Mohon tunggu...
Erlangga Danny
Erlangga Danny Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang yang bermimpi jadi penulis

Wat hebben we meestal doen, bepalen onze toekomst. Daardoor geschiedenis is een spiegel voor toekomst. Leben is een vechten. Wie vecht niet, hij zalt in het gedrang van mensen verpletteren.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perang Bani Quraizhah, Sebuah Refleksi Khilafiyah dalam Ijtihad

9 Januari 2023   20:24 Diperbarui: 9 Januari 2023   20:36 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hadits memiliki berbagai bentuk. Terkadang ia berupa perintah, larangan, ataupun berupa persetujuan dari nabi. Perintah dan larangan itu terkadang disebutkan illatnya kadang tidak disebutkan illat. Illat dalam hal ini bukanlah illat yang menyebabkan cacatnya suatu hadits.

Lalu apakah yang dinamakan illat itu?

Menurut ulama Ushul Fiqh, yang disebut illat ialah suatu sifat dzahir yang keberadaannya dapat menyebabkan terjadinya hukum dan ketiadaan sifat dzahir itu tidak menyebabkan terjadinya hukum. Dalam metode menggali hukum, yakni Qiyas, illat sangat dibutuhkan. Illat yang tercantum dalam dalil disebut sebagai illat manshushah, sedangkan yang tidak tercantum dalam dalil disebut illat mustanbathah.

Illat manshuhah karena tercantum dalam teks, maka jelas tidak memungkinkan terjadi perbedaan di kalangan para ulama. Sedangkan pada illat mustanbathah pastilah memungkinkan terjadi perbedaan pendapat. Karena illat ini sifatnya tersirat, dan harus digali hukumnya agar menjadi produk hukum yang bisa jadi pedoman bagi masyarakat.

Salah satu contoh yang akan kami bahas dalam hal ini adalah kisah ketika sahabat berbeda pendapat ketika memahami instruksi nabi untuk tidak shalat Ashar sebelum tiba di Bani Quraidhah. Sebagaimana kita ketahui, para ulama yang notabene hidup jauh setelah nabi wafat bisa berbeda pendapat, apalagi para sahabat yang hidup semasa nabi.

Sebagaimana riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:

لاَ يُصَلَّيْنَ أَحَدٌ الْعَصْرَ إلاَّ فِيْ بَنِيْ قُرَيْضَةَ. فَأدْرَكَ بَعْضُهُمُ الْعَصْرُ فِيْ الطَّرِيْقِ, فَقَالَ بَعْضُهَمْ: لاَ نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهُمْ. وَ قَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ نُصَلِّي, لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَالِكَ. فَذُكِرَ ذَالِكَ لِلنَّبِيِّ صل الله عليه وسلم فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ.

Artinya: “Janganlah sekali-kali seorangpun diantara kalian shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Kemudian sebagian dari mereka mendapati waktu Ashar di perjalanan. Ada yang berkata, “Kita kerjakan shalat Ashar setelah tiba disana (Bani Quraizhah).” Sebagian yang lain berkata, “Tidak, kita laksanakan shalat Ashar disini. Nabi tidak menghendaki kita mengakhirkan shalat Ashar sampai malam.” Kemudian hal itu dilaporkan kepada Nabi s.a.w. Ternyata beliau tidak menyalahkan seorang pun dari mereka.[1]

Dalam kitab Shohih Muslim disebutkan dengan lafadz “لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الظُّهْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ” yang artinya “Janganlah salah satu diantara kalian shalat Dzuhur kecuali di Bani Quraizhah”[2] Sehingga ada perbedaan dalam redaksi antara Bukhori dengan Muslim.[3] Namun sebagian ulama mencoba mengkompromikan kedua hadits tersebut dengan menyatakan bahwa kemungkinan ada sebagian sahabat yang melaksanakan shalat Zhuhur sebelum instruksi nabi diberikan. Bagi sahabat yang sudah melaksanakan shalat Zhuhur, maka dikatakan “Janganlah salah satu diantara kalian shalat Ashar ...”. Sedangkan bagi sahabat yang belum melaksanakan shalat Dzuhur, maka dikatakan “Janganlah salah satu diantara kalian shalat Dzuhur ...”. 

Situasinya ketika sahabat telah sampai di tengah jalan menuju Bani Quraizhah, ternyata sebagian dari mereka yang memahami secara kontekstual menghendaki agar shalat Ashar jangan sampai larut malam yang penting sampai terlebih dahulu di Bani Quraizhah. Ada juga yang bersikukuh bahwa mereka shalat Ashar tepat pada waktunya. Artinya sebelum tiba di Bani Quraizhah, mereka sudah shalat duluan. Merekalah yang disebut kaum tekstualis.     Artinya ijtihad telah ada pada masa sahabat seperti contoh pada kisah tersebut.

Kelanjutan dari kisah tersebut, setelah Rasulullah s.a.w. bersama para pasukan tiba di perkampungan Bani Quraizah, mereka melakukan pengepungan terhadap kaum Bani Quraizhah. Pengepungan itu berlangsung selama kurang lebih 25 (dua puluh lima) hari (menurut pendapat terkuat).

Akhirnya karena terkepung, mereka pasrah menerima sanksi dari Rasulullah s.a.w. Nabi lalu menyerahkan penentuan sanksi tersebut kepada salah satu dari kaum Bani Aus yaitu Sa’ad bin Muadz radhiyallahu anhu. Karena Bani Aus merupakan sekutu dari Bani Quraizhah dulunya.

Seperti diketahui bahwa penyerangan terhadap Bani Quraizhah terjadi setelah adanya Perang Khandaq. Karena Perang Khandaq pasukan muslimin mengalami kondisi kritis lantaran mereka menghadapi kepungan musuh dalam jumlah cukup besar. Ketika pasukan muslimin dalam kondisi kritis kaum Yahudi mengkhianati perjanjian damai sehingga pasukan muslimin mendapat “tusukan” dari belakang”. Pengkhianatan ini diprovokatori oleh Huyay bin Akhtab an-Nadhari. Terjadilah kemudian perang Bani Quraizhah pada akhir Dzulqaidah dan awal Dzulhijjah awal tahun ke-5 Hijriyah.[4]

Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari menyatakan bahwa hadits tersebut mengandung faidah bahwa tidak tercela orang yang mengamalkan hadits ataupun ayat Quran dari segi lafadznya. Begitu pula bagi orang yang mengamalkannya dengan cara menggali teks dalil untuk memperoleh maknanya secara khusus. Artinya dari pernyataan tersebut, maka boleh bagi para ulama mujtahid yang memiliki perbedaan pendapat memahami sebuah dalil selama masih dalam proses ijtihad sepanjang tidak menyelisihi aqidah. Seandainya pun ulama itu salah, maka ia tidak berdosa.

 

Sumber

 1. Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih Bukhori, cet. ke-1, (Beirut: Dar al-Ibnu Katsir, 2002), hlm. 1011.

2. Abu Al-Husain Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi, Shohih Muslim, cet. ke-1, (Riyadh: Dar ath-Thoyyibah, 2006), hlm. 848.

3. Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarh Shohih Al-Bukhori, juz 7, hlm. 409-411.

4. As-Sirah An-Nabawiyyah Fi Dhou’ Al-Mashadir Al-Ashliyyah, cet. ke-1, (Riyadh, 1992), hlm. 459-460.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun