Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Si Penyantap Siang Tanpa Tersangkut di Tenggorokan

30 Oktober 2023   21:15 Diperbarui: 27 Januari 2024   19:23 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Santap siang, Presiden Jokowi, Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan (Sumber gambar: kompas.com)

Hal yang pertama kali saya bayangkan tatkala Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan diundang Presiden Jokowi untuk santap siang di Istana Merdeka tidak lari dari main-mainan, jenaka hingga ejekan sejenis parodi. Husss, santap siang yang kebal dengan parodi politik.

Ya, ternyata tontonan santap siang membuat kita repot dan kuping abu-abu alias bijak menilainya. 

Dugaan itu tidak meleset dari sebelumnya lantaran yang saksikan di layar tv atau di media sosial nggak nyicil soal tayangan jamuan santap siang di istana.

Tanpa dinanya, di antara kawan-kawan di grup WhatsApp ada yang nge-fans banget dengan salah satu calon presiden. Saya sudah ngomong dari kemarin soal pilihan bebas, siapa calon presiden yang terbaik untuk Anda. Merem-merem bergairah saat terjaga hingga di TPS (ketawa).

Ngarep-ngarep juga tidak apa-apa, asal bukan naif dan absurd. Singkatnya, hak pilih bebas adalah 'sesuatu banget'.

Ada-ada saja tampilan nyentrik para calon pemimpin nasional. Maaf, ada yang numpang ngakak di media online, ada komentar nyebelin, dan macam-macam. Pokoknya kuasa, tentu saja kuasa negara dikarikaturisasi dan diteatrikalisasi

Contohnya, di sebuah majalah tenar berkelas nasional dalam peristiwa anyar, dimana orang pada tahu jika sang penguasa sedang angkat-angkat anaknya, yang menjulur keluar di atas sebuah tugu ternama di Jakarta.

Di dekatnya ada sosok calon presiden karena anak penguasa sebagai calon wakil presiden. Lain lagi, di sebuah unjuk rasa mahasiswa memperlihatkan bagaimana pentas sekelompok orang meluncurkan semacam bedak di sekujur tubuh. Mereka nampak telanjang dada bersama keranda mayat.

Tetapi, santap siang di istana rupanya menjadi "ruang yang tidak mati." Mulai pak presiden dan ketiga calon presiden dalam suasana akrab. Sesekali presiden mempersilahkan mencicipi hidangan di atas meja berbentuk bundar. 

Dalam berita dikisahkan meja makan tersebut berwarna putih. Letaknya tidak berada di bawah ruang oval. 

Ruang oral yang menandai komat-kamit ritual santap siang seiring obrolan santai dan dipicu oleh tawa. Inilah yang dimaksud "tanpa tersangkut di tenggorokan." Menu hidangan sudah jelas kaya dengan gizi. Nikmat bukan? Obrolan mereka terasa hidup.

Apa bentuk nggak nyicilnya sobat? Tiba-tiba imajinasi saya dan Anda melayang-melayang. "Ajak-ajak dong kita pak presiden makan bareng di istana? Kapan ya wong cilik santap siang rame-rame di istana?"

Impian santap siang wong cilik mungkin terkubur di tengah obrolan politik yang ingar-bingar. Kan istana itu rumah rakyat, kata kawan di  satu kesempatan. Teringat lagi di masa muda begitu "romantis," rombongan makan gratis.

Siang yang cerah, santap siang terjamu versi istana. Apalagi politik santap siang melibatkan sosok tokoh nomor satu di negeri ini dan para calon pemimpin nasional.

Istana itu mungkin saja melayani, tetapi temanya lebih khas, dibelokkan dan ditumpahkan obrolan sesuai apa yang dihadapinya. Tamu yang diundang dalam perjamuan santap siang harus mengonsumsi produk pangan dari keterampilan tangan. Mereka mengobrol seputar keseharian. 

Menu santap siang untuk presiden dan ketiga bakal calon presiden berupa rendang, lontong, ayam rolade, oren jus, ayam kecap, tahu bacem rolade ayam, lontong, rendang, jus jeruk, ayam kecap, dan tahu bacem sebagai simbol pangan nusantara. Mereka menikmati sajian menu santap siang istana.

Santapan tersebut memiliki nama yang lebih sederhana, ia bukan glamor karena muncul dari suatu dapur yang tidak terlihat. Di sela santap siang dipertajam oleh “menu” pengantar antara presiden dan salah satu bakal calon presiden. Menikmati santap siang sembari mengobrol. Secara khusus, menu sayur dipersilahkan oleh presiden, disahut oleh bakal calon presiden. Suasananya tidak membuat bakal capres merasa kikuk, melainkan biasa-biasa saja menghadapinya.

Di sana, santap siang menoleh pada urusan hanya pada dunia mereka dan tidak terganggu  dengan apa yang terjadi di luar. Mereka menikmati jamuan santap siang tanpa membedakan selera humor dan selera anak gedongan. Mereka bisa tergoda karena ilusi daya tarik obrolan sehari-hari. Suasana cair lewat santap siang nampak tidak lagi memikirkan hiruk-pikuk dan panasnya serangan politik. 

Santap siang telah mengubah harapan masa depan suram menjadi candaan. Santap siang seakan melupakan yang lain.

Satu sisi, dari strategi kuasa, santap siang ditafsirkan sebagai bentuk penjinakan yang sebagian dianggap "berseberangan" dengan rezim yang berkuasa. Kita lihat di sisi lain, santap siang di istana sebagai "ruang catur" dalam upaya melenturkan ketegangan syaraf-syaraf otot. Ketegangan dalam kaitannya dengan sorotan tajam, nyinyir hingga makian terutama di tingkat antarpendukung kompetitor, yang meledak di ruang publik dan media sosial.

Perjamuan santap siang diharapkan untuk “melupakan sejenak yang lain” dari ketegangan yang menyita perhatian. Di zaman ini, santap siang di istana menjadi ritual menjadi bisa dilihat, diketahui, dan diceritakan dalam ruang publik dan media sosial. 

Santap siang di istana sebagai tanda komunikasi. “Melupakan sejenak yang lain” adalah “cara pelepasan beban” melalui santap siang. Itulah mengapa santap siang bisa ditafsirkan dan dinilai sebagai instrumen permainan politik. Sudah sekian lama unek-unek dan perang politik bisa dicairkan melalui santap siang.

Di tahun politik, saat ini kita tidak berada dalam babakan akhir pertarungan hidup. Saat ini, semuanya hanya kemungkinan. 

Anda bakal melihat langkah penuntasan politik yang tertunda dengan bonus permainan. Nah, santap siang itu bonus permainan. Menikmati santap siang, menikmati permainan, iya kan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun