Mohon tunggu...
Erlangga Danny
Erlangga Danny Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang yang bermimpi jadi penulis

Wat hebben we meestal doen, bepalen onze toekomst. Daardoor geschiedenis is een spiegel voor toekomst. Leben is een vechten. Wie vecht niet, hij zalt in het gedrang van mensen verpletteren.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tentang Fasisme

7 Januari 2017   21:55 Diperbarui: 21 Juli 2018   06:04 2605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jerman tidak mampu untuk membeli lantaran nilai mata uangnya tak laku di pasar luar negeri. Dengan menjual barang pabriknya pun tidak mungkin, karena harus membutuhkan bahan mentah dari luar. Akibatnya penganguran merajalela dan terjadi kemisikinan. Oleh karena itulah Jerman perlu koloni sebagai pasar. Sebagai solusinya Jerman membuat alutsista secara besar-besaran. Kereta api, pesawat, tank dibuatnya. Bahkan Jerman sudah membuat pesawat jet pertama tahun 1941. Industri Jerman perlahan bangkit kembali mulai 1932. Jumlah pengangguran akhirnya berhasil dikurangi. Ini menjadi untung kalau hasil produksi Jerman laku di pasaran. 

Apakah fasisme yang timbul sebagai anak dari kapitalisme yang turun ini menampakkan dirinya di Indonesia?Indonesia bukanlah negeri yang memiliki kapitalisme sebagai di Jerman ataupun di Italia. Sebagai negeri yang memiliki sumber alam yang melimpah, menjadikan Indonesia sebagai pemasok bahan mentah bagi negara thePower. Krisis tahun 1965 menjadikan mata uang Indonesia merosot. Demonstrasi secara tak terelakkan terjadi menyusul tuntutan untuk menurunkan Soekarno dari kursi kepresidenan yang disokong oleh militer. Setelah sang “Ratu Adil” yang diharapkan muncul dalam sosok militer Soeharto, perusahaan swasta asing bebas menanamkan modalnya di Indonesia. Sumber daya alam yang menguasai hajat hidup rakyat banyak seperti emas dan batu bara dikuasai asing. Hal ini menyusul dikeluarkannya UU PMA 1967. Indonesia menjadi pasar dengan berbagai modal asing yang ditanamkan. Akibatnya Indonesia kembali ke dalam jurang neo-Liberalisme.

Berbagai propaganda bermunculan. Di Uni Soviet, koran-koran terbit dengan propaganda A-Soeharto yang mengatakan bahwa beliau adalah seorang fasis. Di Amerika Serikat, juga bermunculan pula pada tahun 1968. Pertanyaannya bagaimana mungkin fasisme berkembang di Indonesia kalau tidak ada syarat-syarat yang memungkinkan ia bisa timbul?Apakah sosok Soeharto bisa disebut “fasis”?Tidak. Tetapi kebijakannya cenderung membawa kita ke arah neoliberalisme. Tentu kita mengharapkan bahwa negara Indonesia bisa menerapkan sistem ekonomi yang berdasarkan Pancasila yang bebas dari bentuk kapitalisme.

Sumber

Trotsky, Leon. 1944. Fascism, What Is It and How To Fight It. Pioneer Publisher

Soekarno. 1964. Di Bawah Bendera Revolusi. Jilid 1. Cet. ke-3. Djakarta: Panitya Penerbit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun