Mohon tunggu...
Erlina Maria Intan
Erlina Maria Intan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Saya mahasiswa aktif universitas Katolik Santu Paulus Ruteng

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Dongeng: Cara terindah menumbuhkan kreativitas anak bangsa

11 Januari 2025   11:58 Diperbarui: 11 Januari 2025   11:58 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dongeng Sejak Dini

Dalam berbagai komunitas, pandangan terhadap sastra biasanya menunjukkan perbedaan yang mencolok. Kita sering kali sulit memisahkan diri dari seni sastra. Fondasi utama untuk menjaga moral dan etika terletak pada penghargaan kita terhadap ruang sastra itu sendiri. Dalam konteks ini, kita berbicara tentang peran orang tua yang, secara umum, memperkenalkan berbagai tradisi kepada anak mereka, termasuk dongeng. Itulah esensi dari regenerasi yang kita alami. 

Kita memahami bahwa pertumbuhan anak yang sehat tidak hanya bergantung pada asupan makanan bergizi dan keseimbangan nutrisi, tetapi juga pada perkembangan mental yang cerdas. Seorang anak benar-benar membutuhkan cerita-cerita seperti Cinderella, Kancil, Malin Kundang, dan berbagai kisah fantasi lainnya untuk membangun ruang imajinasi yang kuat. Masyarakat sering menilai generasi kita sebagai generasi yang kurang paham akan seni bahasa, yang berkaitan erat dengan seberapa sering kita terpapar sastra sejak usia dini.

Sejak zaman dahulu, orang tua menyempatkan diri untuk merangkul anak mereka di malam hari, mengisahkan cerita-cerita unik yang mendalam. Aktivitas ini menjadi medium untuk mendekatkan diri kepada anak-anak. Kita pun mendengarkan cerita moral yang hangat dan menarik, yang membantu anak memahami arti kebaikan serta cara dunia berfungsi. Pada akhirnya, hal ini membuka perspektif yang lebih luas dan membekali anak dengan kemampuan untuk membandingkan realita mereka dengan sastra. Para ahli dari National Center on Early Childhood Development, Teaching, and Learning menjelaskan bahwa membacakan dongeng kepada anak-anak dapat memperluas kosakata dan variasi bahasa yang mereka gunakan. Anak-anak yang mendengarkan cerita cenderung lebih tenang, memiliki rentang perhatian yang lebih panjang, dan melatih kemampuan mental mereka dalam menyelesaikan masalah.

Sastra dan Transisinya

Setelah menyadari pentingnya sastra, kita harus melihat lebih dalam mengenai transisi yang dialaminya. Banyak hal yang berubah dan berkembang seiring dengan berjalannya waktu, termasuk proses pertumbuhan anak yang sejalan dengan perkembangan sastra. Misalnya, dongeng sederhana kini bertransformasi menjadi cerita-cerita yang lebih kompleks dan merangsang pemikiran, seperti Harry Potter atau Narnia, yang menyuguhkan pelajaran moral yang lebih dalam dan merangsang daya imajinasi. Orang tua perlu mampu menyesuaikan tipe sastra dengan karakteristik dan perkembangan anak, karena ini merupakan suatu keharusan.

Namun, ada tantangan tambahan yang dihadapi orang tua saat ini, yaitu digitalisasi. Peralihan sastra ke era digital telah mengubah cara anak berinteraksi dengan teks sastra. Kehadiran e-book dan sastra elektronik memudahkan anak-anak untuk mengakses berbagai jenis bacaan. Di sisi lain, hal ini juga menjadi tantangan bagi orang tua, yang mungkin merasa kehilangan kontrol atas anak mereka. Meskipun digitalisasi memberikan pengalaman yang menyenangkan, anak-anak kehilangan elemen taktil dan sensorik yang diperoleh dari buku fisik. Beberapa dongeng bahkan diadaptasi menjadi media interaktif seperti video game. Digitalisasi telah mengubah dongeng menjadi lebih inklusif dengan akses global dan fitur interaktif, melibatkan audiens dari berbagai kelompok usia. Namun, sayangnya, banyak elemen tradisional dari cerita asli menjadi kehilangan esensinya. Dalam waktu yang singkat, dampak digitalisasi terhadap sastra sering kali terasa mengikis nilai-nilai yang telah ada.

Sastra vs. Teknologi

Sepertinya masalah ini telah menjadi sangat mengganggu. Kemajuan teknologi seolah-olah mengikis habis nilai-nilai kita, terutama dalam mengagungkan sastra dan dongeng. Kini, anak-anak disuguhi video YouTube seperti "Baby Shark," yang dianggap lebih menghibur dan membuat para ibu lebih tenang dalam mengurus anak mereka. Namun, apakah ini benar-benar memberikan dampak positif yang setara dengan keberadaan dongeng? Banyak dari mereka bahkan tidak melibatkan anak-anak dalam percakapan, sehingga tidak mengherankan jika masalah fisik dan mental pada anak-anak semakin merajalela. Laporan dari American Academy of Pediatrics mengungkapkan bahwa anak yang terpapar lebih dari 2 jam sehari pada gadget memiliki risiko keterlambatan bicara mencapai 23%. Selain itu, mereka juga cenderung memiliki rentang perhatian yang lebih pendek dan kesulitan dalam interaksi sosial. Memang, kita telah dikuasai oleh "Robot Berkedok Video. "

Di balik pandangan ini, terdapat keinginan yang kuat untuk memperkuat dan mempertahankan nilai-nilai sastra kita. Kita menginginkan kecerdasan yang matang, generasi yang lebih kokoh dalam hal moral dan etika. Kita dan imajinasi adalah inti dari keseruan dalam dunia ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun