Atas perintah sang rentenir, beberapa orang membongkar secara paksa rumah Undang. Orang-orang pada melongo karena tidak bisa berbuat apa-apa.
Pada akhirnya, kasus pembongkaran rumah tersebut secara sepihak  berurusan dengan hukum. Pihak kepolisian sudah menerima laporan dari korban. Laporannya sedang ditindaklanjuti.
Terdengar suara dari bisik-bisik tetangga, warga desa, tempat Undang bersama isteri dan anaknya bermukim merasa resah dengan ulah sang rentenir. Dari laporan, banyak warga menjadi korban rentenir, yang terlilit utang.
Begitulah, jika tidak punya uang, sebagian warga meminjam bukan ke penggadaian atau koperasi simpan pinjam, tetapi ke rentenir.
Salah sedikit, jika orang tidak bisa melunasi utangnya, maka cara gertakan, paksaan bahkan kekerasan yang berbicara.
Saya setuju, rentenir perlu ditata dengan baik oleh pemerintah setempat.
Utang sebesar 1,3 juta rupiah ada lebih tinggi dari itu. Di mata rentenir, jumlah uang sebesar itu dianggap kecil. Yang berutang justeru tercekik lehernya karena bergantung ada atau tidak ada uang yang dimiliki.
Kisah pilu tersebut merupakan satu dari sekian banyak peristiwa dalam kaitannya dengan permasalahan yang dihadapi oleh  Undang. Dalam sejarah, akar-akar rentenir sudah ada sejak zaman feodal.
Rentenir sudah ada dalam citra mental sejak zaman kakek dan nenek kita di masa silam. Pikirannya tidak semodern dalam kehidupan modern. Mentalnya menjadi tawanan masa lalu.
Tuan tanah biasanya merangkap sebagai rentenir. Sistem ijon dijalankan dengan cara produksi pemodal, yang bikin terjerat korban rentenir.
Praktek rentenir sudah berurat akar, tetapi tidak seluas dan sedalam pemikiran modern. Para rentenir nanti merasa nikmat jika berhasil menjerat korban.