Di perpustakaan tersebut tersimpan teks Rene Descartes, yaitu Discourse on Method. Di rak buku perpustakaan sebelahnya ada Leviathan, karya Thomas Hobbes. One Dimensional Man, teks Herbert Marcuse, Mythology, teks Roland Barthes, dan masih banyak lagi yang lain. Saya sendiri pusing, ingin pilih buku yang mana di perpustakaan tersebut. Saking banyaknya buku-buku bacaan yang bagus, sehingga agak sulit menjatuhkan pilihan.
Dalam diskusi tersebut hadir pula senior yang jago masak. Bagai chef kawakan yang malang melintang di dunia dapur masakan. Dia adalah kanda Doktor Rosmiati Ramli.
Semasa gaul di Padepokan Gunung Lompobattang No. 201 Makassar, dia tidak pernah lupa akan dinamika kehidupan aktivis IMM. Sampai teringat akan rapelan sarapan dengan makan siang. Makan malam  dipikir di urutan ketujuh. Dia menimpali diskusi sebelumnya soal tokoh Al Farabi, Al Kindi, Ibnu Sina, dan sekalibernya. "Tidak tersentuh kesana kajian Anda (Ermansyah R. Hindi)." Ngakak, kanda Doktor Ros! "Kita jadikan obyek kajian karena kepentingan studi dan pemikiran kita yang punya latar belakang ilmu agama."
Selingan guyonan diskusi mendampingi rujukan teks dari koran, buku hingga jejak-jejak digital. Saya menyahut dengan alasan pas-pasan. "Kanda Doktor Ros, ada bahan sentilan lucu dari Haeruddin Kallo. Menurutnya, kalau buku agama banyak ayat-ayatnya. Jadi, dia malas membaca jenis buku tersebut." Guyonan diskusi dari kajian keilmuan yang belum mumpuni.
Dalam ingatan kolektif, Padepokan Gunung Lompobattang No. 201, 1990-an. Ia merupakan homebase perjuangan para aktivis Angkatan Muda Muhammadiyah. "Sejak 1990-an titik tolak ingatan bersama. Ingat selalu, di sana pernah kita mengundang kanda Andi Alfin Malarangeng, Ph.D., ilmuwan politik. Kita berguru filsafat sama kanda Wahyudin Halim, Ph.D. Siapa dulu pencetusnya?" Doktor Saleha kembali mengingatkan peristiwa. Beberapa sosok ilmuwan beken, diantaranya Profesor Mattulada dan Profesor Abdurrahman A. Basalamah. Semuanya sempat menghadiri kegiatan kami secara khidmat.
Satu langkah dalam pencarian buku tanpa buku digital. Di perpustakaan UIN Alauddin itulah, saya pertama kali "mencumbui" buku Karl Marx, Capital (Volume I). Tapi, ehemm, belum tuntas. "Pantesan," balas Doktor Saleha. Di sana kutemukan buku, diantaranya Mysticism and Logic, karya Bertrand Russel dan Islam, karya Fazlur Rahman. Itulah sederet buku yang tersimpan di luar medsos, e-book atau ruang digital.
Di UIN, kaum akademisi menjalin kajian keilmuan secara integratif antara ilmu agama dan ilmu modern. Dalam persfektif Doktor Rosmiati, "bukan filsafat ilmu saja, tapi mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan pemikiran Islam. Lahirlah teologis normatif." Justeru saat itu, anak-anak IMM agak "alergi" dengan buku bacaan semacamnya.
Saya suka "teologi negatifnya" Jacques Derrida, Mohammad Arkoun, dan Abed Al-Jabiri. Di Padepokan Lompobattang 201 dulu, pernah kumiliki bukunya Arkoun, Rethinking Islam. Belakangan, pemikiran Fazlur Rahman yang menarik. Tapi, Arkoun "lebih" bebas.
Akhirnya, kembali lagi ke ijtihad kolektif-kelembagaan. Ia menekankan prosedur normatif. Ia cenderung mengungkung nalar. Sehingga kebebasan berpikir dan kebebasan berekspresi kurang menjadi perhatian luas dalam keilmuan.
Metodologi yang rigit tidak punya daya tarik dalam masyarakat ilmiah, seperti perguruan tinggi. Saya sebetulnya tidak tertarik 1100 persen dengan fatwa keagamaan berbasis dogma karena melumpuhkan penafsiran dan pemikiran baru. Fatwa dan produk pemikiran terikat ruang dan waktu. Zaman berubah berarti berubah pula penafsiran dan pemikiran. Tajdid al-Afkar fi Dini (pembaharuan pemikiran dalam Islam versi Muhammadiyah) nampak mandek. Ia macet banget. Kecuali ia masih "adaptasi," bukan reformasi alias pembaharuan. Kita perlu epistemologi jitu di zaman baru.
Hemat kami, itulah salah satu ruang digital yang berkaitan dengan alur pemikiran yang dipadatkan dan "diminiaturisasi" melalui media opini online. Sebagaimana saran Profesor Najib, bahwa koran, penerbit, perpustakaan atau penulis, sastrawan, arsiparis, dan pustakawan perlu memanfaatkan teknologi Artificial Intelligence (AI), industri kreatif, dan sejenisnya. Terutama penulis, dia dituntut pula piawai menemukan "cara" baru untuk terus eksis.