Ia tidak datang padaku dengan aura kekerasan. Aku tidak tahu siapa memanggilku yang bertumpang-tindih dengan suara bergambar dan suara-tulisan yang tidak pernah Aku dengar sebelumnya. Dia “Sang Lain” (Sang Cahaya) memanggilku di tengah kewarasan orang-orang yang tenggelam dalam ilusi kebenarannya sendiri.” Demikian pula, selama tidak membelenggu kita, setiap teks, seperti jam dinding, suara adzan di masjid, jadwal imsakiyah, atau syiar agama muncul di televisi adalah kode atau tanda. Tetapi, dalam hadits qudsi: “Aku selalu ada sesuai dengan persangkaan hamba-Ku pada-Ku” sebagai tanda keintiman yang tidak terkira.
Puasa Ramadhan memperkenalkan dirinya melalui “tanda kerahasiannya sebagai tanda keistimewaan” melebihi “tanda irasionalitas yang rasional” (Foucauldian) justeru memiliki perbendaharaan bahasa tanpa batas sebagai ruang dialog antara ‘unsur hewani’ dan ‘unsur malakuti’.
Jadi, pernyataan dan hubungan logis dari “sang Lain” menjadi ‘penanda ego yang lain’.
“Sang Lain” seperti lainnya dimurnikan dan direfleksikan melalui orang beriman sebagai “Aku yang lain” yang menjalankan puasa Ramadhan mencoba meniru sifat “sang Lain” (sang Ilahi), diantaranya meliputi rangkaian kata sifat “penyayang,” “penyantun,” “pengampun,” “perkasa,” atau “mengetahui” secara relatif dari seseorang sebagai makhluk, ‘yang diciptakan’ semula bersifat pribadi menjadi bersifat sosial.
Karena itu, “Sang Ilahi sebagai Sang Lain” dengan segala energi-Nya mampu diserap sekaligus dipancarkan oleh orang-orang beriman yang berpuasa sebagai “Aku yang lain” tidak terbeli dengan egoisme (ananiyah).
Kata lain, “Aku yang ter-Ilahiakan” tidak tereduksi dengan egoku sendiri. Ingatlah!
Ketidakhadiran “Sang Lain” (Allah) bagi seorang hamba adalah dosa-dosa membuat hatinya atau orang-orang yang mengingkari-Nya. Ya Allah, ya Maha Pengampun, ampunilah dosa-dosaku! Kasihanilah hamba-Mu! Sinarilah dengan Cahaya-Mu!
Dalam puasa Ramadhan, “Aku yang lain” dari orang-orang beriman yang berpuasa melampaui “Aku adalah ...,” “Aku berpikir ...” “Aku berhasrat …” Ada saat kita ditinggikan, ada saat kita direndahkan gara-gara kita sendiri (QS [95] : 4-5). Sampai di sini, “Aku” masih bersifat plural.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H