Beberapa hari lalu, saya menonton liputan yang diturunkan oleh Metro TV, yang sekarang mulai dibagikan di FB (dapat dinonton di sini).
Awalnya, sebagai orang Bajawa, Ngada, saya tentu senang dan tanpa menunggu lama, menontonnya sampai selesai "Perayaan Reba di NTT", tepatnya di Langa, Ngada, Flores itu. Namun, senang itu akhirnya terbalik. Perasaan saya campur aduk selepas menyaksikannya.
Berikut ini sejumlah cacatan penting yang mau saya berikan atas liputan itu. Terlepas dari kesediaan Metro TV menurunkan liputan dimaksud, yang jelas kekayaan budaya di Ngada dipromosi (saya berterima kasih, tentunya), saya bertanggung jawab untuk mengoreksi beberapa hal, yang jelas-jelas keliru dan dapat berujung pada salah kaprah pemahaman orang (baca: di luar kebudayaan di Ngada).Â
Saya buat ini karena saya cinta budaya saya!
(1) Penyebutan kata 'Reba' oleh presenter.
Dia menyebut 'Reba' dengan 'e' seperti pada penyebutan kata 'enak'. Saudari/a, ini jelas salah. Bahwa mungkin ada kesulitan penyebutan, kita maklumi, tapi yang betul seharusnya 'e' disebut seperti penyebutan umum kata 'elang' (pengecualian Orang Timor, NTT).
Penyebutan 'O Uwi' dan 'Su'i Uwi' yang seharusnya ada penekanan khusus pada huruf 'O' dan 'U', saya pribadi maklumi, meski sebetulnya tidak disebutkan demikian.
(2) Ketidaksesuaian antara narasi dan tayangan. Ini paling fatal.
(2a) Disebutkan "Berkumpul di halaman permukiman warga.." Bagian ini seharusnya diganti dengan "berkumpul di tengah kampung". Permukiman terlalu umum dan kabur. Kampung, jelas.
(2b) Disebutkan, ".... puluhan orang bersama-sama menarikan tarian adat O Uwi", tapi yang ditampilkan adalah tarian kreasi yang diiringi/untuk menyempurnakan lagu-lagu yang dinyanyikan saat Perayaan Ekaristi atau lazim disebut Misa Reba.
Persis di sinilah, saya mengharapkan kepada semua yang menyaksikan liputan ini, lebih-lebih yang berbeda kebudayaan, untuk tidak membenarkan bahwa itulah tarian 'O Uwi'. Saya tegaskan, sekali lagi dengan tegas, itu bukan tarian 'O Uwi'.