Politik bibir, ya teriakan itu. Para pendukungnya berteriak pada bakal calon presiden. Teriakan pendukung dan bahayanya jika sebatas suara di tenggorokan.
Teriakan pendukung sebagai tanda ekspresi gembira. Teriakan bisa ambrol Presiden, presiden!" Eforia politik secara berlebihan akan membutakan pilihan seseorang pada kandidat. Lagi pula, jika dipikir-pikir teriakan tersebut tidak menjamin bacapres 'terpilih' di hari nyoblos. Pendukung dengan pilihan bacapres mungkin berada di persimpangan jalan. Ini atau itu?
jika para pendukung kandidat hanya puas di saat itu. Padahal tahapan pemilu masih jauh. Hari nyoblos sisa kurang lebih dua ratus hari lagi. Suara dukungan masih bisa berubah-ubah. Siapa yang tahu suara batin dari pendukung ketika berteriak. "Kader partai politik dan pendukung lainnya hadir sambil menanti bacapres memang tidak keliru. Tetapi, suara lantang jangan dikira sebagai satu-satunya cara mendukung bacapres.
Teriakan "presiden, presiden!" Itu terdengar pekikan pendukung sekaligus nampak di atas permukaan. Dukungan mestinya mengalir di bawah permukaan. Kejutan! Haruskah? Dukungan ada atau tanpa teriakan "presiden, presiden" enggak relevan amat. Saya kira, tim masing-masing bacapres perlu kerja senyap. Menggalang suara dukungan terjadi di balik teriakan pendukung.
Kerja senyap dari tim sukses yang saya maksud bukan seperti mengendap-endap di malam suntuk. Tidak ada bunyi jengkrik, sepatu, sendal, pentungan atau kendaraan, dan lainnya berbeda dengan kerja senyap. Kerja senyap bukan diam membisu. Itu terdengar lucu. Saya juga tidak mengatakan jika kerja senyap sebagai syarat tunggal dan mutlak bagi kemenangan kandidat.
Bagi konsultan politik tahu persis apa yang mesti dilakukan oleh tim sukses. Soal ada atau tidak ada teriakan "presiden, presiden" tidak dicampuri oleh konsultan politik. Hemat saya, kerja senyap adalah kerja sistemik. Kerja senyap sebagai langkah strategis dengan rencana yang matang dan terukur.
Teriakan pendukung tinggal teriakan. Saya tidak mengatakan teriakan "presiden, presiden" sebagai sesuatu yang absurd dan sia-sia. Diketahui segmentasi pemilih juga beragam. Segmentasi pemilih yang berbeda berdasarkan latar belakang sosio-ekonomi, keyakinan, gender, kelompok usia, dan seterusnya menjadi bahan kerja senyap. Nah, dari bahan kerja senyap tersebut sebagai 'ruang kosong' bagi teriakan pendukung. Daripada urus sesuatu yang 'tidak berpengaruh besar', mending olah suara dukungan.
Gelombang suara dukungan tanpa akhir itulah yang menjadi tanda-tanda awal kekuatan bacapres. Lengkingan suara. Bacapres diteriaki "presiden, presiden" sebagai teriakan yang membahana. Teriakan "presiden, presiden" begitu ramai di atas permukaan. Tetapi, suara dukungan rapuh di bagian dalam. Teriakan "presiden, presiden" terasa keropos di bawah permukaan kegiatan bacapres.
Jika pendukung ditanya. Hadir di pertemuan bacapres anu kemarin? Betul, sahutnya. Betul apa tul pilihan mas si anu? Si pendukung nampak terdiam.
***
"Anies presiden, presiden!" "Ganjar presiden, presiden!" Â Ganjar atau Anies diteriaki presiden oleh pendukungnya di sekian momen. Teriakan demi teriakan menjadi politik bibir. "Prabowo, presiden, presiden!" Teriakan itu keluar dari bibir. Teriakan "hidup presiden, presiden!" Para pendukung mereka bisa sedikit "hidup" karena "hidup presiden, presiden!" Teriakan di suatu ruangan yang telah ditentukan.
Politik bibir di balik teriakan pada bakal capres. Politik oral alias lisan, politik verbal.
Kita membicarakan suatu politik mutakhir yang latah di balik teriakan "presiden, presiden!" Kendatipun politik bibir menggambarkan dunia luar yang kita pahami, maka ia berkaitan dengan kepentingan apa yang kita mainkan.
Tubuh tidak sekadar menunjuk bibir atau teriakan massal dan pendukung lainnya. Mereka bukan mustahil tidak terbatas, sejauh hal itu menyeret ke tengah pusaran kepentingan. Kita akan bertahan atau tidak, bahwa teriakan "presiden, presiden" akan berlalu begitu saja. Sebagaimana ruang kesadaran dari teriakan, justeru membuat pendukung tidak sadar. Pendukung bacapres tertentu menjurus  ke "histeris" hanya karena memanggungnya politik teriakan.
Apapun ledakan dari dalam, politik bibir, politik teriakan kepada kita. Ia tidak dididik langsung akibat ledakan massa di bagian luar, suara pendukung di balik teriakan "presiden, presiden!"
Kehadiran pendukung adalah kehadiran yang mengarah pada kebanalan teriakan "presiden, presiden," politik bibir. Pemisahan citra semu atau nyata dipolesi dengan penampilan secara verbal. Obyek-obyek yang diselewengkan dari tujuan imanensi citra tokoh bacapres yang bisa diketahui lintasan dan jejaknya melalui citra media sosial (tubuh).
Keriangan seketika menyelimuti bibir para pendukung. Mereka bukan menoreh tinta hitam  di antara gambar yang kabur dan ironis. Teriakan "presiden, presiden" dan tidak bisa dilihat secara kasat mata. Ia mendekatkan tatapan jelas dari pendukung dalam tapal batas yang telah disingkirkan dalam ketunggalan pilihan bacapres.
Retorika politik dan tokoh bakal calon presiden dalam ingar bingar teriakan. Politik bibir dengan kata-kata dan angka-angka, jarak, dan beban citra di tengah gejala dan tanda sekejap mata. Para pendukung pulang dari tempat dimana bacapres Ganjar, Prabowo, dan Anies dengan pandangan mata berbinar-binar. Ada sebagian orang mendengar teriakan dalam ruang yang kosong.
Seluruh yang samar datang menggoda dalam pikiran. Anies, Prabowo, dan Ganjar dalam benaknya ada sejuta impian di balik teriakan dari pendukung. Entah di ajang balap Formula E bersama Anies. Dia tersenyum. Dia diteriaki penonton. "Anies Baswedan for President 2024." Anies diteriaki secara histeris oleh relawan. "Presiden, presiden, presiden" di momen Temu Relawan di Tennis  Indoor Senayan (21/5/2023). Dalam road show, Anies diteriaki saat datang shalat Jumat di Masjid Agung Al-Akbar, Surabaya (17/3/2023). Banyak momen Anies diteriaki oleh para pendukungnya.
Begitu pula dalam tiga unsur: "aktor," "sutradara," dan "panggung" politik teriakan "presiden, presiden!" Seperti desiran darah yang mengalir dalam jaliinan politik teriakan pendukung  yang nge-fans dengan bacapres. Bagai panah dan busur. Bacapres dan pendukung tidak bisa dipisahkann dengan politik teriakan. Berkat teriakan pendukung "presiden, presiden," maka teriakan spontan tidak terkira. Teriakan tanpa naskah. Lalu, teriakan pendukung tanpa "penghias bibir" atau simulasi bagaimana teknik melompat, tertawa, menangis, merayu, terjatuh, bersembunyi, mengemuka, dan melompat kembali pada teriakan lainnya.
Sang aktor di dunia politik tidak hanya sekadar tatapan kosong, tetapi teka-teki bagi para pendukung. "Presiden, presiden!" Sang aktor tidak lain dari bacapres.Â
Tubuh atau tekno-teater bukanlah pertama kali dijajaki. Seperti diungkapkan sebelumnya, bahwa tidak ada ketidakstabilan dan ketidaksadaran, yang ada hanyalah pantulan figur-citra darah-daging begitu deras mengalir keluar sebagai kewarasan baru. Daya hororistik disamarkan tidak melalui citra keindahan-tubuh, melainkan dalam kelengahan diri.
Oleh karena itu, setiap kelengahan diri dalam teriakan "presiden, presiden" dipertajam bukan oleh gambar tipuan, melainkan kekaguman atas teriakan mereka sendiri.
Berkenaan dengan jaring-jaring bacapres Ganjar Pranowo yang didukung dengan hiburan politik. Untuk para sobat! Pengorbanan relawan dan pendukung lainnya yang diciptakan oleh teriakan tanpa lelucon. "Ganjar presiden, presiden!" Fiksi dan fakta segera melucuti dan menggiring teriakan pendukung di tubir ruang kosong.
Tetapi, lelucon sebagai bentuk permainan aneh perlahan-lahan mengiringi mesin politik. Para pendukung yang berbicara, "datangilah aku di tempat yang lebih nyata!" Dalam teriakan "presiden, presiden" justeru sebagai tempat yang rawan bagi terciptanya ruang kosong. Saya hanya tersenyum dibuatnya.
Ganjar diteriaki "presiden" tatkala lari pagi bareng dengan Gibran, di Bogor (22/72023). "Hidup Gajar! Ganjar Presiden! Hidup PDIP," teriak kader lainnya. Itu momen untuk menghadiri puncak perayaan HUT ke-50 PDIP di JIExpo, Jakarta Selatan (10/1/2023). Mereka berbicara tidak dengan kedalaman selera perut atau aliran kepuasan sedetik. Di Gelora Bung Karno, di acara jalan sehat di Bali, dan lainnya, Ganjar di teriaki "presiden, presiden."
Apa yang kita lihat (ribuan hingga jutaan penonton) mengenai lingkaran tidak datang dari batas teriakan "presiden, presiden!" Sumber teriakan yang tidak terbatas juga tidak memiliki ruang di luar yang dibicarakan atau diteriakkan oleh pendukung.
Ruang representasi gambar bacapres terakhir dari sisi gaya bacapres melekat pada orang yang hanya pandai berteriak. Teriakan pendukung melampiaskan atau menghasratkan dirinya dengan bisikan atau godaan dikelilingi dengan dunia citra bacapres. Mereka akan berbicara dan mencatat berdasarkan apa yang ada dalam gagasan.
Dalam suara, mimpi, dan fantasi pendukung tentang teriakan "presiden, presiden" untuk pendukung itu sendiri.Â
Apa yang terlintas dalam logika kepuasan, tanpa kulit dan tangan, kecuali cakrawala lebih luas, seakan-akan serangkaian pergerakan citra bacapres lewat teriakan "presiden, presiden" oleh pendukung diciptakan demi gema. Setiap gema dari teriakan pendukung menghasilkan gema lainnya.Â
Gema tumbuh dan bersemai dalam kerumunan pendukung bacapres. Teriakan sebagai gema mengarah pada ruang kosong.Â
Teriakan bak "akar serabut." Ia diperlukan untuk menunjukkan kekuatan politik massa.
Coba Anda perhatikan! Gema dari teriakan pendukung tidak cukup bagi bacapres. Teriakan "presiden, presiden" bersifat tidak stabil. Teriakan belum pasti di bilik suara. Teriakan pendukung pada bacpres berlaku pada peristiwa sedang berlangsung. Teriakan pendukung tanpa bobot laksana benda melayang-layang di ruang hampa. Akhirnya, teriakan "presiden, presiden" tidak terikat pada perpindahan dari bacapres ke capres. Tahapan pemilu berpindah, tetapi teriakan sebagai gema masih tetap teriakan pendukung di ruang kosong. Jika bukan di ruang kosong, teriakan pendukung sekadar gema.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H