Rentenir terjebak oleh hasratnya sendiri lewat uang berbunga atau "beranak," dari satu bunga sekian persen ke bunga bertambah ke sekian persen, apalagi sudah jatuh tempo pembayaran utangnya.
Sepintas, rentenir memiliki kemampuan untuk menolong orang yang terdesak dengan uang. Belas kasih yang tergerus dengan bunga utang yang bikin pusing tujuh keliling.
"Aku berutang pada rentenir, maka aku tertolong sesaat." Ungkapan ini sekadar ala Cartesian. Lebih dari itu tidak ada.
Lama kelamaan, tatkala terdesak terus dan terjepit dengan keadaan, dimana orang yang berutang akan terperas dan tercekik akibat berondongan tagihan utang dari rentenir.
Apakah ini penjelmaan dari "hukum rimba" tipis-tipis? Â Siapa kuat akan menelan yang lemah. Keseimbangan alam muncul antara pihak yang berutang dan pihak yang memberi utang.
Rentenir memiliki hukum rentenir. Pihak yang berutang harus mengikuti aturan yang dimainkan oleh rentenir. Pantaslah, rentenir masih tetap disebut 'lintah'.
Kelonggaran urusan di depan dan ketercekikan urusan belakang merupakan prinsip khas dari rentenir di sepanjang masa.
Masih mending, jika ada sumber yang bisa dibayarkan, tetapi jika sudah tidak ada sama sekali daya untuk melunasi utang, kita ingin berbuat apa.
Berutang ke rentenir dianggap "obat peredah sejenak" kantong kering atau pengepul asap dapur.
Tetapi, ketika jatuh tempo utang, maka uang mesti juga berputar melalui tangan rentenir ke sekian banyak orang yang berutang menjadi "berbisa" tanpa bentuk.
Bagi yang ada sangkut pautnya dengan rentenir, sangat jarang untuk menolong secara tulus pada orang lain. Tabiat serakah dan eksploiternya muncul saat jatuh tempo utang.