Yahya bin Ubaidillah bin Muwahhab
Nama aslinya ialah Yahya bin Ubaidillah bin Abdullah bin Muwahhab at-Taimi al-Madani. Ia meriwayatkan hadits dari ayahnya. Sementara orang yang meriwayatkan hadits darinya yaitu Abdullah bin Al-Mubarak, Fudhoil bin Iyadh, Isa bin Yunus.
Para ulama banyak memberikan penilaian negatif terhadapnya. Abu Hatim mengatakan bahwa Sufyan bin Uyainah telah mendhoifkannya. Imam Bukhori bahkan meninggalkan riwayat haditsnya. Ibnu Abi Maryam dari Ibnu Main berkata bahwa dia tidak menuliskan haditsnya. Abu Dawud ketika bertanya kepada Imam Ahmad tentang Yahya bin Ubaidillah, maka Imam Ahmad berkata bahwa hadits-haditsnya munkar. Abu Bakar bin Abi Syaibah berkata dia bukan orang yang tsiqah (terpercaya) dalam hadits.[5]
Â
Kesimpulan
Sebagaimana dijelaskan oleh Mahmud ath-Thahan (Mahmud ath-Thahan, 2010: 190-191) bahwa ada tingkatan penilaian Jarh terhadap rawi dan lafadz-lafadznya, yaitu:
- Tingkatan pertama, lafadz yang menunjukkan kelunakan seperti penilaian fulan layyinul hadits (fulan haditsnya lunak) atau fihi maqolun (diperbincangkan di dalamnya).
- Tingkatan kedua yakni lafadz yang dijelaskan dengan ketiadaan hujjah di dalamnya dan keserupaannya seperti contoh fulan la yuhtaju bihi (fulan tidak dapat dijadikan hujjah), dhoif (lemah), lahu manakir (ia haditsnya munkar)
- Tingkatan ketiga yaitu lafadz yang menunjukkan haditsnya tidak bisa ditulis seperti contoh fulan la yuktabu haditsuhu (fulan tidak ditulis haditsnya), la tahillu al-riwayatu anhu (tidak halal riwayat darinya), dhoif jiddan (sangat lemah), wahn bimarratin (orang yang sering melakukan persangkaan)
- Tingkatan keempat yakni lafadz yang menunjukkan adanya tuduhan berbuat dusta seperti saqithun (gugur), matruk (ditinggalkan) atau laisa bi tsiqotin (bukan terpercaya)
- Tingkatan kelima yakni lafadz yang menunjukkan adanya perbuatan dusta seperti kadzab (pendusta), wadla' (pemalsu), atau yadla'u (pembuat hadits palsu).
- Tingkatan keenam yaitu lafadz yang menunjukkan mubalaghah (tingkatan amat berat) dalam perbuatan dusta seperti fulan akdzabu an-nas (fulan paling pendusta), ilaihi al-muntaha fi al-kadzbi (dia merupakan orang yang pangkalnya dusta), huwa ruknu al-kadzbi (dia penopang dusta).
Dari tingkatan tadi, menurut Mahmud ath-Thahan, tingkatan pertama dan kedua tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Namun bisa ditulis haditsnya dan menjadi pelajaran. Maka jelas hadits yang menunjukkan adanya keutamaan bagi pengqurban akan menaiki kendaraan hewan yang dijadikan qurban ketika di akhirat nanti tidak bisa kita jadikan hujjah. Tetapi bisa kita jadikan pelajaran. Hal ini karena ada seorang perawi yang dinilai oleh para kritikus hadits dengan penilaian yang memenuhi tingkatan kedua jarh.
Oleh karena itulah, jika kita menyampaikan hadits ini dalam sebuah forum, ceramah ataupun tabligh harus dijelaskan bahwa hadits ini dhoif dengan dijelaskan kedhoifannya. Namun bisa menjadi dorongan agar semangat untuk berqurban dengan menjelaskan bahwa hadits ini dhoif.
Catatan Kaki
- Abu al-Fida' Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir al-Quranul Adzim, juz 8, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), hlm. 476.
- Syirawaih bin Syahradar bin Syirawaih ad-Dailami Abu Syuja'. Al-Firdaus bi al-Ma'tsur al-Khithab, juz 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1986), hlm. 85.
- Muhammad Abdurrahman as-Sakhawi, Al-Maqashid al-Hasanah fi Bayan Katsir min al-Ahadits al-Musytahirah ala Sunnah , cet. ke-1, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1985), hlm. 114.
- Abu Fadhl Syibabuddin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Hajar Al-Asqalani Asy-Syafi'i, Talkhis Al-Habir fi Takhrij Ahadits Ar-Rafi' Al-Kabir, hlm. 250-251.
- Abu Fadhl Syibabuddin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Hajar Al-Asqalani Asy-Syafi'i, Tahdzib at-Tahdzib, juz 11, cet.ke-1, (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami), hlm. 253.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H