Karena itu, tak heran banyak masyarakat yang bertempat di daerah terpencil minim akan pengetahuan teknologi maupun informasi-informasi terbaru.
Kedua, tidak semua peserta didik itu memiliki perangkat elektronik, seperti peranti komunikasi berbasis android (gawai) dan perangkat lunak lainnya (komputer) dikarenakan keterbatasan kebutuhan.
Dengan metode belajar-mengajar jarak jauh yang mungkin saja berlangsung sampai ke depannya hingga waktu yang belum ditentukan, mau tidak mau orangtua peserta didik dengan keadaan terpaksa menggali pundi-pundi rupiah bila anaknya menuntut dalam pengadaan inventarisasi (Hp/komputer).
Belum lagi kuota internet/kartu prabayar kian melambung harganya di tengah-tengah akses jaringan yang hanya di tempat-tempat tertentu bisa terjangkau.
Belajar dari rumah bukan berarti liburan, belajar sistem daring bukan berarti semua mata pelajaran diganti dengan tugas kan? Bayangkan, bila di setiap siswa punya mata pelajaran yang banyak dan tiap mata pelajaran diganti tugas semuanya, lama-lama siswa down bukan perkara terpapar Covid-19, tapi karena tugas yang amat menumpuk.
Saya punya tetangga, dengan anak 2 yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Katanya, guru memberikan deadline tugas yang kemudian harus dikirim melalui e-mail. Sedangkan gawainya hanya satu, itupun masih memakai jaringan GSM. Alhasilnya, tetangga saya ini kewalahan yang anaknya harus ganti-gantian ngerjain tugas.
Terus terang, kalau memang guru ingin memberi tugas pada siswa, cukup diberikan saja, dikumpulnya saat masuk sekolah nanti, karena kalau siswa dibebankan dengan tugas, kasian mereka yang keterbatasan ekonomi.
Faktanya juga, terdapat banyak di daerah pedesaan yang atas imbauan guru untuk belajar di rumah. Anak-anak malah tetap bersuka ria menggunakan waktu liburnya untuk bermain. Tenaga pengajar juga tidak bisa berbuat banyak untuk memaksa siswa memiliki gawai/komputer sebagai media belajar-mengajar.
Ketiga, Tenaga pendidik (guru) yang masih minim pengetahuan soal teknologi. Seperti mengotak-atik perangkat lunak (komputer) maupun gawai berbasis android. Akibatnya, bila keadaan terpaksa guru dituntut menerapkan metode kelas daring, siswa kadang gagal memahami konsep ajaran guru.
Soal pelaksanaan pembelajaran formal atau metode tatap muka, kita akui bahwa tenaga pendidik atau guru itu tidak bisa diragukan kemampuannya. Akan tetapi, dalam menerapkan konsep pembelajaran berbasis daring, kebanyakan tenaga pendidik atau guru masih gagap teknologi (gaptek).
Pada abad sekarang, tenaga pendidik diharuskan menyesuaikan diri dengan teknologi masa kini. Hal ini, menjadi salah satu PR bagi pemerintah kedepannya untuk mengadakan pendidikan dan pelatihan teknologi bagi tenaga pendidik atau guru, terutama yang mengabdi di daerah Desa terpencil.