Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pagi Jempol, Sore Jebol

16 April 2023   10:47 Diperbarui: 5 November 2023   10:51 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Walikota Bandung Yana Mulyana dalam satu kesempatan (Sumber gambar: kompas.com)

Guyonan serta merta menghilang dalam keingar-bingaran peristiwa koruptif. Peristiwa demi peristiwa serupa seakan-akan sebagai tontonan gratis. 

Satu tontonan dari sekian banyak adegan. Tontonan yang membuat warganet jengah dan muak.

Nyaris setiap hari negeri ini disuguhi operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK. Pelaku atau terduga mungkin sedang mabuk kepayang. Biar dosis tinggi, kesembuhan dari perilaku koruptif masih susah terobati.

Anda masih mengira, kemarin "ngeri-ngeri sedap" (teringat Sutan Batugana), kini "sedap-sedap ngeri." Keriangan ternyata dibungkam oleh pemuasan hasrat. Ngeri dan sedap sudah tidak bisa dibedakan lagi. Keduanya samar-samar.

Pertanyaan dari warganet. Masak sekadarkelas receh yang dicekok oleh KPK? Mana dong kelas jumbo, mana "kelas gajah?" Saya dan Anda mungkin tercenun. Hening cipta dimulai!

Lalu, pertanyaan itu buyar dihadapanku. Pertanyaan itu sebaiknya lebih diprioritaskan pada lembaga penegak hukum. Singkatnya, andalan kita tetap pada KPK untuk memberantas OTT. Sambil jalan, warganet turut "mengawasi" gerak-gerik para penyelenggara negara.

Pekerjaan rumah untuk memberantas korupsi memang tugas kita bersama. Kita setuju, mulai dari masing-masing pribadi. Jangan sampai kita berkoar-koar keluar, terbukti kita sendiri yang terlibat skandal suap menyuap, misalnya. Saya yakin, "kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak nampak" masih tetap relevan dengan permasalahan kronis di negeri kita.

Namun demikian, sebagian orang menilai korupsi semacam "kanker ganas" yang menyerang tubuh bangsa. Sebagian lagi menganggapnya sebagai hal yang biasa.

Menganggap biasa terhadap hal-hal "luar biasa" lagi buruk itulah yang disebut orang sebagai banalitas alias 'kesia-siaan'. Hal yang biasa bercampuraduk dengan hal yang luar biasa dalam korupsi terjatuh dalam banalitas.

Wujud banal dan banalitas masih disambut di abad 21. Jean Baudrillard (1929-2007) telah meninggalkan jejak-jejak pemikiran tentang banalitas. Abad dimana laki-laki berusia 58 tahun dengan tatapan kosong. Kini, laki-laki itu menghadapi nasibnya.

Laki-laki itu bernama Yana Mulyana. Sosok Walikota Bandung yang mengimpikan kota tidak seindah dengan hasrat untuk "memiliki" tanpa sadar apa akibatnya. Yana terjebak oleh hasrat untuk meraup keuntungan dibalik kesempatan.

Mengapa Yana terperangkap oleh hasratnya sendiri? Yana tergoda dengan hasrat untuk memiliki. 

Dia betul-betul dalam ketidaksadaran. Suap menjadi "mesin ketidaksadaran" yang nyata.

Jelasnya, Yana Mulyana terciduk oleh KPK karena terduga kasus suap dari rekanan dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa. Dia rupanya "tergiur" proyek, "terlena" dari intaian KPK. Demi fulus, itulah penangkapan banal, yang sia-sia. Muka mau ditaruh dimana?

Yang tergoda dengan uang suap antara pejabat dan rekanan. PT Sarana Mitra Adiguna (SMA) sebagai rekanan pengadaan CCTV dan layanan jasa internet untuk program Bandung Smart City memberi suap pada Yana Mulyana. Tidak hanya itu, KPK juga mengendus Yana menerima suap dari rekanan yang sama untuk plesiran bersama keluarga ke luar negeri. (detik.com, 16/04/2023)

Aduh! Anda bisa menghela nafas pelan-pelan. Ini gambaran banalitas kesenangan. Demi hasrat dan kesenangan, mereka rela menghambur-hamburkan duit.

Abad banalitas yang lahir sebelum kursi empuk kuasa  berakhir dengan rompi oranye. Masa jabatan takluk di hadapan banalitas, kesia-siaan. Kenikmatan akan korupsi sebagai banalitas.

***

Hari-hari kegembiraan karena keistimewaan bulan Ramadhan tiba-tiba terguncang dengan peristiwa banal. Langit dan bumi orang berpuasa menahan jebakan-jebakan nafsu. 

Suatu nafsu atau hasrat untuk memiliki sebelum bulan mulia itu muncul akan menjadi sia-sia.

Peristiwa memalukan itu terjadi tatkala penangkapan Yana Mulyana sebagai terduga kasus korupsi bergerak dari satu arah. Sementara, Ramadhan melintas dari arah lain. Pendulum dalam kuasa waktu.

Maka dari itu, betapa gembiranya orang yang berpuasa pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Kita menikmati i'tikaf, tadarrus, bersedekah, dan sejenisnya. Istilahnya, kencangkan ikat pinggang, gaspol beribadah sebelum garis finis Ramadhan.

Berbeda dengan pak Yana Mulyana sudah gaspoll sebelum Ramadhan. Hal yang semestinya kita kendalikan hasrat untuk memiliki uang hasil suap menyuap segera dibersihkan jiwa selama bulan Ramadhan.

Peluang emas ada dalam bulan Ramadhan. Bagi terbelenggu jiwanya oleh nafsu, maka dia akan sulit mencapai titik kenikmatan spiritual. Malah dia terjerembab dalam kenikmatan material yang menipu daya.

Tetapi, apa yang terjadi di luar sana. Saat masih pagi mengajari para penyelenggara negara tentang nilai kejujuran, profesionalitas, akuntabel, dan inovatif. Sore hari sudah lain ceritanya. Sore berubah menjadi "kurang ajar" dari yang mengajarkan nilai kebaikan saat pagi.

Sudah bukan rahasia lagi, politik dan bisnis ibarat "saudara kembar." Suatu kegiatan politik mustahil leluasa "bermain" jika tidak ada sokongan dana. O iya, berita santer mengenai kantor Bupati Kepulauan Meranti dijadikan jaminan oleh pak Muhammad Adil. Ini gila-gilaan. Tetapi sudahlah, dia sedang meringkuk dalam rumah tahanan KPK. Lagi pula, sekarang kita ngobrol sedikit soal kasus dugaan suap pak Walikota Bandung.


Jauh-jauh hari sudah disoroti seputar peristiwa politik transaksional begitu rawan dengan penyelewengan. Politik transaksional dianggap biang pemicu korupsi kepala daerah.

Meski bukan kepala daerah, perilaku koruptif pada awalnya bukan kejahatan saat hasrat atau nafsu tidak terkontrol. Lantas, hasrat yang tidak terkontrol dimanfaatkan untuk kejahatanberupa perilaku koruptif. Ia akan memikat kita dari segala penjuru, apalagi kita sebagai pejabat. Tinggal menunggu waktu dan kesempatan. Dimana ada niat dan kesempatan, di situ ada sejengkal dua jengkal akan nyolong uang negara.

Kita mencatat, dari hasil pengamatan bahwa korupsi bisa muncul lantaran kongkalikong antara pejabat dan pengusaha. Dari kasus yang ada, potensi terjadinya penyelewengan kuasa itu ditengarai dengan keberadaan "bandar politik" dan istilah semacamnya.

Jean Paul Sartre telah mensinyalir adanya dirty hands (tangan kotor) dalam permainan (lihat No Exit and Three Other Plays, Vintage Books, New York, 1955, hlm. 131). Dari permainan apa saja, diantaranya permainan politik. Permainan berbahaya kerap membayangi masa depan.

Permainan bisa dijalankan sebelumnya, jika oknum sudah terduga kasus korupsi, kita mau ngomong apa. Rumah tahanan KPK tanpa permainan. Coba Anda bayangkan, ketika hukum dipermainkan dalam dugaan kasus suap menyuap?

Aneh dan lucunya lagi (ah, tidak lucu kan soal korupsi!), sebelum terjaring KPK dalam OTT, Wali Kota Bandung, Yana Mulyana hadir dalam kegiatan pemerintahan daerah. Yana berbicara di hadapan 120 pejabat Kota Bandung yang baru dilantik tentang pentingnya integritas dan kedisiplinan. Mari kita simak apa yang diucapkannya.

“Oleh karena itu diperlukan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi disiplin jujur dan mau bekerja keras pada level pimpinan tinggi administrator dan pengawas.” (kompas.com, 16/04/2023)

Di era digital, setiap ucapan yang keluar dari lidah pejabat akan terekam. Suap dan fasilitas liburan keluar negeri diterima oleh Yana Mulyana. Ucapan bisa menjadi “kengelanturan retorik,” yaitu ucapan tidak sesuai dengan tindakan. Ucapan menjadi bumerang. Ucapan akhirnya berubah menjadi cermin retak. (detik.com, 16/04/2023)

Ucapan pejabat perlu terpikirkan sebelum diutarakan dihadapan khalayak ramai. Lahir batin seorang pejabat sudah siap untuk menghadapi konsekuensi apapun dari tindakannya. “Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri” adalah pepatah lama yang menjadi bahan renungan kita.

Siapa yang tidak tergoda dengan uang? Mulai dari sini, kita akan berusaha untuk mengontrol diri saat uang menggoda kita. Jangan sampai sudah tergoda duluan sebelum uang menggoda. Semoga bukan basa-basi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun