Dia, sang orator memasuki rambu-rambu biru, ruang-ruang hijau yang menggantikan zona merah ujaran bagi politik kuasa. Dia mengikat kekasaran kata-kata lebih dari saluran dan ledakan berbicara.
Ruang biru atau hijau dari kata-kata porno nan jorok tidak pernah dibayangkan oleh sang orator. Kata-kata itu tidak pernah didengar orang sebelumnya, bahkan dekade 70-an hingga 90-an. Sang orator tidak bermaksud untuk mencemooh dengan kata-kata tersebut.
Pesona sang orator redup di hadapan dirinya sendiri. Terdengar kabar, dia mengajukan permintaan maaf atas “kelancangan” keluar dari mulutnya.
Sisa dari adegan itu, sang orator yang piawai memainkan ‘mainan orgastik’ tanpa gambar melampaui organ seks, yang bisa didekatkan dengan bola mata mereka. Sang orator dan massa mahasiswa bisa melihat lebih awas. Memaafkan, tetapi tidak melupakan?
Dalam adegan sang orator tidak melakukan pemotongan visual dari secuil potongan kata-kata yang tidak rampung. Kata-kata yang dianggap jorok atau ucapan porno juga tidak menyimpan definisi tunggal.
Ia bukanlah permasalahan secuil potongan kata-kata yang bertaraf penanda. Ia dianggap sebagai gangguan di mata kuasa negara.
Sekadar saran. Sang orator masih perlu belajar pada sang orator besar dan ulung sekaliber Soekarno. Atau dia juga perlu belajar pada sosok Soe Hok Gie bersama Catatan Seorang Demonstran.
Terima kasih orator atas bicara porno nan joroknya! Apa tidak ada pilihan kata-kata lain, selain yang sang orator ucapkan saat aksi unjuk rasa penolakan atas kenaikan harga BBM? Sekali lagi, ia bukan kata-kata jorok, melainkan ‘berbicara porno’, semacam ‘kekurangajaran kreatif’ (mungkin ini urusan etika). Karena itu, kritisisme dan idealisme dinetralkan oleh kata-kata yang ngehek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H