Mohon tunggu...
Erlinda Hapsari
Erlinda Hapsari Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Guru les privat yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Meski Tak Sopan Se-Asia Tenggara, Urusan Gotong Royong Netizen Indonesia Tetap Juara

20 Maret 2021   20:22 Diperbarui: 20 Maret 2021   20:30 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika saya sedang scroll timeline Twitter beberapa waktu yang lalu, saya menemukan berita dengan headline: "Netizen Indonesia Tak Sopan se-Asia Tenggara."

Waktu itu saya sedang duduk bersama saudara saya yang sedang menonton TV sambil sarapan. Saudara saya waktu itu sedang mengomentari kasus dugaan perselingkuhan seorang vokalis gambus yang terkenal.

"Cah cilik kok bojone wong tuwo," begitu katanya. Anak kecil kok bersuami orang yang tua.

Saya berusaha menegur saudara saya dengan halus. Tetapi beliyau menjawab, "Yoben. Aku kan cuma ngomentari artis! Kan ora kenal! Mana mungkin dia tahu!"

Hmm. Saya mencoba lagi menjelaskan pada saudara saya, bahwa artis itu juga manusia, bukan patung batu. Jadi artis-artis juga bisa mendengar komentar-komentar kita dan perasaannya juga bisa terluka. Tetapi, saya urung mengatakannya. Takut disambit piring, saya.

Saya kembali melihat layar HP saya. Membaca berita tadi. Headline itu bersumber dari laporan riset Microsoft 2020 Civility Index atau DCI. Survey itu merupakan survey yang mengukur tingkat kesopanan, keamanan, dan interaksi online dari pengguna internet. Dijelaskan bahwa tingkat kesopanan netizen Indonesia memburuk selama lima tahun terakhir.

Melihat saudara saya tadi yang asal komentar, menurut saya, seandainya komentar itu dituliskan secara online di akun si artis, headline berita itu tidak sepenuhnya salah.

Saya jadi ingat, tahun lalu, ketika sedang heboh-hebohnya drama korea bertema pelakor, akun artis korea pemeran pelakor itu diserang oleh netizen Indonesia dengan kata-kata yang mengerikan, sampai-sampai artis korea itu mengunggah foto baru dengan caption kesal dibully karena perannya.

Tak hanya akun orang luar negara Indonesia saja, akun artis-artis dalam negeri pun juga kena nyinyir.  Baru-baru ini, akun artis yang sedang populer di sinetron dengan judul Ikatan Love diserang netizen. Hanya karena dia berperan antagonis di sinetron itu, orang-orang yang keburu emosi melampiaskan kekesalannya pada kolom komentar media sosialnya. Sampai dia tidak kuat dan memutuskan untuk berhenti main medsos untuk sementara.

Masyarakat Indonesia terkenal akan gotong royongnya. Ketika gotong royong, masyarakat kita melakukannya sambil ngobrol-ngobrol. Gembredek. Istilah populer sekarang: ghibah. 

Dalam perghibahan, apapun bisa terjadi. Jika mengambil istilah dari survey Microsoft itu, dalam dunia ghibah, bisa saja terjadi 3 hal, yaitu: berita palsu dan penipuan, ujaran kebencian, dan diskriminasi. Masyarakat kita di dunia offline saja sudah suka begini. Makanya, kalau di dunia online juga terjadi seperti ini, rasa-rasanya tidak mengherankan. 

Nah, tahun lalu, ada film bertema ghibah yang menghebohkan masyarakat Indonesia: film TILIK. Dalam film TILIK, kita semua disuguhi narasi Bu Tejo yang mengomentari Dian. Di balik lucunya cara Bu Tejo ngrasani Dian, sebenarnya tersirat pesan bahwa Bu Tejo ini adalah gambaran betapa sukanya masyarakat kita mengomentari orang. 

Dalam topik Dian tersebut pun terjadi 3 hal yang disorot oleh Microsoft: berita palsu mengenai Dian, ujaran kebencian ibu-ibu ketika mengomentari Dian, dan diskriminasi terhadap wanita cantik.

Jika melihat kehidupan sekitar kita yang sesungguhnya, sebenarnya banyak sekali ditemukan fenomena mengomentari ini. Bahasa Jawanya, ngelokke. Kita cenderung buru-buru ingin komentar. Daripada dianggap ora dongan---telat mikir. Ada pula yang ikut-ikutan komentar biar dianggap ben padha kancane. Biar seperti temannya. Jadi sebelum paham masalahnya apa pun kita sering buru-buru komentar. Karena terburu-buru, kita memberi komentar dengan cenderung tidak sopan. Terkadang juga karena kebelet emosi. Kita kebelet ingin segera mengomentari tanpa memikirkan perasaan orang yang dikomentari.

Kebiasaan berkomentar ini tentu saja secara langsung berdampak pada kehidupan berinternet masyarakat Indonesia. Dari yang awalnya suka nyinyiri tetangga secara offline, kemudian berpindah menjadi nyinyiri akun di medsos. 

Ditambah lagi kondisi pandemi seperti ini. Orang-orang berdiam diri di rumah dan lebih suka menghabiskan waktu di medsos. Lebih banyak interaksi online daripada offline. Ujung-ujungnya jadi berkomentar di akun medsos orang. 

Sering juga, tidak peduli apakah berita dalam medsos itu palsu atau tidak, orang-orang buru-buru komentar tanpa dipikir. Jadinya, seperti yang diungkapkan survey Microsoft itu: ujaran kebencian dan diskriminasi. Ya jadi memburuklah tingkat kesopanan netizen Indonesia.

Melihat reaksi saudara saya ketika mengomentari si vokalis, saya menjadi yakin bahwa survey itu benar. Orang-orang Indonesia memang suka berkomentar. Nyinyir. Tidak sopan. Sampai-sampai ketidaksopanan itu diakui se-Asia Tenggara.

Meskipun begitu, saya pikir ada sisi lain netizen Indonesia yang luput dari perhatian Microsoft. Pada awal ketika terjadi pandemi COVID-19 di Indonesia, netizen Indonesia lah yang inisiatif untuk membantu pemerintah dalam menangani pandemi. Misalnya, memberi bantuan APD jahitan sendiri pada nakes, yang waktu itu kekurangan. 

Gotong royong menggalang donasi untuk membantu mereka yang kehilangan pekerjaan. Mereka melakukannya dengan cara memberi pengumuman pada akun medsos yang kemudian menjadi viral. Banyak orang membantu.

Siapa lagi yang bisa melakukannya di waktu pandemi seperti ini? Netizen Indonesia, lah! Beberapa akun di media sosial melakukannya dengan cara meminta bantuan pengikut mereka, yang kemudian diteruskan oleh para pengikut ke platform media sosial lainnya. Akhirnya, bantuan terkumpul dan---meskipun masih jauh dari kata bagus---penanganan pandemi di Indonesia cukup terbantu.

Kemudian, masih ingat 'kan, dulu Pemerintah merencanakan vaksin COVID-19 berbayar. Karena dikritik habis-habisan sama netizen, akhirnya, Pak Presiden membuat keputusan: vaksin digratiskan. Setidaknya netizen Indonesia berhasil membuat pemerintah menganulir keputusannya; menjadikan vaksin COVID-19 gratis. Meskipun, wacana vaksin berbayar juga masih ada, sih.

Selain turut serta dalam penanganan pandemi, netizen Indonesia juga turut membantu seperti penggalangan dana untuk korban bencana alam. Hidup di negara bencana seperti ini, pasti setiap kali kejadian bencana, ada netizen baik hati yang inisatif untuk melakukan penggalangan dana.

Kebaikan netizen Indoneisa lainnya juga masih banyak. Misalnya meminta netizen lain untuk membeli dagangan penjual tua yang lama tidak laku. Atau membeli pesanan-pesanan online yang dibatalkan. Bahkan, beberapa bulan lalu, ada akun yang membantu penggalangan kosmetik bekas yang kelak akan digunakan untuk pelatihan difabel dalam rias mayat. Dengan kata-kata ajaib, "Please do your magic!" para netizen terketuk hatinya untuk membantu mereka yang kesusahan. Dan masih banyak hal lainnya, yang mungkin akan membuat Microsoft melongo jika mengetahui kebaikan netizen Indonesia.

Meskipun dicap sebagai netizen tak sopan se-Asia Tenggara, netizen Indonesia saya rasa paling nomor satu dalam urusan gotong royong. Sayang, Microsoft belum mengadakan survey tentang gotong-royong netizen Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun