Pekerjaan buruh gendongan teryata berbuah kesenangan. Mbah Siyem tidak mengeluh, tidak menyesal dengan keadaan dirinya.Â
Lanjut, dia menuturkan. "Paling enggak ada oleh-oleh untuk cucu." Padahal, mbah Siyem bukan main berat beban hidup yang dipukulnya. Di situ muncul rindu dengan keluarga.Â
Karena riang, mbah Siyem menggendong barang puluhan kilogram tidak terasa beratnya. Semasa remaja, saya pernah alami bagaimana seninya mengangkat beban berat. Saya memanggul sekitar 50 kilogram pupuk per karung. Esoknya, badan pegal-pegal lantaran tidak biasa mengangkat beban berat.
Lain lagi, kisah mbah Wagirah (70) asal Kulon Progo. Mirip-mirip kisah mbah Siyem. Cuma berbeda usianya.
Mengelola kocek itulah pertimbangan untuk kelangsungan hidup keluarga. Jelas pula, banting tulang, peras keringat. Tidak ada jalan lain. Mbah Wagirah rela jadi "sang jago" di bidang genidongan barang. Ayo, siapa nantangku?
Siapa yang ingin berselimut malam di emperan toko? Mbah Wagirah jawaranya. Saya dan Anda tidak bermain lelucon.Â
Bayangkan, ukuran 2 kali 2 meter luas emperan dijadikan tempat tidur, beristerahat di malam hari.
Lengkaplah sudah riang gembira menyambut pagi. Bintang gemintang malam tidak terlihat saat siang hari, bukan?
Datang hujan kehujanan, datang panas kepanasan tidak dihiraukan oleh mbah Wagirah. Sudah di level Lansia, dia masih banyak anak muda dibuatnya keder. Semangatnya luar biasa.
Bangun pagi, pukul 3 dini hari bagi mbah Wagirah menjadi rutinitas. Angkat barang berpuluh-puluh kilogram terasa enteng.Â
Sebagaimana buruh gendong lainnya, mbah Wagirah tidak peduli dengan besaran upah. Jika ratusan ribu rupiah rezkinya, mereka  makin asyik. Saya cemburu dengan buruh gendong perempuan! Catat! Mereka tak gendong Anda. Pelajaran tentang kehidupan buruh gendong perempuan yang penting, seperti mbah Siyem dan Wagirah. Tunggu aku di rumah, cucuku!