Mohon tunggu...
Salsabila Khairun Nadiya
Salsabila Khairun Nadiya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia UNAIR

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Refleksi Sistem Pendidikan dan Proses Pembelajaran pada Naskah Drama Pelajaran Karya Eugene Ionesco

7 Juni 2024   18:51 Diperbarui: 7 Juni 2024   19:00 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karya sastra merupakan refleksi dari kehidupan sosial manusia dari berbagai macam aspek. Walaupun sastra memiliki dunianya sendiri, dia tak pernah lepas dari mengadaptasi hubungan manusia dengan manusia lainnya pun manusia dengan lingkungannya. A work of literature represents the social life of the people and their problems and is concerned with all aspects of human life.  It has a close relationship between the individual and the society in getting along with the situation of their environments. Literary works imitate the facts of human behavior such as conflicts or clashes, feelings, and all the relationships of the society (Wellek Rene, 1977). 

Representasi kondisi sosial dalam sastra tak hanya menyoal tentang bagaimana kondisi sosial pada masa karya tersebut dibuat. Beberapa karya sastra dinilai abadi dan tak tergerus oleh zaman, dalam artian nilai-nilai di dalamnya akan selalu relevan. Karya-karya ini mengandung pemikiran mendalam yang tak hanya berorientasi ke-aku-an, namun juga mengajak pembaca untuk berefleksi dan merenung tentang suatu hal secara mendalam. Salah satunya yang akan dibahas dalam artikel ini adalah karya sastrawan sekaligus dramawan berdarah Romania-Prancis Eugene Ionesco. 

Pada salah satu naskah drama miliknya yang bertajuk "Pelajaran", Ionesco mengajak pembaca untuk merenungi kembali berbagai hal, salah satunya adalah tentang sistem pendidikan dan pemaknaan terhadap kegiatan belajar.

Naskah yang pertama kali dipentaskan pada tahun 1951 ini menceritakan kisah tentang Murid yang belajar pada Profesor untuk mempersiapkan ujian doktoralnya. Pada awal cerita, Murid sangat amat antusias untuk mengikuti pelajaran, dia sudah membekali diri dengan pengetahuan di bidang umum dan sastra, kegiatan belajar pun berlangsung dengan baik di awal. Namun, seiring berjalannya waktu, terdapat indikasi usaha mendominasi dari Profesor yang terus memberikan kebenaran-kebenaran mutlak sehingga murid kehilangan subjektivitasnya. Proses dominasi itu mengantarkan pada tindak penindasan yang dialami oleh Murid, hingga pada akhir cerita, Murid mati di tangan Profesor. 

Menyoal tentang kebenaran dalam kegiatan belajar, seharusnya tidaklah bersifat mutlak. Baik pelajar dan pengajar haruslah melihat suatu kebenaran secara relatif agar tidak terjadi pembunuhan pemikiran, ruang-ruang diskusi harus selalu terbuka demi membangun kreatifitas dan membentuk pemikiran yang kritis. "Pelajaran" menunjukkan sistem pendidikan yang otoriter dimana segala informasi dari guru adalah sebuah kebenaran yang tidak boleh dibantah. 

Murid: Kita bisa mengurangi 2 satuan dari 3 satuan, tetapi dapatkah kita mengurangi 2 duaan dari 3 tigaan? Dan 2 angka dari 4 jumlah? Dan 3 jumlah dari 1 satuan? 

Profesor: Tidak, Nona. 

Murid:Mengapa Tidak bisa, Tuan?

Profesor:Justeru karena itu, Nona.

Murid:Mengapa tidak, Tuan? karena dia sama dengan yang lainnya?

Profesor:Begitulah, Nona. Soalnya, tidak akan menjadi tambah jelas. Dia bisa dipahami dengan pemikiran ilmu pasti. Kita bisa mempunyainya atau tidak mempunyainya.

Dari dialog di atas terlihat bahwa tokoh Profesor tertutup terhadap diskusi. Apa yang dikatakan merujuk pada keabsolutan. Mata pelajaran matematika yang dibahas di naskah ini juga bukan dipilih tanpa alasan. Walau dalam ilmu yang sifatnya sistematis dan pasti sekali pun harus tetap dibuka ruang diskusi. Sebuah rumus matematika tidak terbentuk begitu saja, namun ada proses berpikir mendalam dalam penciptaanya yang mampu menjelaskan kenapa rumus tersebut kemudian menjadi benar. Proses menuju benar tersebut yang harusnya dipahami juga oleh orang-orang yang belajar, sehingga ilmu tersebut dapat dipahami secara menyeluruh dan dapat diimplementasikan. Namun yang terjadi dalam naskah justru sebaliknya, Profesor membatasi pemikiran Murid pada hal-hal yang dia anggap pasti sehingga ilmu yang diserap pun menjadi terbatas juga. 

Murid:Itu mudah. Karena saya tidak percaya pada akal saya, maka saya hafal saja hasil-hasil yang mungkin terjadi dari perkalian-perkalian yang mungkin.

Profesor:Itu luar biasa.... Namun, kalau saya boleh berterus terang, hal itu saya anggap tidak cukup, Nona, dan saya tidak memuji Anda. Dalam ilmu pasti, dan teristimewa dalam ilmu hitung. Yang masuk hitungan ialah, sebab dalam ilmu hitung kita mesti menghitung, yang masuk hitungan ialah pengertiannya terutama...melalui pemikiran ilmu pasti, yang dilakukan secara induktif dan deduktif sekaligus, Anda harus menemukan hasil ini-sebagaimana halnya setiap hasil lainnya. Ilmu pasti ialah musuh yang gigih dari ingatan, yang sangat berfaedah di satu pihak, tetapi juga sangat mencelakakan kalau kita bicara secara ilmu hitung! Jadi saya tidak merasa puas... jadi kita belum mendapat kemajuan, belum dapat kemajuan sama sekali.

Hal ini juga dirasakan di bangku sekolah dimana guru akan menjelaskan sederet rumus-rumus pasti tanpa menerangkan lebih lanjut proses penciptaannya. Ketika ujian pun yang dilihat bukanlah proses penyelesaian masalah dari siswa, namun apakah rumus dan pola yang digunakan untuk menjawab sesuai dengan yang diajarkan atau tidak. Jika rumusnya salah, maka meski jawabannya benar, akan tetap disalahkan. Proses belajar seperti ini yang kemudian dapat membunuh kreativitas siswa dan menghambat siswa untuk berlatih berpikir kritis. 

Tentunya dalam kemampuan berpikir, setiap orang memiliki limitasi. Seseorang yang ahli dalam fisika belum tentu mahir dalam bahasa, begitu pun sebaliknya dan pada bidang-bidang ilmu yang lain. Tapi hal ini seringkali menjadi hal yang luput dalam sistem pendidikan, semua peserta didik diharuskan untuk mahir dan mendapatkan nilai bagus dalam semua mata pelajaran jika ingin dianggap berhasil. 

Murid:Apakah kata-kata itu artinya sama saja dalam semua bahasa? Saya sakit gigi. 

Profesor:Mutlak. Bagaimana bisa lain? Setidak-tidaknya artinya selalu sama, susunannya sama, struktur bunyinya sama, tidak hanya untuk kata ini, tetapi juga untuk semua perkataan yang mungkin dalam segala bahasa. Sebab arti yang sama di semua negeri menyatakan dirinya dalam satu-satunya kata yang sama itu beserta kata-kata persamaannya. Dan jangan Anda merengek juga mengenai gigi anda itu.

Pada naskah disebutkan bahwa Murid mengidap penyakit Aphasia, dimana ada keterbatasan pada otak dalam memahami dan mengolah bahasa. Sakit gigi adalah upaya Murid untuk mengekspresikan keterbatasannya pada Profesor. Tapi ketidakmampuan itu tidak digubris oleh Profesor, dia terus mengajarkan Murid tentang bahasa dan memaksa Murid untuk paham dengan model penjelasan yang rumit dan membingungkan. 

Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu, yakni mengalami (Hamalik, 2014). Model belajar yang ditawarkan pada naskah "Pelajaran" adalah bentuk pemaksaan kebenaran. Murid hanya diminta mendengar, menirukan, dan mengamini. Sedangkan untuk mencapai hasil belajar yang maksimal diperlukan menyelam dalam beberapa domain. Menurut Bloom (dalam Suprijono, 2015: 6-7), hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor. Domain kognitif adalah Knowledge (pengetahuan, ingatan), comprehension (pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh), application (menerapkan), anlysis (menguraikan, menentukan hubungan), synthesis (mengorganisasikan, merencanakan, membentuk bangunan baru), dan evaluation (menilai). Domain afektif adalah receiving (sikap menerima), responding (memberikan respon), vakuing (nilai), organization (organisasi), characterization (karakteristik). Psikomotor juga mencakup ketrampilan produktif, teknik, fisik sosial, manajerial, dan intelektual. 

Oleh karena itu, hasil belajar pada domain-domain tersebut bisa dicapai apabila siswa dibiarkan mengalami prosesnya. Kegiatan belajar seharusnya memberikan ruang untuk berpikir sebebas mungkin, bukan hanya menerima hasil yang sudah ada. Namun, dalam prosesnya diperlukan peran pengajar untuk membimbing, bukan membatasi. Sehingga tidak terjadi pembunuhan subjektifitas seperti yang ada pada naskah "Pelajaran". 

Referensi 

Hamalik, Oemar. 2001. Belajar Mengajar. Bumi Aksara.

Suprijono, Agus. 2015. Cooperative Learning Theory & Aplikasi Paikem. Yogyakarta: Pustaka Belajar. 

Wellek, Rene & Warren, Austin. 1977. Theory of Literature. New York: Harcourt, Brace & World, Inc. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun