Mohon tunggu...
Erlangga Danny
Erlangga Danny Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang yang bermimpi jadi penulis

Wat hebben we meestal doen, bepalen onze toekomst. Daardoor geschiedenis is een spiegel voor toekomst. Leben is een vechten. Wie vecht niet, hij zalt in het gedrang van mensen verpletteren.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tentang Fasisme

7 Januari 2017   21:55 Diperbarui: 21 Juli 2018   06:04 2605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di siang bolong ini, rasa jenuh benar-benar menghinggapi diriku. Entah kenapa, kemudian terpikirkan olehku untuk menulis sebuah artikel bertema politik. Pemikiranku lalu tertuju kepada sebuah buku karya Trotsky yang berjudul Fascism, What Is It and How To Fight Against It yang sudah selesai aku baca beberapa bulan yang lalu. Sungguh di satu sisi, menjadi seorang penganggur memang menyenangkan. Usiaku sudah 18 tahun. Tentunya aku bisa membaca berbagai buku yang bisa aku download ataupun aku beli di toko buku dan selain itu pula, aku bisa mengasah kemampuan bahasa asingku. Di sisi lain, ada rasa jenuh yang menghinggapiku.

Wat is het Fascisme? Apakah bentuk kediktatoran kontra-revolusioner bisa disebut fasisme?Ataukah suatu bentuk kediktatoran yang dipimpin oleh militer bisa disebut fasisme?Di Indonesia label fasis telah dilekatkan pada sosok figur Soeharto yang berkuasa kurang lebih 32 tahun. Apakah beliau betul-betul seorang fasis?

Dalam pamfletnya yang berjudul Fascisme, How To Fight Against It, Trotsky menulis analisanya mengenai fasisme sesudah rezim Mussolini berkuasa tahun 1922. Ia mendasarkan definisinya merujuk dengan situasi saat bagaimana Mussolini meraih kemenangannya di Italia dan Hitler di Jerman. Menurut Trotsky, gerakan fasis di Italia adalah gerakan spontanitas massa yang masif yang berasal dari rakyat biasa, disetir, dan dibiayai oleh borjuis besar. Bentuk kediktatoran Italia berbeda dengan Spanyol. 

Primo de Riveira meraih kekuasannya dengan bantuan militer dan negara, persis seperti saat Soeharto meraih kekuasaannya di Indonesia. Hanya saja Soeharto dengan bantuan militer dan "bantuan asing". “Saat sumber daya ‘normal’ militer dan polisi dalam kediktatoran borjuis, bersama dengan tabir parlementer mereka, sudah tak mampu lagi mempertahankan stabilitas masyarakat — keniscayaan rezim fasis telah tiba. Melalui agen fasis, kapitalisme menggerakkan massa borjuis kecil yang irasional dan kelompok-kelompok lumpen proletariat yang rendah dan terdemoralisasi – seluruh manusia yang telah digiring ke dalam kesengsaraan dan kemarahan oleh kapitalisme.” (Trotsky, 1944). Lebih lanjut ia mengungkapkan:

From fascism the bourgeoisie demands a thorough job; ... And the fascist agency, by utilizing the petty bourgeoisie as a battering ram ... by overwhelming all obstacles in its path, does a thorough job. After fascism is victorious, finance capital directly and immediately gathers into its hands, as in a vise of steel, all the organs and institutions of sovereignty, the executive administrative, and educational powers of the state: the entire state apparatus together with the army, the municipalities, the universities, the schools, the press, the trade unions, and the co-operatives.” (Trotsky,1944)

Saat negara berubah menjadi fasis maka sistem pemerintahan liberal yang memberi kebebasan pasar justru berubah menjadi kediktatoran monopool-kapitalisme yang dilakukan negara itu sendiri. Kebebasan pasar membuat persaingan ekonomi tak terkendalikan. Persaingan ekonomi yang terjadi dalam upaya mencari pasar menjadikan industri-industri kecil kian terdesak. Agar memenangkan persaingannya, mereka bersaing dalam memurahkan harganya. Akibatnya barang-barang banjir di pasar hingga harga barang anjlok dibawah ongkos produksinya. Tetapi dengan sistem inilah industri tidak bisa menutup ongkosnya yang justru membuahkan krisis bagi negara itu.  

Oleh karena persaingan memperebutkan pasar semakin hebat, diadakanlah upaya rasionalisasi agar produktivitas naik tetapi dengan mengurangi tenaga buruh. Ini dilakukan agar kapitalisme tidak lekas mencapai tahap krisis. Tentu hasil dari rasionalisasi ini adalah pengangguran dan kemiskinan. Tentu ini menjadi keuntungan apabila kapitalisme bisa menemukan pasarnya. Namun di saat kapitalisme tidak mendapatkan pasarnya, terjadilah krisis kapitalisme atau malaise.

The gigantic growth of National Socialism is an expression of two factors: a deep social crisis, throwing the petty bourgeois masses off balance, and the lack of a revolutionary party that would be regarded by the masses of the people as an acknowledged revolutionary leader.” (Trotsky, 1944)

Negaralah yang berkuasa penuh mendiktekan tindakan-tindakan agar kapitalisme tidak lekas turun. Negara seakan menjadi “polisi” yang “menjaga keadaan yang genting pada masa krisis tersebut. “Negara itu kini dijelmakan dirinya seorang diktator, jang mendiktekan segala tindakan pendjagaan, pendjagaan penguasaan tenaga-tenaga produksi, jang memberontak itu, pendjagaan penguasaan kaum buruh yang melawan itu, pendjagaan menjusun tenaga pemetjahkan belenggu kesempitannja pasar dunia, pendjagaan penegakkan tembok-tembok bea jang maha tinggi”. (Soekarno, 1964) Hal-hal tersebut adalah inti dari fasisme.

Bagaimana negara mengatasi krisisnya supaya kapitalisme bisa naik kembali?

Lihatlah kembali situasi saat setelah Perang Dunia 1. Setelah Perang Dunia I Jerman dan Austria menderita kekalahan yang mengakibatkan mereka harus membayar hutang kepada negara pemenang, Inggris, Perancis, dan Amerika. Padahal di satu sisi, keuangan negara tidaklah cukup untuk mengganti hutang tersebut, uang kertas Jerman merosot harganya, kereta api disita musuh. Apakah Jerman harus menggantinya dalam bentuk barang?Saat itu Inggris adalah workshop of the world. Inggris enggan membantu Jerman yang notabene memiliki minyak, besi, timah, dll. Karena Inggris takut kalau-kalau Jerman menyaingi barang produksi Inggris.

Jerman tidak mampu untuk membeli lantaran nilai mata uangnya tak laku di pasar luar negeri. Dengan menjual barang pabriknya pun tidak mungkin, karena harus membutuhkan bahan mentah dari luar. Akibatnya penganguran merajalela dan terjadi kemisikinan. Oleh karena itulah Jerman perlu koloni sebagai pasar. Sebagai solusinya Jerman membuat alutsista secara besar-besaran. Kereta api, pesawat, tank dibuatnya. Bahkan Jerman sudah membuat pesawat jet pertama tahun 1941. Industri Jerman perlahan bangkit kembali mulai 1932. Jumlah pengangguran akhirnya berhasil dikurangi. Ini menjadi untung kalau hasil produksi Jerman laku di pasaran. 

Apakah fasisme yang timbul sebagai anak dari kapitalisme yang turun ini menampakkan dirinya di Indonesia?Indonesia bukanlah negeri yang memiliki kapitalisme sebagai di Jerman ataupun di Italia. Sebagai negeri yang memiliki sumber alam yang melimpah, menjadikan Indonesia sebagai pemasok bahan mentah bagi negara thePower. Krisis tahun 1965 menjadikan mata uang Indonesia merosot. Demonstrasi secara tak terelakkan terjadi menyusul tuntutan untuk menurunkan Soekarno dari kursi kepresidenan yang disokong oleh militer. Setelah sang “Ratu Adil” yang diharapkan muncul dalam sosok militer Soeharto, perusahaan swasta asing bebas menanamkan modalnya di Indonesia. Sumber daya alam yang menguasai hajat hidup rakyat banyak seperti emas dan batu bara dikuasai asing. Hal ini menyusul dikeluarkannya UU PMA 1967. Indonesia menjadi pasar dengan berbagai modal asing yang ditanamkan. Akibatnya Indonesia kembali ke dalam jurang neo-Liberalisme.

Berbagai propaganda bermunculan. Di Uni Soviet, koran-koran terbit dengan propaganda A-Soeharto yang mengatakan bahwa beliau adalah seorang fasis. Di Amerika Serikat, juga bermunculan pula pada tahun 1968. Pertanyaannya bagaimana mungkin fasisme berkembang di Indonesia kalau tidak ada syarat-syarat yang memungkinkan ia bisa timbul?Apakah sosok Soeharto bisa disebut “fasis”?Tidak. Tetapi kebijakannya cenderung membawa kita ke arah neoliberalisme. Tentu kita mengharapkan bahwa negara Indonesia bisa menerapkan sistem ekonomi yang berdasarkan Pancasila yang bebas dari bentuk kapitalisme.

Sumber

Trotsky, Leon. 1944. Fascism, What Is It and How To Fight It. Pioneer Publisher

Soekarno. 1964. Di Bawah Bendera Revolusi. Jilid 1. Cet. ke-3. Djakarta: Panitya Penerbit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun