Mohon tunggu...
Erka Ray
Erka Ray Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Mempunyai nama pena Erka Ray, kelahiran Januari 2003, di Kabupaten Sumenep Madura Jatim. Mempunyai cita-cita sebagai penulis semenjak kelas 4 SD. Mulai nekad mempublikasikan karyanya sejak 2019 lalu. Orangnya sering gabut. Kalau udah gabut, nulis. Kalau lagi sok sibuk, lupa nulis. Hasil gabutnya sudah ada 4 buku solo dan 7 buku antologi puisi yang gak pernah dia beli. Dan rencana gabutnya masih banyak lagi. Makanya beli bukunya Erka biar tau. 🥱😴

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Tidak Sama Rata"

6 Agustus 2022   16:31 Diperbarui: 7 Agustus 2022   23:55 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini matahari terik sekali padahal masih pagi begini. Di kotaku kehidupan sudah mulai menggeliat sejak azan subuh berkumandang. Orang-orang yang memang kesehariannya bekerja pasti sudah mulai bangun untuk menghadap Tuhan-Nya dan bersiap-siap untuk berangkat kerja.

Seperti aku yang kesehariannya kerja di salah satu perkantoran di kota kami. Dengan kantor yang berdiri gagah, pegawai yang rapi, wangi nan klimis, ruangan ber-AC dingin. Bagaimana kulitku tidak putih jika berada di ruangan ber-AC seperti ini. 

Kulit yang dulunya hitam sekarang sudah putih begini, tidak perlu perawatan cukup ber-AC. Tapi sebelum ke kantor, seperti biasa Sang Nyonya, Ibuku lebih tepatnya, sudah mengomel dari jam 5 pagi minta diantarkan ke pasar. Bilang nanti kesiangan, nanti kehabisan ikan segar, sayur segar, nanti tempe yang bagus ludes. Ini nih hanya bualan Ibu saja. Padahal yang jualan kan banyak. 

"Sudah cepat, Andi. Kamu mau makan enak tidak hari ini," ucap Ibu sambil menepuk punggungku, mana keras sekali, kan sakit. Soal makan enak itu hanya bualan. Menu masakan ibu setiap harinya sama aja. Tempe, Tahu, Sayur. Katanya biar sehat. Padahal gajiku setiap bulannya yang kuberikan separuh padanya cukup untuk ganti menu jadi ayam panggang misalnya. Tapi lagi-lagi Ibu membual, biar hemat katanya.

"Iya iya, Bu. Ini sedang dinyalakan motornya." 

"Cepat dong, nanti kita kehabisan Tahu yang besar-besar. Kan kamu sudah tahu sekarang Tahu udah makin kecil potongannya, dulu saja harga satuannya Lima ratus rupiah sudah besar. Sekarang sudah seribu kecil pula." Ibu terus menyerocos sambil naik ke jok belakang. 

"Itu kan dulu, Bu, tentu beda dengan sekarang yang apa-apa sudah mahal. Dari bahan pokoknya saja sudah mahal." Ibu mah kurang paham soal itu, maunya murah terus. 

Aku mulai melajukan motor. Di arah timur sana matahari mulai muncul malu-malu, tapi cukup membuat daun-daun tidak sabaran menunggu. Angin sepoi-sepoi ini terasa dingin di pagi hari begini. 

Sebenarnya jarak antara pasar dan rumahku tidak terlalu jauh, tapi berhubung Ibu sudah tua, sering sakit pinggang, lutut dan semacamnya, jadilah dia manja sekali minta diantar. Padahal kan bisa sekalian lari pagi biar sehat.

"Halah, bual saja itu soal apa-apa makin mahal. Hutang negara kita saja yang makin numpuk tiap harinya. Dengan embel-embel memberi bantuan pada rakyat kecil berupa uang atau bahan pokok. Tapi harga bahan pokok dan makanan yang lain malah naik melonjak. Padahal pejabat itu tidak tahu, kalau bantuan-bantuan itu tidak pernah merata, bahkan ada yang salah sasaran. 

Yang punya mobil dapat bantuan ini itu, hidup terpenuhi. Yang Yatim malah dicabut bantuannya dengan embel-embel sudah melewati batas usia. Entah aparat Desa ini sehat atau tidak otaknya." Wah ternyata Ibu masih membalas perkataanku tadi, dan ini malah ngelantur sampai ke aparat Desa yang tidak amanah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun