Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wahai Cucuku, Aku Buruh Gendong, Tunggu Aku di Rumah

16 Maret 2023   17:33 Diperbarui: 18 Maret 2023   08:25 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selanjutnya, mbah Siyem menuturkan mengenai pekerjaannya. "Sehari enggak pasti tadi sudah angkut roti 2 kali, sama beras tadi 3 kali. Tadi pegawai beras tidak masuk, jadi saya yang diminta untuk memanggul."

Seperti buruh gendong perempuan lainnya, mbah Siyem tidak punya kamus kehidupan untuk merasa malu menjalani pekerjaan sebagai bangsa jongos. Istilah pekerjaan rendahan enyah di hadapannya.

Dari awal kisah pilu mbah Siyem, saya mencoba menyerap energi cahaya kehidupan darinya. Saya mengambil butir-butir hikmah di balik kisah buruh gendong perempuan. Bahwa menjadi buruh gendong perempuan diperlukan semacam ketabahan yang mengagumkan. Suatu kesabaran yang agung. Jenis pekerjaan tersebut mesti jauh dari "mental kerupuk." 

Dia harus tahan banting, kuat mental atau tidak gengsian. Rumusnya, apa pun jenis pekerjaannya, dia harus mensyukurinya. Yang penting halal.

Kisah getir buruh gendong membuat saya terenyuh. Tanpa basa-basi dan candaan di tengah keringat buruh gendong perempuan. Layaknya kehidupan di desa, mbah Siyem dan buruh gendong lainnya menjadi tulang punggung ekonomi keluarganya.

Ada yang menarik di sana. Mbah Siyem berada dalam interaksi penjual, buruh gendong perempuan, dan pembeli. 

Dimana aliran barang, di situ mbah Siyem mengalir menjemput bola alias pengguna jasa.

Sampai saat ini, buruh gendong di mata masyarakat Indonesia menganggapnya sebagai pekerjaan recehan. Ia sejenis pekerjaan kaum terpinggirkan.

Mengapa demikian? Buruh gendong dari kalangan emak-emak bertumpu pada kekuatan fisik. Ia mengedepankan kerja otot. 

Buruh gendong ditampik di hadapan pekerjaan yang mengandalkan otak, pikiran cemerlang. Istilah kerennya buruh gendong asing dari human capital. Dia amat berbeda pekerja profesional, seperti manajer, akuntan, dokter, konsultan hingga dosen. Sehingga mereka secara otomatis sangat kontras dari segi pendapatan. Yang satu, 2.000, 5.000, 10.000 rupiah, yang lainnya puluhan bahkan ratusan juta.

Jelas berbeda. Ibarat langit dan bumi, gaji alias upah buruh dan kalangan profesional. Lebih jelas lagi, ada jurang yang menganga lebar antara dua kelompok masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun