Mohon tunggu...
Erlanda Juliansyah Putra
Erlanda Juliansyah Putra Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Hukum Tata Negara Pascasarjana Universitas Indonesia, Presidium Forum Pascasarjana Hukum Tata Negara UI (ForpasHTNUI), Wakil Ketua Ikatan Mahasiswa Magister Hukum Universitas Indonesia (IMMH), Praktisi, dan Lawyer

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Redesain Sistem Pilkada di Indonesia Dalam Perspektif Otonomi Daerah

25 September 2014   19:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:32 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Carut marut perdebatan terhadap mekanisme pemilihan kepala daerah sudah di ujung tanduk, tepat pada tanggal 25 september 2014, penentuan akan sistem pemilihan kepala daerah ditentukan melalui sidang paripurna DPR dalam pengesahan RUU Pilkada, banyak pihak yang menyayangkan apabila sistem pemilihan kepala daerah secara langsung dikembalikan kepada DPR, namun banyak juga yang menilai usulan tersebut sudah sangat ideal diberlakukan, mengingat masih terdapatnya kelemahan pada sistem pilkada secara langsung, lantas bagaimanakah konsepsi pemilihan kepala daerah yang ideal menurut perspektif otonomi daerah di Indonesia ?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu kiranya kita merujuk kepada pemahaman akan makna demokratisasi, desentralisasi, dekonsentrasi, serta kewenangan yang terdapat didalam otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia  menekankan pentingnya prinsi-prinsip demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antar daerah berimplikasi terhadap kehidupan demokratisasi di tingkat lokal yakni penerapan pemilihan kepala daerah secara langsung.  Dengan demikian terjadi perubahan paradigma dari demokrasi  representative bergeser ke demokrasi partisivatif.  Titik berat demokrasi terletak pada partisipasi rakyat dalam menjalankan kekuasaan negara, sehingga demokrasi dimaknai secara sederhana sebagai kekuasaan dari, oleh dan untuk rakyat.

Makna demokratis dapat dikemukakan dalam dua alternatif. Pertama, pemilihan langsung oleh rakyat bagi Kepala Daerah (KDH) dan Wakil Kepala Daerah (Wakil KDH) dapat secara demokratis atau secara tidak demokratis. Kedua, pemilihan tidak langsung bagi KDH dan Wakil KDH dapat secara demokratis atau secara tidak demokratis, dengan kesimpulan  pemilihan demokratis lebih baik dari pemilihan langsung atau tidak langsung. Pemilihan KDH secara langsung tidak dapat dilepaskan dari penguatan demokrasi lokal dalam mendukung tujuan otonomi daerah. Pilkada langsung diyakini akan memberikan dampak yang signifikan terhadap pencapaian keseimbangan tata pemerintahan di tingkat lokal, yang  pada giliran berikutnya berimplikasi terhadap kualitas penyelenggaraan pemerintahan dalam pelayanan publik.

Pada dasarnya ada tiga asas pemerintahan daerah yang berkaitan langsung dengan fungsi dari kepala daerah, ketiga asas tersebut adalah asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, apabila ditinjau dari masing-masing asas tersebut maka akan terlihat pola hubungan yang terbentuk dari ketiga asas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Asas  disentralisasi lebih terfokuskan pada hal mengatur dan mengurus dengan titik konsentrasi di tingkat kabupaten/kota, sedangkan dekonsentrasi lebih terfokuskan pada hal pelimpahan kewenangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat kepada gubernur selaku pimpinan dari pemerintahan daerah yang memiliki titik konsentrasi di tingkatan provinsi, dengan kata lain KDH pada tingkat provinsi merupakan perwakilan pemerintah pusat melalui pemahaman asas dekonsentrasi.

KDH pada tingkat provinsi hanya melaksanakan kewajibannya dalam hal pelimpahan kewenangan dalam bidang penetapan strategi kebijakan dalam pencapaian tujuan progam kegiatan dan instansi vertical daerah yang tercermin di dalam asas dekonsentrasi,  dekonsentrasi tidak melahirkan local (self) government, tetapi menciptakan field administration (Leemans: 1970).  Sedangkan KDH pada tingkat kabupaten/kota melaksanakan kewajibannya dalam hal mengatur dan mengurus urusan pemerintahan daerah yang dipahami sebagai pembentukan daerah otonom sebagaimana yang dimaksud didalam asas desentralisasi.

Model pemilihan kepala daerah secara langsung berimplikasi pada peran Presiden dalam menentukan KDH, Presiden tidak dapat menindak KDH yang melakukan kebijakan bertentangan dengan kebijakan pusat, padahal apabila ditinjau dari segi ruang lingkup dekonsentrasi pemerintah pusat memiliki pola hubungan yang sangat erat dengan pemerintahan daerah yang mencakup beberapa aspek strategis mulai dari penyelenggaraan, pengelolaan dana, pertanggungjawaban dan pelaporan,  pembinaan dan pengawasan, pemeriksaan, serta sanksi.   pemilihan KDH secara langsung memberikan akses yang terbatas kepada pemerintah pusat untuk dapat melakukan keseragaman program di daerah, hal ini semata hanya dipahami pada konsep desentralisasi saja,dari perspektif makro, pencanangan tujuan desentralisasi merupakan salah satu faktor yang menimbulkan gejala over centralization , yang menimbulkan ancaman terhadap persatuan bangsa. Karena kondisi tersebut, maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang pemberian kewenangan pada Gubernur untuk mengendalikan daerah, namun ketentuan ini tetap tidak berpengaruh besar kepada pola hubungan yang terbentuk antara pemerintah pusat dan daerah.

Pemilihan kepala daerah secara langsung memberikan legitimasi politis terhadap kekuasaan pemerintahan daerah yang dipandang sebagai legitimasi subyek kekuasaan  salah satunya dengan membuat peraturan perundang-undangan dan peraturan bagi masyarakat daerah otonom yang tidak seragam. Dalam kontek demokrasi, yang dimaksudkan legitimasi politis adalah legitimasi demokratis yang berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat. Legitimasi ini kemudian dimanfaatkan untuk mempertahankan egosentrisme pemerintahan daerah terhadap pemerintah pusat dengan dalil memperjuangkan kepentingan rakyat di daerah, sehingga pemerintah pusat berada di posisi tawar yang lemah.

Ditinjau dari segi pelaksanaannya, pemilihan KDH secara langsung, sering menimbulkan permasalahan, Rahman (dalam buku Bhenyamin Hoessein; 2011) mencoba menyuguhkan berbagai masalah tersebut dari enam indikator. Pertama, pelaksanaan Pemilukada menimbulkan biaya yang sangat besar sehingga memberatkan APBD. Kedua, terjadi money politics dan bahkan lebih mencolok dari pada Pemilihan KDH oleh DPRD. Ketiga, potensi konflik horizontal di masyarakat sangat tinggi. Keempat, banyak peserta Pemilukada yang bermasalah hukum dengan status tersangka (dalam kasus korupsi). Kelima, terjadi kecenderungan minimnya kemampuan KDH yang terpilih. Keenam, kerap terjadi penyalah gunaan wewenang oleh KDH yang terpilih dan calon yang berstatus Incumbent.  Keenam permasalahan tersebut dapat dijadikan patokan sekaligus tolak ukur untuk menilai pelaksanaan pemilihan KDH secara langsung masih meninggalkan beragam persoalan, terutama mengenai pola hubungan yang terbentuk antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Mekanisme pemilihan KDH secara langsung dinilai melemahkan posisi tawar pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah terutama daerah provinsi, untuk itu perlu adanya suatu mekanisme redesaian pemilihan KDH yang ideal menurut perspektif otonomi daerah sebagai wujud perimbangan wewenang yang terdapat diantara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Salah satunya dengan mengadakan mekanisme pemilihan KDH yang berbeda antara provinsi dan kabupaten/kota. Pada tingkatan provinsi pemilihan KDH dapat dilakukan melalui mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD mengingat peran dan fungsi KDH provinsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah sebagai cerminan dekonsentrasi, sedangkan pada tingkatan kabupaten/kota pemilihan KDH dapat dilakukan secara langsung dikarenakan titik tekan desentralisasi terletak pada kabupaten/kota sehingga pelaksanaan demokratisasi tetap berjalan sesuai dengan semangat pelaksanaan penyelenggaraan otonomi daerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun