Suatu
hari, isteriku ngobrol sejenak soal rapor biru merah petahana selama dua periode. Calon kepala daerah yang akan maju di kontestasi Pilkada sebanyak tiga pasangan. Singkat cerita, anak dari petahana akhirnya telan "pil pahit" karena kalah dalam kontestasi Pilkada.ÂYang terpilih sebagai kepala daerah dari mantan pejabat teras di bidang administrasi pemerintahan daerah. Â Coba lihat kinerja kepala daerah yang terpilih dalam setahun. Maksudnya bunda. Panggilku pada ibunya anak-anak.Â
Kita bisa cela rezim lama. Tetapi, belum ada jaminan rezim baru akan lebih baik dari rezim sebelumnya.
Kategori 'lebih baik' tentu yang dimaksud akan terjadi perubahan. Kata perubahan dieluk-elukan oleh para pendukungnya. Seperti tagline sebelum dan saat tahapan kampanye. "Hidup perubahan!" Kita belum tahu apa yang terjadi esok. Belum ada kesempatan di tampuk kuasa. Ya, politik kuasa daerah.Â
Dulu rezim dicela, nanti kita lihat kesempatan diberi pada kepala daerah yang terpilih. Hanya soal "kesempatan." Begitu cara berpikir isteriku. Aji mumpung jadi jurus efektif dalam kuasa.
Obrolan itu saya ingat kembali. Merah biru nilai kinerja pemerintahan cukup dipengaruhi oleh aji mumpung alias kesempatan untuk berkuasa. Jika kesempatan hanya sekadar "nama" akan kelihatan juga bagaimana hasilnya. Jika kesempatan untuk berkuasa lewat kursi kepala daerah hanya di ujung jari telunjuk. Saat berkuasa sebagai kepala daerah hanya kesempatan untuk mengeruk keuntungan.Â
Apalagi dalam perjalanan kuasanya terjadi kasus korupsi dan dugaan jual beli jabatan, maka nampak ada yang tidak beres. Kesempatan ada untuk berkuasa, yang jauh lebih maju atau lebih parah dari sebelumnya.
Praktik kuasa yang enak tenang tidak lari kemana-mana. Ia melekat pada aji mumpung, kesempatan untuk berkuasa. Kita tidak lupa tentang apa yang mendorong kuasa direbut.Â
Mengapa sekali periode jadi kepala daerah hingga presiden tidak cukup? Khusus di negeri kita, di samping gengsi dan nama tenar yang diburu, ada hasrat yang mendorong untuk berkuasa.
Kita masih ingat skandal politik kuasa Ratu Atut Chosiyah dan Wawan ribut diperbincangkan saat jelang akhir 2013. Paling menyolok adalah praktik politik dinasti justeru menjatuhkan marwah kuasa Ratu Atut sebagai Gubernur Banten (2007-2015). Kuasa yang menggoda. Kuasa "menyihir" bagi yang memuja dan pihak terpikat padanya.
Ramainya ide dan wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden sarat dengan kepentingan politik kuasa. Pemilu ditunda dan jabatan presiden diperpanjang menandakan hasrat dan kebutuhan saling menetralisir. Hasrat dan kebutuhan terhadap pemilu ditunda dan masa jabatan presiden berada dalam pusaran relasi kuasa. Aliran hasrat lebih kuat daripada kebutuhan dibalik ide dan wacana kuasa.Â
Padahal wacana yang menciptakan realitas. Ada yang menentang dan lebih sedikit mendukung pemilu ditunda atau masa jabatan presiden diperpanjang sampai tiga periode.
Walaupun sudah ketahuan kemana bola ide dan wacana menggelinding atau publik sudah tahu jalan cerita sandiwara itu malah dimunculkan kembali. Karena Jokowi berulang kali menyampaikan tidak ingin tiga periode masa jabatan presiden tetap saja dinilai sebagai penjajakan adanya kemungkinan politik. Presiden Jokowi hanya menanggapi isu dan wacana pemilu ditunda dan masa jabatan presiden diperpanjang sebagai bagian dari demokrasi.Â
Tetapi, semuanya tidak bisa dilepaskan dari relasi kuasa. Di situ terjadi tarikan kepentingan politik datang dari hasrat untuk berkuasa. Jika kebutuhan atau tuntutan zaman, apa lagi? Hasrat untuk berkuasa. Jika tidak terkesan vulgar kata "serakah" dan "haus kuasa," mungkin lebih dekat dengan hasrat untuk berkuasa. Bisa jadi, kuasa sebagai hasrat atau hasrat sebagai kuasa berlindung di belakang tema masa depan bangsa.
Satu sisi, atas nama songsong Indonesia Emas 2045 lebih menarik daripada asumsi dan prasangka. Sisi lain, kuasa sebagai hasrat, hasrat sebagai kuasa melampaui asumsi, prasangka hingga wujud fisik negeri kita. Toh, esensi kuasa berarti itu juga hasrat.
***
Apa alasan jika anak presiden ingin menjadi kepala daerah. Itu sah-sah saja secara hukum. Anak atau keluarga kepincut untuk mencalonkan menjadi kepala daerah itu hak pribadi. Berminat mencalonkan kepala daerah memang tidak dikutuk di alam demokrasi.Â
Kita tidak tahu apakah Kaesang Pangarep yang ramai dibicarakan lagi "tutup telinga" lantaran sorotan publik ditujukan padanya. Pro kontra diarahkan pada Kaesang Pangarep dan Gibran Rakabuming Raka dipersiapkan untuk maju di Pilkada Depok dan DKI Jakarta mendatang.
Budaya patron klien menguatkan restu Jokowi pada anak-anaknya untuk maju ke Pilkada. Restu Jokowi menjadi struktur bahasa kuasa yang senyap. Ia tidak bisa secara terbuka dan langsung diungkap apa maksud dari restu tersebut. Restu Jokowi ditafsirkan dan dijabarkan secara berbeda.Â
Tetapi, supaya tidak klise, restu berarti ada perintah untuk menindaklanjuti apa "titah" nomor satu RI. Restu tersebut terutama kesiapan dukungan birokrasi pemerintahan. Apa boleh buat, politisasi birokrasi sebagai andalan dukungan dalam lingkaran (politik) kuasa.
Konsolidasi demokrasi ditantang oleh sejenis konsolidasi politik dinasti. Diakui atau tidak, politik dinasti masih kuat karena sekian abad lamanya sudah mengakar dalam sejarah kuasa. Patron klien diketahui menggunakan pengaruh Jokowi sebagai presiden untuk menopang anak-anaknya maju di kontestasi pilkada.
Terikut pula sokongan fasilitas dan dukungan finansial saat anak-anak atau keluargaisme ikut Pilkada. Hasrat Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution untuk gubernur lewat pilkada mendatang seakan bukan rahasia umum. Naiknya Gibran ditampuk Walikota Solo dan Bobby sebagai Walikota Medan secara tidak langsung ada "efek" kuasa negara, Presiden Jokowi. Sulit memang dipisahkan antara urusan pribadi, keluarga, dan pemerintahan. Dua periode Jokowi terpilih sebagai Presiden begitu berpengaruh dari level atas hingga level bawah.
Hasil survei pun menunjukkan betapa tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi. Faktor kepercayaan publik atas Jokowi yang memegang kuasa negara menjadi modal bagi Kaesang, Gibran, dan Bobby untuk merebut kuasa.
Wilayah kuasa yang bakal direbut naik kelas. Walikota Gibran dan Bobby menuju Gubernur. Kecuali, Kaesang Pangarep pasang kuda-kuda untuk maju ke kontestasi Pilkada Depok. Dari sekian bakal calon, tentu anak-anak Jokowi masih sangat berpengaruh.
Warganet dan publik wajar risau akibat demokrasi terganggu dengan politik dinasti. Orang-orang bisa sewot sebagaimana elite politik cawe-cawe dalam Pilpres dan Pilkada.Â
Kenapa sodara jadi sewot? Tanggapan balik seseorang yang dicap sebagai politik dinasti.
Sedikitnya ada komentar ringan atau bernada santai saja dari anak-anak di bawah lingkaran kuasa jika disoroti oleh warganet dan publik. Persis juga saat disentuh cawe-cawe. Ada urusan apa dengan Anda? Makin jauh dari demokrasi, makin aneh tanggapan atau ekspresi orang yang berada dalam lingkaran kuasa.
Politik dinasti agak kebal bahkan cenderung anti kritik. Bukankah iklim demokrasi butuh kritik berbasis data dan bukti? Kita ingin kontrol atas kuasa negara. Tidak mungkin yang dikritik anak usia balita atau wong cilik lagi tidur beralaskan tanah.
Jika orang ditanya soal efek Jokowi. Sebetulnya Presiden Jokowi baik. Dia ingin Indonesia maju sejajar dengan negara-negara industri maju lainnya. Kata kawan di daerah Jokowi adalah presiden rakyat. Presiden pilihan rakyat. Cuma Jokowi perlu "ngerem" dan "kaca spion" sedikit dalam kaitannya dengan anak-anaknya yang terjun dalam politik pilkada sebagai hasrat untuk berkuasa. Merebut makin hari makin kencang.
Maju berarti tidak mengulang kembali praktik politik dinasti. Sayangnya, oleh seorang politisi dari koalisi, politik dinasti diartikan dengan sebatas KK. KK antara Jokowi sebagai orang tua sudah terpisah dengan KK anak-anak. Padahal inti dari politik dinasti yaitu pengaruh kuasa negara. Level presiden sebagai jabatan politik tertinggi di suatu negara. Itu bukan hal biasa-biasa.
Sedangkan level atas, semisal politik kuasa negara yang sama dengan presiden menggunakan pengaruhnya, apalagi level bawah seperti pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) dan pilcaleg (pemilihan legislatif). Sudah ke sekian kalinya terjadi pilkada langsung tetap saja sanak keluarga terlibat tentang enaknya berkuasa secara politik.Â
Politik pilkada pula disertai dengan kasus korupsi dalam perjalanan pemerintahan daerah. Dari pusat sampai desa dirasakan dan dialami bagaimana nikmatnya kuasa.
Prabowo Subianto, Ganjar Parnowo, dan Anies Baswedan tidak sepi dari hasrat sebagai kuasa, kuasa sebagai hasrat. Yang menarik juga, survei elektabilitas ketiga bakal capres begitu dinamis.Â
Karena itu, kuasa itu enak, kuasa itu nikmat, kuasa itu tidak enak, terus kuasa itu nikmat banget. Siapa yang ingin berkuasa? Kenalilah dulu apa itu kuasa, apa itu hasrat! Enak tenang, enak sial bergantung pada kuasa sebagai hasrat, hasrat sebagai kuasa yang terkontrol. Hasratlah membuat tuan dan puan bisa berkuasa, kuasalah membuat bung berhasrat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H