Tentang Hadits Ini
Sebagian dari kita mungkin pernah mendengar suatu perkataan “Cinta Tanah Air Sebagian Dari Iman” atau dalam Bahasa Arab "حُبُّ الْوَطَنُ مِنَ الْإيْمَانِ". Dengan perkataan ini sebagian orang ada yang beranggapan bahwa kalimat ini merupakan hadits dari nabi. Apalagi kalimatnya merupakan kalimat yang dapat menggugah semangat bahwa ketika rasa cinta tanah air muncul, maka iman dapat bertambah.
Kalimat “ حُبُّ الْوَطَنُ مِنَ الْإيْمَانِ” sebagaimana dikatakan oleh Syekh Nashiruddin Albani dalam kitabnya Silsilatu al-Ahadits adh-Dhuafa’ wal Maudhu’at bukanlah berasal dari nabi atau bisa dikatakan palsu.[1]
Bahkan dalam Kasyful Khafa’ sebagaimana Al-Ajluni kutip pernyataan Ash-Shaghani bahwa hadits ini palsu. Kemudian dikatakan pula oleh As-Sakhawi bahwa kalimat ini tidak memiliki sandaran yang jelas walaupun secara makna kalimat ini benar. Apalagi rasa cinta tanah air tidak memiliki kaitan dengan bertambahnya iman seseorang.
Dalam Al-Qur’an An-Nisa ayat 66 Allah swt berfirman:
وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ ٱقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ أَوِ ٱخْرُجُوا۟ مِن دِيَٰرِكُم مَّا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِّنْهُمْ ۖ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا۟ مَا يُوعَظُونَ بِهِۦ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا
Artinya: Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka).[2]
Dalam tafsirnya perihal ayat ini, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa orang-orang munafik seandainya diperintahkan mengerjakan hal-hal yang dilarang mereka melakukannya, niscaya mereka tidak akan melakukannya. Hal ini karena mereka memiliki watak buruk yang memiliki naluri untuk menentang perintah.
Sebagaimana dalam contoh ayat tersebut mereka (orang-orang munafik) memiliki rasa cinta tanah air, namun mereka tetap tidak beriman kepada Allah swt. Jelas hal ini bertentangan dengan hadits tersebut. Apalagi jika kita kita melihat fakta sebenarnya, orang yang memiliki rasa cinta tanah air tidak hanya orang mukmin saja, namun non mukmin bisa memiliki rasa cinta tanah air. Kenyataannya hal itu tidak merubah keimanan orang non mukmin untuk beriman kepada Allah swt.
Nabi Juga Cinta Tanah Air
Rasulullah sendiri ketika hijrah ke Madinah pada tahun ke-13 kenabian, beliau berhenti sementara di Hazwarah bersabda sebagai berikut:
“وَ اللّهِ, إنَّكَ لَخَيْرُ أرْضِ اللهِ, وَ أحَبُّ أرْضِ اللهِ الَى اللهِ, وَ لَوْ لاَ أَنِّيْ أُخْرِجْتُ مِنْكَ مَا خَرَجْتُ”
Artinya: “Demi Allah, sesungguhnya kamu (tanah Makkah) sebaik-baik tanah Allah swt. Dan tanah yang paling dicintai oleh Allah swt. Kalaupun aku tidak diperintahkan keluar darinya, pastilah aku tidak akan keluar”[3]
Begitu rindunya nabi ketika harus meninggalkan tanah kelahirannya lantaran perintah Allah swt. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah swt dalam Q.S. Al-Qashash ayat 85 sekaligus sebagai penghibur nabi lantaran telah meninggalkan Makkah sebagai berikut:
... اِنَّ الَّذِيْ فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لَرَاۤدُّكَ اِلٰى مَعَادِ
Artinya: Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali ...”
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud sebagai “tempat kembali” ialah hari kiamat. Namun pada pernyataan yang disampaikan oleh Imam Bukhori dalam tafsirnya, An-Nasa’i, dan Ibnu Jarir bahwa yang dimaksud sebagai “tempat kembali” sebagaimana Ibnu Katsir tulis dalam kitabnya ialah kota Makkah. Demikian juga riwayat dari Al-Aufi dari Ibnu Abbas bahwa “tempat kembali” adalah Makkah.[4]
Dalam riwayat lain, disebutkan ketika nabi telah tinggal di Madinah, beliau berdoa kepada Allah swt dengan doa sebagai berikut:
" اللهُمَّ حَبِّبْ إلَيْنَا الْمَدِيْنَةَ كَمَا حَبَبْتَ إلَيْنَا مَكَةَ أوْ أشَدَّ "
Artinya: “Ya Allah, jadikanlah Madinah sebagai kota yang kami cintai, sebagaimana kami mencintai Makkah atau lebih dari itu”[5]
Dari hadits ini, menunjukkan bahwa rasa cinta akan tanah air merupakan tabiat yang dimiliki oleh setiap orang, bahkan nabi sekalipun. Hingga beliau mendoakan Madinah sebagai kota yang beliau cintai sebagaimana kota Makkah. Hal ini sebagaimana Allah swt berfirman dalam Q.S. An-Nisa ayat 66 bahwa meninggalkan tanah air sama dengan membunuh diri sendiri.
Dalam riwayat lain, nabi ketika meninggalkan Madinah lalu kembali lagi ke Madinah, tatkala beliau melihat dinding-dinding kota Madinah, beliau segera mempercepat tunggangannya agar segera sampai di Madinah.
عَنْ أنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ نَبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا قَدَمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إلَى جُدُرَاتِ الْمَدِيْنَةِ أوْضَعَ رَاحِلَتَهُ, وَ إنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا, مِنْ حُبِّهَا
Artinya: “Dari Anas r.a. bahwa Nabi s.a.w. ketika kembali dari bepergian, lalu beliau melihat dinding kota Madinah, beliau mempercepat tunggangannya. Jika di atas kendaraan lain, beliau menggerak-gerakkan kendaraannya karena kecintaannya kepada Madinah.”[6]
Cinta Tanah Air Adalah Tabiat Manusia
Nasionalisme merupakan paham cinta tanah air yang muncul dari Barat. Paham ini muncul karena adanya rasa sepenanggungan dari penindasan bangsa lain hingga muncul rasa kehendak bersama untuk bersatu. Dari kehendak bersatu, muncul rasa ingin mengusir penindasan itu sebagai wujud kecintaan terhadap tanah air.
Otto Bauer, seorang tokoh dari Jerman dalam bukunya Die Nationalitäten Frage und Die Sozial Demokratie menyatakan bahwa kehendak karena persamaan pengalaman menyebabkan timbulnya satu bangsa yang mana menjadi bibit adanya rasa cinta tanah air.
Die Nation kann also definiert werden als die nicht aus Gleichartigkeit des Schicksals, sondern aus Schicksalsgemeinschaft erwachsende Charaktergemeinschaft. Das ist auch die Bedeutung der Sprache für die Nation. Mit den Menschen, mit denen ich im engsten Verkehr stehe, mit denen schaffe ich mir eine gemeinsame Sprache; und mit den Menschen, mit denen ich eine gemeinsame Sprache habe, mit denen stehe ich im engsten Verkehr.
(Bangsa bisa pula didefinisikan bukan dari persamaan pengalaman, melainkan berasal dari persatuan pengalaman yang membentuk persatuan watak. Ini juga tujuan dari bahasa untuk suatu bangsa. Dengan manusia, dengan merekalah saya berdiri dalam hubungan erat, dengan merekalah saya menciptakan bahasa bersama. Dan dengan manusia, dengan merekalah saya memiliki bahasa bersama, dengan merekalah saya berdiri dalam hubungan erat.)[7]
Di kalangan intelektual Muslim abad ke-20 terjadi perdebatan mengenai paham ini. Akibatnya muncul tokoh seperti Jamaluddin Al-Afghani yang menggaungkan Pan-Islamisme yang mana ingin mempersatukan seluruh panji-panji Islam di dunia. Lalu muncul lagi tokoh Sayid Quth yang menyatakan bahwa untuk menentang dominasi Barat, tidak perlu menggaungkan slogan “nasionalisme”, tetapi Islam memiliki ideologi sendiri untuk menggerakkan massa supaya menyebabkan kemerdekaan.
Pada hakikatnya tanah air merupakan tempat dimana kita lahir dan kita menetap. Rasa cinta terhadap tanah air adalah sesuatu yang lumrah dimiliki oleh manusia. Sama halnya ketika manusia memiliki sebuah komunitas yang disebut keluarga. Ketika manusia jauh dari keluarga dan tanah air, tentu ada rasa rindu. Bahkan ketika tempat ia berasal diserang, muncul rasa untuk mempertahankannya.
Memang jika kita lihat dari pernyataan ulama tentang hadits tersebut, hadits tersebut dinilai palsu. Namun bukan berarti cinta tanah air adalah sesuatu yang tidak memiliki dasar dan dilarang. Sebagaimana nabi juga mencintai tanah kelahirannya dan tempat tinggalnya.
Rasa nasionalisme haruslah dimiliki oleh setiap orang dalam satu bangsa demi mempertahankan keutuhan suatu bangsa. Yang terpenting rasa itu bisa diimplementasikan sebagai rasa syukur kepada Allah swt dilahirkan di negeri Indonesia tercinta ini.
Walaupun ada berbagai kekurangan dan permasalahan yang ada, sebagai generasi muda, kita bisa memberikan sumbangsih baik melalui instansi kita bekerja maupun hal lain selama tidak muncul rasa ingin melakukan pemberontakan membubarkan negara berdasarkan idealisme yang merusak persatuan bangsa.
Sejarah telah membuktikan bahwa ketika para tokoh dari timur keberatan dengan kata sila pertama Pancasila “Ketuhanan Dengan Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya”, para ulama juga merelakan untuk diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tidak ada sebersit dalam diri mereka untuk mendirikan negara Islam. Inilah wujud cinta tanah air sejati. Hingga bangsa kita tetap berdiri kokoh hingga sekarang.
Sumber
[1] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah Al-Ahadits Al-Dhoifah Al-Maudhuah, juz 1, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 2002), hlm. 110.
[2] Ismail bin Muhammad al-Ajluni al-Jarohi, Kasyf al-Khafa’ wa Muzil Al-Ilbas: Amma Isytahara min Al-Ahadits ‘ala Sunnah An-Nas, juz 1, (Maktabatul Ilmi Hadits), hlm. 393.
[3] Abu Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, Jami’ At-Tirmidzi, (Riyadh: Darussalam, 2000), hlm. 883.
[4] Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al-Sheikh, Lubab At-Tafsiir Min Ibni Katsir, terj. M. Abdul Ghoffar dan Abu Ihsan Al-Atsari, cet. ke-1, (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004), hlm. 306-307.
[5] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih Bukhori, cet. ke-1, (Beirut: Dar al-Ibnu Katsir, 2002), hal. 1588.
[6] Ibid, hal. 454
[7] Otto Bauer, Die Nationalitȃten Frage und die Sozial Demokratie, (Vienna:1907), hlm. 98-99.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H