Matahari baru naik sepenggalah. Sisa embun tadi malam tinggal satu-satu membasahi rerumputan dan daun-daun kelapa sawit yang berjuntai hingga mencium tanah. Iriani mulai mengambil posisi yang enak untuk memulai pekerjaannya menggaruk rumput yang mengitari pohon kelapa sawit milik salah satu perkebunan BUMN di daerahnya. Ini hari pertama dia bekerja sejak kematian suaminya sebulan yang lalu. Ia harus realistis, mengambil keputusan yang tepat untuk bekerja guna menafkahi kedua anaknya yang masih belum sekolah. Suaminya yang hanya seorang buruh swasta tidak meninggalkan harta setelah kematiannya. Dengan bantuan tetangganya, Iriani berhasil mendaftar sebagai tenaga kerja outsourcing. Konon kabarnya pekerjaannya bisa berganti-ganti, tergantung orderan yang didapat oleh orang yang mereka sebut BOS. Orang ini sangat dihormati, karena ialah yang menentukan diterima atau tidaknya seorang pekerja. Ia pula yang menentukan jumlah gaji yang akan diterima masing-masing pekerja. Tetangga Iriani mewanti-wanti agar jangan sempat Iriani melawan apapun perintah BOS tersebut. Lepas subuh tadi BOS sudah mengantar mereka ke perkebunan ini dengan mobil double cabinnya. Iriani dan 14 orang teman-temannya duduk berdesakan di bak belakang mobil itu.
Belum sempat Iriani menyelesaikan garukan di pohon kelapa sawit pertamanya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah deheman seorang lelaki. Lelaki itulah yang tadi membagi-bagi lokasi tempat kerja mereka. Mengenakan kemeja abu-abu berpadu dengan jeans biru. Topi abu-abu dan sepatu selutut yang juga berwarna abu-abu membuat penampilannya terkesan berwibawa. Menilik bentuk perutnya yang agak membuncit bisa ditaksir usianya sekitar empat puluhan. Di kemejanya tertulis nama Suprapto. Inilah orang yang disebut-sebut tetangga Iriani sebagai Mandor yang akan mengawasi pekerjaan Iriani dan kawan-kawannya.
“Hai! Sini dulu!” Sang Mandor memanggil Iriani sedikit berteriak.
“Saya, Pak!” Iriani mendekat sambil memegang cangkulnya erat-erat. Sinar matahari jatuh tepat di wajahnya. Meskipun ia sudah melahirkan dua orang anak tetapi gurat-gurat kecantikan masih tersisa. Apalagi bentuk badannya yang tidak segera melar karena proses mengandung dan melahirkan.
“Kamu pekerja baru hari ini yah?” Sang Mandor mengamati Iriani dari ujung kaki hingga kepala.
“Iya, Pak! Nama saya Iriani.” Iriani memperkenalkan diri. Ia mencoba membalas tatapan lelaki itu.
“Mengapa kamu mau bekerja seperti ini?” Sang Mandor mulai menyelidik.
“Suami saya sudah meninggal sebulan yang lalu, Pak. Saya harus bekerja untuk menafkahi dua orang anak saya yang masih kecil-kecil.” Iriani menjawab sambil menundukkan kepala.
“Kamu masih cantik, bila hanya menginginkan uang, kamu tak perlu bekerja sekasar ini.” Sang Mandor memegang dagu Iriani. Iriani mengangkat wajahnya. Sang Mandor pun tak kuasa menahan hasratnya untuk tidak menikmati bibir merekah si janda muda. Ternyata ia sudah memendam hasrat tersebut sejak pembagian lokasi kerja tadi. Iriani begitu mencolok diantara para pekerja lainnya.
Iriani janda muda yang masih labil. Meskipun hatinya sedang berduka, tetapi hasrat libidonya tak mampu dicegah. Sebulan adalah waktu yang cukup lama untuk tidak mendapatkan sentuhan seorang lelaki. Iriani membalas perlakuan Sang Mandor persis seperti yang diingini.
***
Tak terasa mataharipun mulai bersinar tepat diatas kepala. Tak setetes embunpun tersisa di rerumputan, daun-daun kelapa sawitpun tak lagi basah karena embun telah menguap secara sempurna. Dua sosok manusia berlawanan jenis itu masih saja berpelukan. Tetes-tetes keringat membasahi wajah keduanya. Dering handphone Sang Mandor memecah kesunyian. Sebuah SMS berisikan perintah agar Sang Mandor segera menghadap atasannya. Iriani bergegas mengemasi barang-barang, berkumpul kembali dengan teman-temannya di lokasi sebelum mereka berpisah. Butir-butir keringat di dahinya masih tersisa. Sebuah pekerjaan terberat telah dilakoninya demi selembar ratusan ribu rupiah. Sang Mandor telah berjanji bahwa besok ia akan datang lagi. Iriani melompat keatas double cabin Si BOS. Mobil melaju menyisakan debu. Menempel disetiap benda yang dilalui sama seperti debu-debu dosa yang mulai menghinggapi kehidupan Iriani.
Erlina, Kisaran 04 April 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H