Dari kejauhan aku melihat Ibu sudah menunggu di samping motor dengan belanjaan yang lumayan banyak. Aku berjalan gontai ke arahnya.Â
"Kamu ini keluyuran ke mana saja? Tidak ada gadis bak model di pasar ini, tidak perlu keluyuran cari jodoh di sini," Ibu langsung menyerocos saat aku tiba. Dia tidak tahu saja, anaknya ini baru saja kemalangan.
"Kenapa pula wajahmu seperti itu, sudah seperti habis kecopetan saja."Â
"Iya, Bu, iya. Aku baru kecopetan di dalam." Ibu terperangah sepersekian detik.Â
"Kok bisa? Apanya yang dicopet, bagaimana kejadiannya?" Ibu bertanya dengan wajah panik. Maka aku yang masih dengan wajah lelah ini bercerita tentang tragedi pencopetan tadi dengan lengkap, sambil duduk di warung bakso. Perut ini butuh diisi bukan?Â
"Sudah, tidak apa-apa ikhlaskan saja, mungkin sudah nasib sialmu hari ini, dan rezeki copet itu." Ibu terlalu pasrah untuk yang rezeki copet. Tapi perkara ikhlas itu omong kosong, ikhlas hanya mudah diucapkan, praktiknya sulit sekali.Â
Setelah menghabiskan satu mangkuk bakso dengan Ibu, urusan copet tadi mulai terlupakan. Sedikit, selebihnya mengingat kartu-kartu dan uang di dalamnya, huhhfff ..., harus segera diurus.Â
Sesampainya di rumah aku mengangkat belanjaan Ibu ke dapur. Dia ternyata tidak hanya membeli Tahu, Tempe kali ini, juga ada beberapa buah segar di plastiknya. Perkara copet tadi, membuatku jadi tidak bekerja. Ya sudah aku menghubungi Bos, bilang kalau aku demam tidak sempat izin mengabari. Untungnya Bosku ini baik, dia memaklumi dan memberiku izin dua hari.Â
Dan aku uring-uringan sepanjang malam menginap dompet itu. Lebay kalian bilang? Tidak, ini tidak lebay. Coba kalian yang kecopetan dengan uang ratusan ribu di dompet dan kartu-kartu berharga, pasti juga sepertiku sekarang.
Lupakan sejenak, kita istirahatkan dulu badan, agar besok kembali segar bugar.
******