 750.000 rupiah lebih dari tiga bulan. 

Mereka juga pernah menerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), diantaranya telur dua rak dan 200.000 ribu rupiah per bulan. Keluarga Sudirman sempat menerima program Bantuan  Langsung Tunai Bahan Bakar Minyak (BLT BBM). Program bantuan paling anyar adalah Beras 10 Kg perlu dinikmati oleh Sudirman-Diana bersama lima orang anaknya.

Dari hasil wawancara, ibu Diana mengatakan sudah lima tahun menerima PKH. Manfaat program bantuan yang dirasakan oleh keluarga mereka sangat membantu meringankan beban pengeluaran dan beban hidup sehari-hari. 

Mereka mampu menyekolahkan anak-anaknya, Sekolah Dasar (SD) hingga jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Pertanyaan dari ibu penyuluh nyeletup. Apa Ibu Diana ber-KB? Ibu Diana hanya terdiam. KB bu ya! Begitu kata ibu penyuluh.

Apa yang dibutuhkan ibu Diana untuk program bantuan mendatang? Dibantu menjawab oleh bapak perangkat desa, maka ibu Diana menjawab: " Saya butuh bedah rumah." Saya bertanya, program bantuan manakah yang paling mengurangi beban hidup kemiskinan keluarga? "PKH pak," jawabnya. Anak-anak mereka bisa melanjutkan sekolah melalui PKH.

Pada pertanyaan berikutnya. Apa mata pencaharian bapak Sudirman (sudah terjawab sebelumnya)? "Bapaknya bekerja sebagai buruh bangunan," jawab ibu Diana. Apakah rumah ini milik ibu? "Ya, rumah status milik pribadi." Terus, tanah atau lahan rumah juga milik ibu Diana? "Tanah tempat tinggal ini milik pribadi." Rumah ibu sudah punya listrik apa belum? "Ya, menyambung."

Ternyata, saya sedikit lupa menanyakan berapa luas rumah bapak Sudirman. Luas rumahnya 5 x 6 m bujur sangkar. 

Dua pertanyaan terakhir. Air minum yang digunakan ibu sekeluarga bersumber dari mana? "Sumur gali," jawabnya. Ibu punya jamban keluarga? "Ya, punya." Kami menilai, kondisi keluarga dan kondisi rumah merka termasuk kriteria miskin ekstrem. Itulah kesimpulannya berdasarkan fakta lapangan.

Itu satu dari tiga sampel miskin ekstrem yang dimonitoring dalam seharian. Diketahui, total KK miskin ekstrem di Desa Banrimanurung, Kecamatan Bangkala Barat Kabupaten Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 53 KK. Sudirman-Diana dinilai KK miskin ekstrem terparah di wilayah desa tersebut. Sebetulnya ada lagi sampel KK miskin ekstrem.

Pada desa yang sama. Seorang KK miskin ekstrem bernama Cici dengan jumlah anggota keluarga tujuh orang. Wawancara kami dengan empunya rumah diwakili oleh istrinya, Murni.

Di desa yang berbeda, di hari yang sama. Seorang KK miskin ekstrem bernama Hamidah, yang hidup sebatang kara. Supaya lebih akrab, saya memanggilnya nenek Hamidah. Tidak ada satu guratan wajah sedih dan ekspresi duka lara pada dirinya. Dia ramah dan murah senyum. Wawancara kami dengan empunya rumah tanpa diwakili oleh siapapun.

Cukup dibantu ngomong oleh seorang perangkat desa. Lokasinya ada di Desa Garassikang, Kecamatan Bangkala Barat. 

Sayangnya, nenek Hamidah terbilang miskin ekstrem, tetapi tidak terdapat dalam data. Oleh pemerintah pusat disebut exclusion error, kecuali muncul di data baru KK miskin ekstrem (Desil 1) di desa tersebut.

Secara kasat mata, gambar kondisi rumahnya diambil sebagai data riil di lapangan. Semuanya mengkriteriakan miskin ekstrem. Untunglah, kami tidak berlama-lama di siang bolong. Kami mempersiapkan pertanyaan. Rentetan pertanyaan dalam quisioner bunyinya sama. Dari hari pertama hingga terakhir, pertanyaannya tidak berubah.

Hari itu juga, kami mewawancarai nenek Hamidah. Nek, boleh kami ngobrol sebentar, tanyaku? Dibenaknya mungkin ada tanda tanya. Siapa gerangan yang datang di rumahku? Kami memperkenalkan pada nenek Hamidah. Maksud kedatangan kami untuk menanyakan beberapa hal.

Rumah nenek Hamidah merupakan rumah bawah. Artinya, rumah yang menunjukkan bahwa dia adalah miskin ekstrem. Atap rumahnya sudah tua dan bocor-bocor. Kondisi rumahnya serupa gubuk.

Saat nenek Hamidah ditanya, begini jawabannya. Sudah dapat program bantuan PKH nenek? "Ya." Berapa nek? "600.000 rupiah selama tiga bulan." Kalau BPNT, seperti telur nek? (dibantu menjawab oleh aparat desa). "Telur dua rak." Setelah dituangkan nek? "400.000 rupiah." Dia juga dapat BLT Desa sebanyak 300.000 rupiah per bulan dan bantuan terdapat El Nino berupa beras 10 Kg.

Sudah berapa lama nek dapat program bantuan? "Sekitar satu tahun (PKH, BPNT)." Apa manfaat dirasakan dari program bantuan nek? "Dirasakan baik karena bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari secara gratis." Melalui program bantuan itu, dia bisa menyambung hidup. Apa yang dibutuhkan nek dengan program bantuan mendatang? 

Nenek Hamidah butuh bedah rumah. Program manakah yang paling membantu mengurangi beban kemiskinan? "PKH, BPNT, beras." 

Tiba gilirannya pertanyaan seputar pekerjaan atau mata pencaharian. Apa pekerjaan nek? Berturut-turut dibantu menjawab oleh aparat desa. "Membantu petani budidaya rumput laut." Maklumlah, rumah nenek Hamidah berhadapan dengan pesisir pantai.

Apakah nenek Hamidah menempati rumah tidak layak huni? "Ya." Apakah rumahnya milik pribadi atau tidak? "Milik pribadi." Apakah tanah yang ditempati nek milik pribadi atau tidak? "Milik pribadi." 

Apakah rumahnya pakai listrik? "Ya, menyambung." Berapa luas rumahnya nek? "Sekitar 6 x 8 m bujur sangkar." Atap rumah nek dari jenis apa? "Seng berkarat dan bocor." Lantainya dari jenis apa? "Floor, semen yang sudah lama." Dindingya? "Gamacca, dinding bambu anyaman." Air minum yang dipakai nek dari mana sumbernya? "Sumur bor (PANSIMAS)." Ada jamban keluarga nek? "Ya, ada." Saya kira cukup wawancaranya, yang lamanya terhitung kurang lebih lima menit.

Sebetulnya, masih ada warga miskin ekstrem yang tidak ada namanya di data kemiskinan ekstrem di daerah kami. Jika boleh disebut Sineng namanya. Gambar rumahnya diambil dari jarak dekat dengan kondisi rumah reok banget. 

Rumahnya persis gubuk derita. Cuma kami tidak sempat mewawancari secara langsung lantaran dia sedang istirahat. Berdasarkan keterangan aparat desa, Sineng hidup sebatang kara.

Banyak rumah tangga miskin ekstrem yang termuat dalam data. Sebaliknya, rumah tangga yang bukan miskin ekstrem kerap muncul data (inclusion error). Ini membuat cemburu pihak lain karena mereka tergolong rumah tangga mampu, sehingga tidak layak menjadi rumah tangga miskin ekstrem.

Apa tanda-tandanya? Mereka punya rumah batu, kendaraan atau usaha yang cukup bagus ketimbang orang miskin. Kita melihat acapkali muncul kasus tersebut dan latar belakang itulah kita melakukan kegiatan monitoring di lapangan.

Sama mirisnya dengan rumah tangga miskin ekstrem di desa lainnya. Mohon, saya memberi gambaran satu KK miskin ekstrem lagi! Yang satu ini bernama Yammang Daeng Raga, di Desa Balangloe Tarowang, Kecamatan Tarowang. Saya secara langsung mewancarai isteri Yammang Daeng Raga, Nurliah.

Baiklah. Kita mulai dari pertanyaan pertama. Apakah sudah terima program bantuan PKH bu? "Ya." Apa saja bu? "300.000 ribu selama dua bulan." Apa lagi bu? "Beras 10 Kg dari desa." Sudah berapa lama terima program bantuan bu? "Lima tahun (PKH)." Apa saja manfaat yang dirasakan dari program itu? "Membantu mengurangi beban pengeluaran keluarga."

Apa ada perubahan bu saat terima program bantuan? "Ya, ada." "Perubahannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari." Apa sudah cukup dari program tersebut? "Ingin meningkatkan pemenuhan kebutuhan sehari-hari (kebutuhan pangan)." 

Apa yang perlu diperbaiki dari program tersebut saat mendatang bu? "Butuh rumah bedah." Program manakah yang paling membantu mengurangi beban kemiskinan keluarga? "PKH, BLT Desa."

Pertanyaan selanjutnya. Apakah pekerjaan bapak? "Nelayan." Apakah dia menempati rumah tidak layak huni? "Ya." Apakah rumah bapak ibu milik pribadi atau tidak? "Milik pribadi." Apakah tanah yang ditempati bapak ibu milik pribadi atau tidak? "Milik pribadi." Rumah ibu punya listrik? "Ya, sendiri." Berapa luas rumah ibu? "4 x 6 m bujur sangkar." Atap rumah ibu terbuat dari jenis apa? "Seng." Lantai? "Floor sebagian, tanah sebagian." Dinding rumah ibu? "Gamacca." Air minum yang ibu pakai darimana sumbernya? "PDAM, menyambung." Apakah punya jamban keluarga bu? "Ya, bantuan desa."

Dari beberapa sampel itu saja sudah cukup mewakili gambaran umum kondisi rumah tangga miskin ekstrem. Nyatanya, kita tidak mampu berbicara banyak, kecuali jika kita memantau langsung tentang apa sesungguhnya terjadi di lapangan. 

Atas nama bukti atau fakta, kita tidak bisa meraba-raba apalagi mengarang kisahnya tentang rumah tangga miskin ekstrem di suatu wilayah. Ini suatu cara menelaah yang tidak lazim. Begitulah, dari persembunyian ke pembuktian rumah tangga miskin ekstrem di lapangan. 

Andaikata fakta rumah tangga miskin ekstrem dijadikan semacam komoditas politik, berarti mereka sekadar "iklan pengentasan kemiskinan" yang lewat di kepala sekali dalam lima tahun. Saya tidak bisa bayangkan, jika ada ratusan data KK miskin ekstrem abal-abal, lantas berapa banyak ongkos yang terbuang percuma karena tidak tepat sasaran.

Menyangka ada 25 KK miskin ekstrem berdasarkan hasil verifikasi dan validasi, misalnya. Tetapi, monitoring justeru menemukan hanya 3 KK miskin ekstrem. 

Di situlah muncul kesesuaian atau tidak antara data dengan fakta di lapangan. Dari titik ini, monitoring bertugas untuk menemukan kendala dan permasalahan di lapangan agar sasaran program percepatan penghapusan kemiskinam ekstrem tidak melempeng.

Akhirnya, ujung kisahnya persis gambaran dan fakta kemiskinan ekstrem di lapangan. Kita melihat kepala keluarga miskin ekstrem dalam dua penanda. Kemiskinan ekstrem dalam data dan kemiskinan ekstrem dalam kenyataan atau fakta di lapangan.

***

Kalau saya ditanya, apa isu strategis yang menggelitik dan mendesak penanganannya di negeri kita. Satu di antaranya isu kemiskinan. Tidak disangka, isu kemiskinan diserempet dengan efek elektoral calon presiden.

Sekarang, saya buka berita online saja muatannya membuat kita berdecak kagum, sisanya membuat kita terasa "ngilu." Ada berita malah muncul semacam lelucon yang tidak masuk akal. Absurd.

Coba kita perhatikan. "Wapres Harap Angka Kemiskinan Cepat Turun Jelang Pemilu karena Caleg Bagi-Bagi Bantuan." Memang sih ada kawan berseloroh jika ada baik bagi-bagi duit karena terjadi peredaran uang di masyarakat. Saya salah duga, dulu omongan seperti itu saya dengar sendiri. Terulang lagi dari kawan yang berbeda. Yang lucu bagi 500 ribu hingga 1 juta rupiah baik uap. Melayang dan lenyap entah kemana.

Marilah kita simak bunyi tajuk yang termuat dalam berita online. "Soal Kemiskinan, Janji Anies-Ganjar-Prabowo masuk akal?," ini dari cnbcindonesia.com. "Menguji "Jurus" Capres-Cawapres di Bidang Kemiskinan dan Pendidikan." Berita online ini bersumber dari beritasatu.com. Ketiga tajuk berita online muncul sebelum terjadi penetapan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) pada Pemilu 2024, hari Selasa (14/11/2023). Saya kira tidak ada hari betul-betul istimewa karena peristiwa terulang dalam lima tahunan.

Suasana di hari-hari jelang pemilihan umum berselang seling wajah muram dan riang gembira, senang dan gembira, ciut dan berani menantang pertarungan politik. Biar elite hingga para pendukung capres-cawapres tidak dicap buta tuli, maka angkatlah bayangan gelap rumah tangga miskin (miskin ekstrem?)!

Lah, capres bisa apa pada si miskin? Banyak orang menghubungkan politik pemilihan presiden dengan nasib orang miskin. Politik orang miskin: siapapun presiden mereka tetap miskin, betulkah?

Masih syukur jika obrolan tentang wong miskin atau kemiskinan terdampar di atas janji-janji para capres dan cawapres. Beruntung cepat-cepat obrolan tentang si miskin bertengger di dokumen visi dan misi capres dan cawapres.

Yang kita heran, saat video dan komentar dari calon presiden dan calon wakil presiden ramai diplesetkan, disoroti hingga dimaki. Tetapi, kisah pilu si miskin justeru sepi dari keperpihakan. Buat apa juga perjuangan politik pilpres lima tahunan jika hanya buyar dari perjuangan politik si miskin. Maksudnya, berapa besar kepedulian capres untuk membebaskan lingkaran setan kemiskinan? Paling tidak, capres lewat program dan tindakan nyata lainnya bisa mengentaskan kemiskinan.

Belum lagi soal data valid seputar jumlah penduduk miskin dan rumah tangga miskin ekstrem. Memangnya kenapa bung jika orang miskin jadi tontonan doang? Anda mau apa jika si miskin jadi angka, obyek atau mainan di pemilihan presiden?

Maklumlah, kita pikir apa yang ada di sekitar kita. Jeritan massa miskin dibungkam oleh politik uang. Suara lirih orang miskin tenggelam di tengah ingar-bingar politik. Suara massa miskin tidak segemuruh dengan konser musik Coldplay di Jakarta (15/11). Ia tidak segencar dengan aksi boikot produk pro Israel akibat membombardir Gaza, juga pembersihan etnis atau genosida di Palestina.

Ditengarai sudah ada curi start nih. Bagi-bagi beras untuk lima tahun. Dapet berasnya, nggak janji deh nyoblosnya? Bagi-bagi amplop, duit, dan sembako untuk pilih pasangan capres dan cawapres tertentu. Hoax apa Hore? Hoks atau Hoax? Ya, sudahlah bung! 

Saya sudah baca visi dan misi pengentasan kemiskinan para capres dan cawapres. Ada yang tersurat dan ada yang tersirat. Intinya, ini perang gagasan dan konsep gaes!

Mengakhiri cerita, beberapa hari lalu, komentar saya ditanggapi oleh bestie di grup Whatsapp. Bagaimana jalan cerita singkatnya?

Bung Man. Satu pertanyaan buat lo. Apakah strategi "jual citra" masih akan laku di 2024? Iya, hal yang lumrah. Biasalah itu (he he). Begitu jawabku. Terus bestie saya berkomentar kembali. "Berarti waktu 4 (empat) bulan akan laku dipake untuk turun "sekadar tengok" ya?" Tengok-tengoknya mungkin untuk "curi hati" pemilih. "Curi hati" pemilih itu kuncinya. "Habis tengok-tengok, nanti datang lagi empat tahun kemudian (bestie tertawa)." Jawabku: "Kalau tengok-tengok pulang itu dianggap sebagai cara untuk mendulang citra positif, nggak masalah."

Toh, tidak ada masalah bestie. Saya pikir, tujuan politik pencitraan untuk mendulang suara alias mendongkrak opini publik para kandidat (waktu itu, masih tahapan bacapres-bacawapres). Memang tidak sedikit juga politik pencitraan berujung ejekan semacam parodi.

Jokowi misalnya, Pilpres 2014-2019, 2019-2024 tidak sepi dari "jual citra" atau "politik pencitraan." Katakanlah, suka blusukan, penampilannya sederhana.

Blepotan lumpur saat tanam padi bareng petani, ngobrol di warung sari laut atau pecel lele itu jg bagian dari jual citra atau politik pencitraan. Ahli menganggap dalam sistem demokrasu modern terdapat politik pencitraan.

Urusan penampilan lebih dikedepankan daripada substansi. Hasil survei atau riset juga menunjukkan yang laris itu citra "merakyat", sederhana, jujur. Bukan visi misi yang hebat dari elite alias capres-cawapres. Inilah #edisiDuarius.

Yang jelas, siapapun capres-cawapres yang terpilih bakal menghadapi isu kemiskinan ekstrem. Maret 2023, tingkat kemiskinan ekstrem Indonesia mencapai 1,12 persen. Jumlah penduduk miskin, Maret 2023 sebesar 25,90 juta orang atau 9,36 persen (BPS, 2023).

Kita sadar tentang siapa capres-cawapres Anies-Muhaimin, Prabowo-Gibran, dan Ganjar-Mahfud. Tetapi, berkali-kali kaum miskin sebagai obyek. Ketika calon presiden politisasi si miskin, maka kita berharap kelengkapan wawasan dan kepentingan capres-cawapres dengan mengumbar, membonekakan, menopengi, dan mengorbankan si miskin agar lekas diakhiri. Stop, dramatisasi yang menyebalkan! Selamat berjuang capres-cawapres!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun