"Ihh salah Bayu, bukan itu."
"Terus apa Lea?" gantian Bayu yang bertanya.
Dalam suasana berduka, Lea memutuskan menjawab secara jujur. Entah, konsekuensi apa yang akan dialami. Memendam sungguh membuat Lea tersiksa. Situasi semakin mengkhawatirkan, tapi Lea berani bersuara.
"Biru yang mengingatkan Lea pada ilustrasi Senja Bayu. Menenangkan sekali, setiap deru nafas. Tatapan serta senyuman. Bila memandang langit malam, tetap tak mampu mengalahkan. Bahkan rembulan dan bintang yang dipuji banyak orang Bayu," ucap Lea dengan tatapan kosong, enggan melihat ke arah Bayu.
"Lea, jago banget bikin lelucon pakai kata-kata romantis selucu ini," jawab Bayu sambil sedikit tertawa.
Lea menatap ke arah Bayu, "Bayu, Lea lagi mode serius. Ini bukan kalimat gombalan, tapi benar begitu adanya. Maafin Lea, suka sama Bayu," ungkap Lea,
Hening, Bayu diam bingung merespon apa. "Begini Lea, aku..."
"Nggak perlu dibalas Bayu, selamanya Lea dan Bayu jadi sahabat. Lea dukung Bayu bersama Kaila. Mungkin bukan Lea yang dipilih semesta," tak kuasa menahan air mata, Lea lalu pergi meninggalkan Bayu.
"LEA..LEA..," teriak Bayu memanggil Lea. Namun, Lea butuh waktu sendiri. Ia memilih mengungkapkan, tapi bukan berarti perpisahan. Apalagi persahabatan itu sudah terjalin selama 12 tahun. Resiko menyukai sahabat sendiri memang tak selalu mudah untuk dijalani.
Mereka saling nyaman untuk berbagi. Tetapi, nyaman tidak selalu tentang rumah bersama. Lea adalah ukiran terindah bagi Bayu. Meski di samping itu, Bayu tidak bisa mengubah status persahabatan mereka menjadi percintaan.
Senja Bayu, pemilik arti nama 'hembusan angin di kala senja'. Kini benar-benar berhembus di waktu senja. Jingga yang kupuja-puja pergi. Semesta memberikan senjaku sumber bahagia, tapi bukan aku orangnya. Terlalu menyakitkan meski sudah seharusnya begitu. Berbahagialah Bayu, pemeran pengganti memang harus tau diri, batin Lea.