Yahya bin Main mengatakan bahwa beliau tidak mengetahui hadits darinya. Abu Ubaid al-Ajuri dari Abu Dawud berkata bahwa haditsnya munkar.[6] Artinya hadits ini tidak bisa kita jadikan sandaran dalam pelaksanaan shalat tarawih delapan rakaat.
Sebenarnya kalau kita mau memahami secara utuh, ada hadits lain yang menyatakan bahwa nabi tidak membatasi jumlah rakaat shalat malamnya. Imam Muslim dalam kitab Shohih Muslim meriwayatkan hadits dari sahabat Ibnu Umar yang merupakan putra dari Umar bin al-Khattab sebagai berikut:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْحَى قَالَ: قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عنْ نَافِعٍ وَ عَبْدِ الله بْنُ دِيْنَارٍ عَنْ ابْنُ عُمرَ أنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُوْلَ الله صَلَى اللهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلاةِ اللَّيْلِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ الله صَلَى الله عَليْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإذَا خَشِيَ أحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوْتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, Ia berkata, "Aku membacakan (hadits) kepada Malik (Imam Malik), dari Nafi' dan Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar bahwasannya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah s.a.w. tentang shalat malam. Lalu Rasulullah s.a.w. bersabda, 'Shalat malam itu dua kali, dua kali. Apabila salah satu dari kalian takut karena telah tiba waktu Subuh, shalatlah dengan satu kali sebagai witir (penutup) bagi shalat yang telah dilaksanakan sebelumnya"'.[7]
Dalam hadits ini, memang nabi tidak menyatakan shalat tarawih. Tetapi ini dapat mengindikasikan bahwa nabi menyatakan shalat malam dilakukan dengan dua rokaat dua rakaat tanpa dibatasi jumlah rakaatnya. Dan apabila takut karena kehabisan waktu mendekati subuh, bisa ditutup dengan shalat witir satu rakaat.
Memang ada hadits yang diriwayatkan dari istri Nabi s.a.w. yakni Aisyah tentang shalat nabi empat rakaat, empat rakaat, lalu ditutup tiga rakaat. Ceritanya, ada seorang tabi'in Abu Salamah bin Abdurrahman bertanya kepada Aisyah tentang shalat nabi di bulan Ramadhan. Hadits ini terdapat dalam Shohih Bukhori pada nomor 2013 dengan lafadz sebagai berikut:
مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً. يُصَلِّي أرْبَعاً فَلاَ تَسْألْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي أرْبَعاً فَلاَ تَسْألْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاثاً. فَقُلتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ، أتَنَامُ قَبْلَ أنْ تُوتِرَ؟ فَقَالَ: يَا عَائِشَة، إنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي
Aisyah r.a. berkata, "Rasulullah s.a.w. tidak pernah menambah baik di bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, maka janganlah engkau tanyakan tentang bagus dan panjangnya rakaat tersebut. Kemudian beliau shalat empat rakaat, maka janganlah engkau tanyakan bagusnya dan panjangnya rakaat tersebut. Lalu beliau shalat tiga rakaat. Maka aku berkata, 'Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum engkau melakukan witir?' Beliau menjawab, 'Wahai Aisyah, sesungguhnnya mataku tidur tetapi hatiku tidak.'"[8]
Namun, hadits itu bukan berbicara mengenai shalat tarawih nabi. Hal inilah yang sering dipahami keliru oleh sebagian orang. Kalau kita baca secara utuh hadits ini, konteksnya adalah shalat witir nabi.[9]
Lalu apakah kita bisa mengatakan bahwa para sahabat memakai hadits palsu bila mereka pernah shalat dua puluh rakaat dan delapan rakaat?
Shalat tarawih memang mulai dilaksanakan secara berjamaah pada masa khalifah Umar bin al-Khattab. Di masa itu, belum ada pemalsuan hadits. Karena belum muncul orang-orang zindiq yang menyebarkan hadits palsu. Hadits palsu mulai tersebar setelah wafatnya khalifah Utsman bin Affan tahun 35 H. Barulah para sahabat memperhatikan secara cermat darimana mereka menerima hadits.
Mengenai riwayat dari sahabat Ubay bin Ka'ab mengimami shalat tarawih di masa Umar bin Khattab yang terkadang pernah kita dengar ini, kita temukan dalam kitab Shohih Bukhori di bab shalat tarawih. Riwayat ini memang shohih. Hanya saja hadits ini termasuk hadits mauquf, yakni hadits yang disandarkan kepada sahabat nabi s.a.w.[10]
Kemudian darimana para sahabat bisa mendapatkan bilangan shalat dua puluh rakaat padahal nabi tidak pernah mencontohkan?