Tepat dua jam sebelum tulisan ini terpublish, saya baru saja mendapat Surat Ijin Mengemudi (SIM) C. Meskipun sudah naik motor sejak SMA, namun memang baru sekarang ini saya ada niat untuk bikin SIM C. Sebenernya saya takut mau nulis ini, karena takut dinilai mencemarkan nama baik si A si B. Tapi kata dosen saya, selama kita tidak menyebut nama/institusi dengan gamblang it is doesn’t matter. Dan ditulisan ini saya tidak menyebut nama maupun instansi secara gamblang. Dan ini tulisan Cuma untuk share pengalaman aja, tidak bermaksud menjelelekkan siapapun karena saya pun juga jelek. Dan saya tulis apa adanya sesuai apa yang saya alami.
Baiklah cerita dimulai, awal perjalanan saya adalah saya tanya-tanya kepada teman-teman bahkan tetangga-tetangga saya yang sudah membuat SIM mengenai biaya maupun ujian yang dilakukan untuk mendapatkan SIM, dan saya hanya dapat menyernyit dan mengelus dada karena nyatanya 99% dari orang yang saya kenal medapatkan SIM dengan jasa CALO. Bahkan salah satu dari mereka berkata dalam bahasa jawa yang artinya “Kalo nggak pake calo, sampe tua nggak dapet-dapet SIM nya. Capek bolak balik ikut ujian, KAYAKNYA memang dipersulit, udah lah mending yang pasti-pasti aja”. Pun ayah dan kakak kandung saya mendapatkan SIM juga memakai jasa calo. Hanya satu teman kuliah saya yang dapat SIM melalui jalur resmi alias nggak pake calo. Dan dia cerita memang syarat ujian tulis dan prakteknya cukup menyulitkan.
Karena banyak menyarakan ke calo saja, salah seorang tetangga menyarankan agar saya ikut SIM Massal saja. Saya sempat tanya-tanya melalui contact person SIM Massal yang banyak tertempel di tembok-tembok kota Jogja. Saya tanya perihal biaya. Dan balasan beliau:
Total biayanya adalah 300 + 100 + 25 + 5 = Rp 430.000,-. Padahal biaya yang resmi adalah hanya Rp100.000,00 dan tambahan biaya cek kesehatan yang WAJIB dilaksanakan di klinik Polresta.
Saya pun mengurungkan niat untuk memakai jasa calo dengan kedok SIM Massal itu dan “sok” idealis dengan mau mencoba bikin SIM dengan prosedur yang benar. Hari rabu minggu lalu, saya langsung ke Polresta untuk mendaftar. Di pintu masuk dan di beberapa sudut Polresta tertempel tulisan “HINDARI CALO” dan disini saya jadi semakin sok idealis. Tapi kakak saya bertanya sama tukang parkir disana tentang calo, kakak saya masih berusaha cari calo yang lebih murah dari massal tapi tukang parkirnya berkata “Sekarang udah nggak ada Pak calo calo gitu, wes ikut prosedur aja”. Oke, setelah fotocopy SIM dan tes kesehatan saya langsung isi form pendaftaran.
Dan baru di pendaftaran salah seorang petugas menawarkan saya berikut kurang lebih kutipan pernyataan kami: A: “Mbak, jadi gini udah tau to kalo bikin SIM itu ada ujian tulis dan prakteknya. Mbaknya mau ikut apa pake LPK aja, nanti bayar 250 disana mbaknya dapet sertifikat. Nanti sertifikatnya dibawa kesini buat lampiran berkas” B: “Nanti kalo bayar 250 itu berarti totalnya saya ngeluarin 375ribu dong Pak? Mahal banget, trus tetep ikut tes nggak” A: “Mahal tapi kemungkinan lulusnya tinggi mbak, tesnya ya tetap harus ikut tapi nanti dibantu” B: “Nggak ah Pak, saya mau ikut ujian aja. Susah banget ya Pak ujiannya” A: “Yaudah kalo mau coba dulu, paling yang agak susah di praktek. Tapi ini banyak lulus kok. Bagus kalo mau nyoba dulu buat pengalaman” Saya kok ya ketawa geli, polisinya dari awal sudah merekomendasikan ikut LPK sepertinya beliau meragukan kemampuan saya (saya pun juga ragu sama diri saya sendiri sih).
Ikutlah saya di ujian tulis, sebelum masuk ujian saya googling dulu tuh soal-soal ujian SIM C dan alhamdulillah ada beberapa soal yang mirip-mirip dan rasa pun lulus ujian teori untuk lanjut ke ujian praktek dengan skor yang lucky! Saya dapat mendapat soal 21, dan minimal emang harus benar 21 dari 30 soal yang diujikan. Waktu itu di ruangan yang 10 orang, saya the one and only yang lulus. (my mom must be proud of me. Thx google! haha) Hari kedua saya ikut ujian praktek, ujiannya ada pola Zigzag, 8 dan U dengan patok-patok (bukan kerucut) dan garis tepi yang tidak boleh dilewati. Dan waktu itu dari 8 orang yang ujian bersama saya, Cuma ada 1 yang berhasil. Saya rasanya mau standing applause waktu itu karena saya udah gagal di zigzag dan ngulang 2 kali tetap gagal.
Menurut saya jarak antara patok 1 dengan lainnya terlalu dekat, belum lagi garis batas nya yang terlalu sempit. Aduh pusing Karena gagal saya harus mengulang minggu depan, minta bantuan polisi disana untuk memuluskan jalan pun TIDAK BISA karena anda akan DI TOLAK mentah-mentah oleh polisinya (peserta gagal sebelum saya mencoba menego polisi untuk menstampel tulisan LULUS). Dan disitu SAYA SALUT DENGAN PARA POLISI REPUBLIK INDONESIA. Dengan wajah hopeless saya menghadap ke polisi untuk menerima surat tidak lulus, dan disitu polisi tersebut kembali menyarankan saya untuk ke LPK daripada harus mengulang-ngulang, kalo ada sertifikat dari LPK nanti formalitas aja ikut tesnya dan pasti dibantu.
Lalu meluncurlah saya ke LPK yang dibilang, dengan membawa surat tidak lulus ujian praktek. Di LPK saya harus membayar Rp 250.000,00! Dan untuk LPK yang saya ikuti jadwalnya adalah hari Selasa dan Rabu. Jadi tadi pagi saya ke kantornya, disana kita diberi pengetahuan dasar tentang rambu-rambu lalu lintas, gambar soal uji teori dan video tutorial ujian praktek. Lalu sebelum berangkat bersama-sama ke Polresta, kami mendapat sertifikat cakap mengemudi. Karena saya hanya mengulang ujian praktek, saya pun langsung menuju tempat ujian praktek. Ujian praktek yang “resmi” berakhir pada pukul 12.00, tapi untuk yang ikut LPK dimulai setelah para polisi penguji istirahat siang yaitu sekitar pukul 13.00 . Sebelum para peserta dari LPK melakukan ujian praktek, para petugas tampak memindahkan patok-patok batas (mungkis ditempat lain yang kerucut warna orange, kalo disini terbuat dari semen). Pembatas itu dibuat SANGAT BERBEDA dengan ujian resmi yang pernah saya ikuti. OH LORD, alangkah lucunya negriku ini. Ikutlah saya di ujian praktek itu, sebelum melakukan ujian petugas polisi memberikan contoh dulu. Dannnnnn di pola U yang kerap sekali membuat para orang gagal salah seorang oknum polisi berkata “kalo yang dari lpk boleh keluar garis, gapapa keluar garis asal nggak nabrak pembatas” lagi-lagi dalam hari Oh Lord, udah terang-terangan gini ya Daaaaaaan saya pun berhasil menaklukan pola Zigzag, 8 dan U dengan teramat-amat-sangat lancarrrr! Padahal sebelumnya semua masyaAllah susahnyaaaaaaaa, rasanya kayak hanya keajaiban yang mampus meluluskan saya. Disitu para pembuat SIM yang langsung bikin dari LPK memancarkan rona bahagiaaaa dan berkata “gampang ujiannya, nggak kayak yang aku bayangin”. Rasanya saya pengen nyamperin mbaknya dan bilang “Mbaakkkk, plis deh bilang ujian prakteknya gampang. Ini karena kita bayar extra 250 kaliiii jadi gampang ujiannya, kalo engga mah saya nggak yakin situ lolos ujian praktek”. Ngobrol lah saya dengan peserta ujian tulis dari LPK dan disana mereka juga “dibantu”, yailah kalo nggak dibantu mana mungkin bisa LULUS semua hahaha. Kesimpulan yang saya ambil adalah:
1. Saya salut sama para bapak-bapak polisi bersih tidak mau menerima suap saat di lapangan (yes, saat di lapangan aja). Super! Saya salut sekali padahal kalo beliau mau aduhhhhh udah kaya raya mandi duit kali pak polisinya. Great for you. Keep it up, Pak!
2. Saya sangat menghargai rangkaian ujian teori dan ujian praktek untuk mendapatkan SIM. Karena saya tahu itu tujuannya untuk menekan angka laka lantas, agar tidak semua orang dapat berkendara. Tapi kalo dalam prakteknya niat negara yang bagus itu malah dijadikan ladang untuk mencari duit oleh oknum-oknum tertentu kan berabe jadinya. Saran dari saya yang orang bodoh dan nggak tau apa-apasih Cuma kalo misalnya negara mau menekan laka lantas dengan memperketan pembuatan ijin mengemudi yang semua-muanya harus diperketat! Jangan sampe ada calo atau apalah itu yang mencoreng citra suatu institusi. Sedih kali rasanya kalo melihat realita sekitar dimana semua SIM yang diperoleh karena calo/nembak.
3. Hanya untuk menggeser patok pembatas biar gambar ujian prakteknya harus dengan biaya Rp 250.000,00. Bahkan 2 kali lipat lebih banyak dari uang yang masuk ke negara yang hanya Rp 100.000,00 (di bayar ke BRI saat mau daftar). Hanya menggeser pembatas, ya, hanya itu, dua ratus lima puluh ribu rupiah, oh Lord.
4. Saya rasa kalo pemerintah/kepolisian ingin mengurangi praktek percaloan dengan kedok apapun itu ya mending tes nya sama seperti kalo kita bayar pelicin. Saya yakin, semua orang akan dengan mudah lulus. Jadi, nggak perlu menggunakan jasa calo. Tapi, kalo memang pemerintah ingin menekan laka lantas dengan memperketat pembuat ijin mengemudi ya mbok tolong semuanya diperketat. Masak udah banyak tulisan hindari calo dimana-mana tapi malah jasa pemulus jalan itu bekerja sama dengan apik dgn institusi kan sedih saya
5. Saya dan orang-orang lain yang pake jasa LPK dan calo itu memang salah. Ya saya mengaku salah dan khilaf. Tapi yaa kalo nggak pake cara ini mau capek ngulang ujiannya (minimal 1 minggu), waktunya jadi tidak efisien karena harus membolos kuliah/kerja/dsb.
6. Total bikin SIM jadi Rp 375.000,00 dengan rincian 100 dibayar ke BRI, 25 untuk cek kesehatan dan 250 bayar ke LPK. Semoga Indonesia lebih baik lagi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H