Lewatdiskusi. Biasanya begitu tanpa comot topik diskusi. Dianggap mengalir apa saja obrolan bersama warga grup WA. Jelaslah, tidak ada moderator, tanpa host.Â
pukul 09.00 pagi (WITA), Sabtu (17/06/2023) sudah mulai kita berdiskusi. Tidak ada persiapan sebelumnya. Warga di grup WA juga tidak mempersiapkan apa topikBoleh dikata, diskusi tanpa formal-formalan. Kali ini, kawan-kawan memang tidak terpancing untuk berdiskusi. Hanya tiga atau empat orang terlibat diskusi secara langsung.
Dalam hitungan kasar, diskusi berlangsung "seperempat" riuh, selebihnya nyimak. Kawan-kawan diskusi muncul segenerasi, sezaman komputer. Ada senior dan yunior ikut berdiskusi di grup WA. Kalau dipikir-pikir, lebih penting nge-weekend bersama keluarga. Tetapi, tak apalah. Ngobrol santai di grup WA dicoba-coba lagi.
Usai membaca Harian Kompas, edisi 17 Juni 2023 berjudul "Kurator Pencerahan," saya terangsang untuk mendiskusikannya dengan kawan-kawan di grup WA. Tulisan itu dari Ahmad Najib Burhani. Dia seorang Profesor Peneliti Ahli BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Selain tema kebangsaan dan kemanusiaan, dia kerap menulis tema seputar Islamic Studies. Orang familiar, khususnya di Harian Kompas atau di dunia akademik.
Pada alinea pertama tulisan Profesor Najib di Harian nasional "papan teratas" itu sudah menandai nada "melo" bahkan ironis. Bagaimana tidak? Kiprah dan pengabdian panjang koran harian seperti Republika dan Sindo terpaksa mengakhiri riwayatnya sebagai 'media cetak' sekaligus e-paper. Keduanya "tutup buku" di enam bulan pertama 2023.
Tidak sampai di situ, toko buku dan penerbit mengalami mimpi buruk. Diberitakan pula perpustakaan sedang mengalami nasib serupa. Membayangkan perpustakaan desa, taman baca masyarakat, dan ruang literasi lainnya turut ambyar di tengah era digital yang makin menantang.
Tidak jauh dari diskusi tentang megap-megapnya dan radar dunia teks tertulis, muncul apresiasi Profesor Najib. Dia terinspirasi dengan milad penerbit Mizan. Tema miladnya: "Mizan 40th: Kurator Pencerahan," yang diperingati tahun lalu (2022). Kita harus diakui, bahwa Mizan banyak menawarkan tema buku yang menggelitik dan mengulik dari berbagai persfektif. Satu diantaranya, pemikiran alias diskursus agama, terutama Islam.
Untuk memulai diskusi, meluncur frasa "Keras Kehidupan!" Sekurangnya ada empat alasannya? Pertama, kayaknya "era Paperless" bakal merambah kemana-mana. Kedua, kurang dari satu dekade era Paperless sudah nongol paling tidak di e-office, e-governance. Di kantor Walikota Surabaya (sekitar 2016, 2017), saat kami benchmarking. Ahaa! Di sana nyaris 99,9 persen tanpa kertas.
Ketiga, habis Harian Republika, Toko Buku Agung, siapa lagi yang "angkat tangan" menghadapi kompetisi pasar? Keempat, penerbit Mizan yang tokcer buku-bukunya dikenal sebagai pemantik diskursus intelektual tanah air. Entahlah kini. Bagaimana nasibnya?
***
Ibarat berbalas pantun, "pembukaan" diskusi ternyata ditanggapi oleh kawan andalan. Doktor Saleha Madjid namanya. Kawan yang satu ini adalah orang yang acapkali "gelisah" melihat keadaan sejak kami bersama-sama di IMM. Bersyukur punya kawan seperti dia. "Saya ingat dulu, kita sampai kemana-mana cari buku terbitan Mizan. Karena ia asyik dibaca, walaupun orang bilang penerbit Mizan identik dengan Syiah." Begitu komentar awal dalam diskusi kami. Siapa kira, Doktor Saleha "bertengger" dalam "barisan" pembaharuan pemikiran Islam ala "Mazhab" Ciputat. Harap dimengerti! Dia merahi Doktor UIN Syarif Hidayatullah di Ciputat. Kampus ini dikenal sebagai gudang pembaharuan pemikiran Islam. Dia nampaknya sudah layak menyandang "ikon" pembaharu pemikiran.