Mendengar itu, reaksi spontanku adalah mendongak. Dadaku serasa ringan, meski masih sedikit heran. Lantas untuk apa aku disuruh ke sini? Tanyaku dalam hati. Menyadari kebingunganku, kepala sekolah itu tersenyum. "saya mengisi kelas anda supaya para siswa tidak ribut. Biasanya kan begitu. Mereka ke sini untuk belajar, jadi, sayang sekali kalau ada waktu yang tersia-sia.". jleb, sindiran yang pas meski mungkin tidak ditujukan demikian. Aku jadi berspekulasi kalau kepala sekolahku yang baru ini pandai berdiplomasi.
Tiba-tiba hening sejenak. Aku tak tahu harus bicara apa. Toh dia yang memanggilku. Jadi harus dia yang menyuruhku keluar. Aku juga tak mengerti kenapa dia membuat situasi jadi risih. Apa membiarkanku menyerap kata-katanya? Entahlah. Menyadari kebisuan kami lantas dia menarik nafas dalam. "maaf tadi saya sedang berpikir kenapa ya saya memanggil anda.." haaa?? Hampir saja aku tertawa. Jadi itu toh?? Masa sih dapat kepala sekolah pikun??? Ups. "oya,.." dia menginterupsi pikiranku. "saya tipe koleris" iya, pengakuannya menjelaskan sekaligus menjatuhkan. Tipe koleris kan kadang-kadang lupa pada hal yang kecil. Jadi aku tidak ada apa-apanya. "bukan maksud saya ini hal kecil. Tapi ada hal besar yang sedang saya pikirkan saat ini" dia menginterupsi lagi. Jadi kuputuskan untuk tidak berpikir. "oh iya iya.." tiba-tiba dia berkata setengah berteriak. "saya ingin memberi selamat kepada anda. Kabarnya hari sabtu kemarin anda lulus sidang thesis!?!" Deg. Ya Allah, jadi Karena itu? Setelah aku berspekulasi buruk tentangnya? Orang ini benar-benar tak diduga. Aku senang mendengar ucapan selamat itu. Tapi rasa heranku terlalu menguasai hingga aku lupa caranya tersenyum.
"saya senang melihat guru-guru yang tidak pernah berhenti belajar". Dia menegaskan ucapan selamatnya. "semoga pendidikan anda membawa atmosfir yang lebih baik di sekolah ini dan.." lelaki yang kira-kira berusia 55 tahunan itu mengambil jeda. "bekerja samalah dengan saya". Aku mengangguk kecil. "terima kasih" ucapku pelan. "oya, anda ada jam lagi?" tanyanya. Basa-basi, tapi menunjukkan perhatian. Iya betul. Inilah kata yang tepat untuk mewakili sikapnya. "um..tidak pak" jawabku. "silahkan jika anda ingin bersitirahat di ruang guru" anjurnya. "tentu" jawabku singkat. Aku buru-buru melangkah menuju pintu, "sebentar bu" tiba-tiba dia menghentikan langkahku. "kalau dari sini ke jl. Moh. Toha berapa menit?" Deg. Dia tahu tempat tinggalku. Maksudku tempat tinggal guru-guru di sini. Apa lagi ini? Setelah kujawab pertanyaannya dia menegaskan ada perlu keesokan harinya ke sebuah gedung di sana. Salah satu temannya mengadakan resepsi. Dia menjelaskan bahwa ini pertama kali baginya tinggal di Bandung. Setelah sekian lama dia nyaris selalu ditugaskan di daerah tertinggal di negeri ini. Catatan PR buatku.
Serangan informasi yang begitu mendadak tentang kepala sekolah baruku ini menuntunku berjalan begitu lambat menuju ruang guru. Jujur, sebelumnya aku tak pernah ingin tahu profil kepala sekolah. Dengan begitu aku merasa lebih ikhlas mengajar. Aku tidak ingin disibukkan oleh spekulasi ataupun diganggu oleh ketidaknyamanan akan kebijakan atau sejarah hidup pribadi mereka. Tapi kali ini rasanya begitu berbeda. Kesan pertamanya menunjukkan bahwa dia begitu peduli, terbuka, penuh motivasi, tulus dan bijak. Bukan berarti kepala sekolah sebelumnya tidak baik. Hanya saja aku tidak mampu membaca mereka. Aku jarang berinteraksi dengan mereka. Tentu saja, aku sendiri yang menutup diri. Sementara kali ini, aku terpaksa mengenalnya.
Sepanjang di ruang guru aku mendengar bincang-bincang rekan-rekanku tentangnya. Ada yang berharap, pesimis, apatis --menganggap sikap baiknya hanya pencitraan, permulaan saja-. Â Yang jelas, hampir semua rekanku berspekulasi tentangnya. Aku sendiri? Entahlah. Setelah kejadian di ruang kepala sekolah, aku masih merasa bingung. Seperti yang dikatakannya, kita tidak pernah bisa menilai seseorang hanya dari satu pertemuan. Bahkan seseungguhnya kita tak pernah bisa menilai orang lain. Karena manusia bukanlah makhluk yang statis.
Tapi, jujur juga aku merasa respek dengan tawaran kerja samanya. Berapa banyak sih kepala sekolah yang bisa mengatakan hal itu tidak sebagai ceremonial? Tapi tulus dari dalam hatinya. Tawaran tersebut  juga tentunya sudah disampaikan kepada rekan-rekan guruku yang lain. Jadi, aku belum memutuskan untuk melakukan penilaian sampai samar kulihat dari arah pintu ruang guru, seorang lelaki perlente dengan janggut tipisnya di dagu bertegur sapa di lorong antar ruang dengan para siswa. Beberapa langkah dari situ kulihat dia membungkuk memungut sesuatu yang kemudian dibuangnya di tempat sampah. Ya Allah, batinku. Aku pun belum bisa begitu. Lalu dengan senyum bijaknya dia melanjutkan langkah mengedarkan pandangan ke sekeliling sekolah ini. Matanya nanar melihat sesuatu. Tapi objeknya bukan masa kini, matanya memandang ke masa depan. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya. Tapi aku tahu pasti apa yang dipikirkanku saat ini. Sebuah harapan, terwujudnya sinergi di sekolah yang kucintai ini. Guru-guru yang solid, para siswa yang cerdas, santun dan terampil, serta nuansa akademis yang religius dan nyaman. Berkat kedatangannya, Kepala Sekolah baruku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H