Mohon tunggu...
Septi Erlita
Septi Erlita Mohon Tunggu... Human Resources - mahasiswa yang mencoba produktif

hai! salam kenal, selamat membaca semoga tulisan saya bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Wabah menjadi Berkah Kapitalisme, Dapat Dibenarkan?

21 Agustus 2020   21:00 Diperbarui: 21 Agustus 2020   21:25 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism (2007), Naomi Klein  memanifestasikan bagaimana bencana dapat mempercepat reproduksi kapitalisme. yang selanjutnya dikenal sebagai kapitalisme bencana (disaster capitalism), prosesnya ditandai dengan adanya penawaran “solusi” pasar bebas dari para kapitalis yang berorientasi pada keuntungan karena adanya krisis dalam skala besar. 

Ancaman covid-19 dimanfaatkan kaum kapitalis untuk memperkuat pengaruhnya melalui ide-ide reaksioner nya. namun yang perlu diwaspadai sesungguhnya bukan hanya mereka, namun pemerintah negara kita sendiri, bagaimana bisa?

Saat pandemi covid-19 mulai masuk ke Indonesia, masyarakat berlomba-lomba menyelamatkan diri, berbagai macam cara dilakukan seperti hal nya berburu dan menimbun masker serta handsanitizer dengan merogoh kocek cukup besar yang menyebabkan kelangkaan seperti sekarang ini. Inilah bentuk kebodohan yang disetting oleh kapitalis dan di amin kan oleh masyarakat sendiri. 

Dari awal sudah dihimbau oleh pemerintah bahwa social distancing dan menerapkan pola hidup sehat cukup sebagai antisipasi penularan covid-19, tidak perlu menanamkan pada diri  dengan paksa bahwa masker seakan alat pertahanan wajib yang mampu 'menyelamatkan hidup manusia’ sehingga bisa dengan serakah membeli masker yang harusnya di prioritaskan untuk tenaga medis dan masyarakat yang sakit. 

Ketakutan masyarakat tidak terbendung, masker dan handsanitizer menjadi langka, social distancing dan pelarangan mudik tidak diindahkan, berimbas dengan membludaknya kasus positif covid-19 di Indonesia. Mari kita lihat siapa yang di untungkan, dan bagaimana peran pemerintah dalam menghadapi pandemi ini, bergerak atau malah terlarut dalam lingkaran kapitalisme?

Dalam It Was The Virus That Did It, Michael Robert menyebutkan bahwa pandemi Covid -19 akan mengguncang ekonomi global lebih buruk dari yang sebelumnya pernah terjadi. Resesi yang akan terjadi tidak disebabkan sepenuhnya oleh Corona, melainkan gerak kapitalisme itu sendiri. Pandemi covid-19 menjadi alat yang membongkar busuknya kapitalisme di dunia pada umumnya, dan di indonesia terkhususnya.

Sebelum menyeruaknya kasus pandemi ini, ekonomi kapitalis utama di negara maju maupun dinegara berkembang telah memasuki masa resesi, mulai melambat bahkan berhenti. Masalah utama ada di output nasional dan investasi yang sedang ujung tanduk. Perdagangan global dalam masa krisisnya.  Akumulasi kapital rendah dan keuntungan global paling baik dalam kondisi statis. Pandemi ini mengakibatkan gangguan pada produksi, perdagangan dan investasi yang kemudian mengakibatkan pendapatan menurun dan daya beli runtuh. Kita akan melihat resesi besar dimasa mendatang.

Penanganan Covid-19 di Indonesia dianggap main-main, bahkan sejumlah negara ragu akan kemampuan indonesia dalam menangani pandemi civid-19 ini. Memang terbukti bahwa Jokowi-Ma’ruf amin awalnya berupaya untuk menutup-nutupi kasus covid-19 ini mengungkapkan bahwa Indonesia bersih bahkan membuka seluasnya pariwisata di Indonesia, memberikan subsidi ke 10 destinasi wisata yang sebelumnya ramai didatangi wisatawan asing. 

Supaya daerah-daerah seperti Bali, Yogjakarta, Sulawesi Utara, Bintan, Tanjung Pinang dan lainnya yang didatangi turis-turis dari Tiongkok diganti dengan turis lokal. Memberikan insentif kepada travel agent dari Eropa untuk membawa turis ke Indonesia. Selain itu ada dana 72 miliar untuk buzzer pariwisata. 

Di bandarapun pemerintah nampak tidak serius dalam menangani dan mewaspadai virus Corona. Hal itu terlihat bagaimana para penumpang hanya diperiksa melalui suhu badan yang dianggap terjangkit virus.  Menteri Kesehatan, Terawan berulang kali meremehkan pandemi Covid-19 dengan lontaran anti keilmiahannya. Dia mengatakan bahwa Indonesia belum terdeteksi Corona karena doa, bahkan menegaskan jangan meremehkan kekuatan doa. Terawan juga mengatakan bahwa Corona dapat sembuh dengan sendirinya karena lebih berbahaya flu dan pilek.

Bukannya melibatkan lebih banyak dokter, perawat, dan ahli medis, malah justru militer, polisi dan BIN memegang posisi utama penanganan Corona. Hal itu menunjukkan bahwa kelas kapitalis lebih mengutamakan memperbanyak dan melatih personil militer daripada memperbanyak rumah sakit dan klinik serta melatih dan menyejahterakan dokter, perawat, bidan, dsb. 

Terbukti dari anggaran kesehatan berada di bawah anggaran pertahanan, kepolisian dan kementerian agama. Artinya fokus dari kelas berkuasa bukanlah pada kesehatan publik, melainkan pertahanan dan keamanan (modal) serta kementerian agama untuk mengilusi rakyat yang ditindas oleh modal. Kesehatan menjadi menjadi tanggung jawab individu lewat BPJS.

Saat keadaan sudah carut marut seperti yang kita lihat sekarang, hal ini justru di manfaatkan pemerintah untuk mendukung percepatan implementasi Omnibus law, Undang-Undang  sapu jagat yang merupakan alat untuk percepatan pertumbuhan, dan akumulasi investasi berbasis industri dengan cara cepat untuk mendapatkan pendapatan negara. 

Watak regulasi yang pro-modal dan pro-utang yang berimplikasi langsung pada Sumber Daya Alam. Jika omnibus law tetap dilaksanakan, Sumber Daya Alam akan diusik bahkan ketegangan antara manusia dan alam kembali menguat. Ini sama saja membesarkan ancaman dan meningkatkan kerentanan.

buruh dan rakyat pekerja adalah yang paling rawan terjangkiti dan diabaikan. Kelas buruh dipaksa untuk terus bekerja dan menghadapi resiko terjangkiti Corona. Sementara para pemilik modal enggan mengurangi keuntungan dengan melengkapi kantor dan pabrik dengan perlengkapan kesehatan yang cukup untuk mencegah penularan Corona. Ditambah beban harus merawat anak-anaknya ketika sekolah mereka diliburkan. Pembatasan bahkan penutupan sejumlah sumber pekerjaan membuat masyarakat miskin makin terjerat ketakutan dan kelaparan. 

Kebijakan agar masyarakat tidaak keluar rumah diabaikan demi ‘menyambung hidup’, kita lihat sekarang Indonesia sudah berada diurutan teratas negara rawan corona. Masalah lagi-lagi muncul, Pasien dalam pengawasan justru ditelantarkan karena rumah sakit menolak menerima pasien Corona untuk mempertahankan citranya demi bisnis. Bagaimana bisa hal ini terus dilanggengkan? Pemerintah menutupi fakta ini demi berlangsungnya pertumbuhan ekonomi.

Perjuangan mencegah penyebaran pandemi covid-19 tidak terlepas dari perjuangan untuk melawan kebijakan Jokowi-Ma’aruf yang menindas seperti Omnibus Law. Keduanya bagian dari upaya kita untuk membebaskan kelas buruh dan rakyat pekerja dari eksploitasi, penindasan dan penderitaan. Buruh dan rakyat pekerja bersatu hentikan proses produksi untuk mencegah penyebaran pandemi covid-19 dan menggagalkan Omnibus Law.

Jika pemerintah tetap bersikeras melanggengkan kapitalisme yang secara tidak langsung itu, artinya Indonesia sedang menggali kuburannya sendiri mengingat sampai saat ini pandemi covid-19 di seluruh dunia terus menunjukkan kenaikan angka kasus positif coronavirus, tak terkecuali di Indonesia yang hampir mencapai 150 ribu angka dalam kurun waktu 5 bulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun