PART 1
Hari ini tanggal 12 Juli, hari Senin pagi. Hujan di kota ini. Sejak pagi mendung terlihat membungkus langit kota, berkabut sepanjang penglihatan. Padahal kemarin sore langit masih cerah, dan seharusnya hari ini juga cerah. Secerah kota yang menjemput kehidupan baru. Tapi cuaca memang seperti itu, suka berubah-ubah, kayak hati, kayak perasaan. Tapi ada kok perasaan yang mengkal tidak mau berubah, perasaan yang sudah mengakar hebat untuk seseorang.
Tunggu, kenapa jadi membahas perihal perasaan. Lagipula cerita ini bukan hanya tentang hujan. Lihat, gadis dengan balutan gamis warna maroon dan hijab berwarna hitam tampak menutupi kepalanya. Dia sedang tergesa-gesa, keluar dari rumahnya menuju jalan raya.
Rumahnya memang tidak jauh dari jalan raya, cukup jalan kaki sebentar lalu sampai. Dia menunggu Bus. Padahal hari ini sedang hujan, meski sudah gerimis. Tapi tentunya orang-orang sedang malas untuk bepergian ke manapun jika hujan.
Akan tetapi lagi-lagi ini perihal tugas. Gadis ini bernama lengkap Ririn Ariyani. Yang saat ini sedang menempuh pendidikan S1 nya di sebuah perguruan tinggi di kota lain, dan pagi ini sedang ada agenda yang memang mengharuskannya untuk menembus hujan.
Setelah berdiri cukup lama, akhirnya Bus antar kota itu datang. Dengan isi Bus yang lumayan penuh, dia terpaksa duduk di kursi paling belakang. Padahal sedang hujan-hujan begini tapi orang-orang sudah berkeliaran di mana-mana. Sepanjang perjalanan, mulai terlihat hiruk-pikuk kehidupan. Dalam hidup kita memang harus bergerak untuk lebih maju. Ya iyalah, kalau gak maju berarti gak gerak.
"Mau ke mana, Mbak?" Kernet Bus terlihat memegang karcis dan tumpukan uang dengan berbagai nominal, seraya bertanya.
"Terminal, Pak." Gadis itu menyebutkan tujuan sambil menyerahkan uang sepuluh ribuan. Memang segitu tarifnya. Jarak kota gadis itu dengan terminal tidak terlalu jauh, tapi tetap saja membuat pantat kebas jika sudah duduk dalam Bus.
Suara dering handphone tiba-tiba membuyarkan lamunan.
"Rin, ada di mana?" Tanpa pembuka, tanpa salam, orang di seberang sambungan sana langsung nyerocos bertanya.
"Aku udah nunggu kamu dari tiga puluh menitan nih. Kamu lama deh, aku sampek kehujanan dua kali tau." Orang di seberang sana tidak memberikan jeda bagi gadis yang dipanggil Ririn itu menjawab.
"Iya iya, ini masih di Bus, sabar doang. Kamu kira aku gak kehujanan. Mana Busnya pengap sekali," ucap Ririn. Tatapannya masih fokus pada kesibukan jalanan. Meski dia takut hujan, tetap saya hujan dengan latar jalanan selalu mempesona di matanya.
"Mohon maap, Ibuk, jangan curhat sekarang. Mending kamu suruh supirnya ngebut deh. Malesin banget ke kampus pas lagi hujan begini. Kurang rajin apa coba aku jadi mahasiswi." Teman Ririn yang bernama Lisa ini tingkat kesabarannya memang begitu, dia sering tidak sabaran.
"Gila ya? Disuruh ngebut, kamu pengen aku langsung jurusan akhirat ya? Ada-ada saja. Udah tunggu aja di gerbang kampus." Telfon itu masih terus tersambung, saling sanggah-menyanggah antara orang yang ribut soal kehujanan, bilang dengan berat hati ke kampus saat hujan. Padahal jika seseorang sudah menyukai sesuatu, jangankan hujan, apapun itu akan dia lakukan demi sesuatu yang dia senangi itu. Bahasa kasarnya sih berkorban.
Sambil lalu Bus sudah dua kali berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, salah satunya adalah ibu-ibu yang kerepotan dengan membawa anaknya yang masih kecil dan tas serta kardus. Barang bawaannya terlalu banyak jika sendirian. Kernet Bus sibuk membantu. Yang tidak enak saat naik Bus itu, baru juga naik belum duduk Bus nya sudah berangkat. Jika tidak bisa menjaga keseimbangan, pasti sudah oleng kanan kiri.
Salah satu penumpang Bus sibuk berbincang dengan rekannya. Tertawa-tawa.
"Hanya ini cuaca sedang tidak baik. Dua hari terakhir malah dingin, sudah sedingin es. Yang begini nih, yang bikin tubuh rentan sakit. Lihat, saya saja sudah flu." Rekannya mengangguk mengiyakan.
"Tapi adanya hujan ini juga disebut hikmah. Rahmat Tuhan yang harus disyukuri. Repot sih jadi manusia, diberi hujan ngeluh minta panas. Saat dikasih panas malah ngeluh lagi, gerah lah, inilah, itulah, minta hujan biar dingin. Bukannya mensyukuri yang Tuhan berikan. Syukur-syukur sudah diberi cuaca yang tidak ekstrim. Repot ntar kalau diberi badai," ucap Bapak yang satunya.
"Oy, pandai sekali kau beromong bijak. Kurang berkaca diri. Diri sendiri juga sibuk mengeluh. Sudah urus diri sendiri, jangan malah sibuk mengurus orang lain," ujar rekannya itu.
Obrolan keduanya masih terus berlanjut, sembari menghilangkan rasa bosan di Bus karena kota tujuan masih jauh.
Bus lagi-lagi berhenti, kenaikan penumpang. Seorang pemuda dari usianya masih terbilang muda. Berbaju Koko dan sarung rapi dengan warna senada. Membawa tas punggung, pasti berisi pakaian dan kardus yang dijinjingnya. Khas orang yang bepergian jauh.
Pemuda itu duduk di samping gadis itu. Tak lama kernet Bus menghampiri. Menanyakan kota tujuan. Pemuda itu menyebutkannya. Kernet Bus menyebutkan tarif, transaksi mulai berlangsung, uang lima puluh ribu segera berpindah tangan.
Kalian percaya sebuah kebetulan yang memang benar-benar kebetulan? Disitulah kebetulan itu terjadi. Ada yang memang sudah digariskan oleh Tuhan untuk bertemu. Tempat, waktu dan suasana sudah disetting sedemikian rupa oleh Tuhan. Kita hanya akan menjadi tokoh yang berperan dalam cerita itu.
"Mau kemana, Pak?" Pemuda itu bertanya pada bapak-bapak paruh baya yang duduk di samping kanannya. Dan di gadis itu duduk di samping kirinya.
"Ke Mojokerto, Nak. Kamu sendiri mau ke mana?" Bisa apak itu bertanya balik.
"Ke Jombang, Pak." Pemuda itu tersenyum.
"Wah cukup jauh juga ya." Percakapan itu masih berlanjutnya dengan dua pertanyaan lagi. Khas sekali bagi orang yang suka basa-basi.
Gadis di samping pemuda itu diam saja. Acuh dengan sekitar. Lagipula dia tidak terlalu suka menyapa orang di sampingnya saat naik Bis. Dia memilih sibuk dengan handphone di tangannya. Meski tidak tahu apa yang harus dibuka di handphone-nya, sedangkan telfon dari temannya yang bernama Lisa itu sudah terputus dua puluh menit yang lalu.
"Mbak mau kemana?" Tiba-tiba pemuda itu menyapa. Basa-basi sekali. Gadis itu terperangah.
"Terminal, Mas," jawabannya singkat. Basa-basi kadang memang perlu, tapi kalau terlalu panjang nanti tinggal basinya doang.
"Masnya sendiri mau ke mana." Gadis itu juga ikutan basa-basi bertanya. Biar sekalian basi.
"Ke Jombang, Mbak, mau ke pesantren. Mbak nya ini aslinya dari mana?" Gadis itu menyebut kotanya.
Lama mereka saling diam, sibuk dengan handphone masing-masing. Si gadis merasa tidak perlu melanjutkan percayakan. Tapi ternyata ada yang diam-diam juga ingin terus melanjutkan pertanyaannya. Baginya, menangkap perasaan baru itu menyenangkan. Tapi ini tidak bisa disebut perasaan, pemuda itu masih tidak bisa menentukan maksud hatinya.
"Mbak ke sana ada urusan apa?" Ini masih termasuk dari basa-basi penumpang Bus. Pemuda itu terus mencari topik pembicaraan sambil memecah lengang di antara mereka, pasalnya mereka saat ini duduk bersebelahan, tapi tidak rapat ya. Masih ada jarak. Sementara gadis itu, terlihat biasa saja. Dia memang tidak suka berbasa-basi.
Sementara hujan di luar mulai reda, meski mentari masih enggan untuk muncul.
"Bagus Mbak ambil jurusan hukum, memang hukum di Indonesia ini perlu dibenah dari banyak aspek. Miris sekali jika melihat nenek yang mengambil kayu di kebunnya sendiri tapi masih di pidana."
Gadis itu hanya tersenyum. Bingung mau menanggapi apa. Si gadis itu beharap, pemuda ini paham jika dia tidak suka terlalu banyak bicara.
"Bisa tukeran Instagram, Mbak?" ucap pemuda itu selang beberapa menit kemudian. Ririn gadis itu menyebutkan akunnya. Lumayan lah nambah followers, benaknya.
Dari situ Ririn tau, jika pemuda di sampingnya ini mempunyai nama lengkap, Muhammad Zidan Al Fatih. Nama yang bagus, entah apa artinya. Tapi setiap orang tua memberikan nama bagi anaknya tentu ada doa yang disematkan di dalamnya.
Di akun Instagram itu, ternyata pemuda ini seorang hafidz penghafal Al-Qur'an, sering membagikan konten-konten dakwah dan shalawat. Ririn akui suaranya bagus. Tidak bikin sakit telinga.
Sayangnya kisah di Bus ini harus terputus. Bus udah memasuki gerbang terminal, Ririn harus turun berjalan sedikit untuk sampai pada kampusnya.
"Sudah sampai terminal, Mas. Saya turun duluan ya. Assalamualaikum," ucap Ririn mengakhiri pertemuan singkat mereka.
Pemuda itu menjawab salamnya pelan, hampir tidak terdengar. Ririn sudah terlanjur turun. Berlari-lari kecil di antara pedangan asongan yang juga tergesa-gesa menuju Bus untuk menawarkan dagangannya.
"Semoga bertemu lagi." Ada yang diam-diam menaruh harap dalam hati.
BERSAMBUNG.....
Ditulis Di Sumenep, 28 Juli 2022
*****
Jika berkenan kasih kritik dan saran untuk memperbaiki tulisan saya. barang kali ada typo dan kesalahan-kesalahan lainnya di dalam cerbung ini.
Cerbung ini tidak akan panjang, hanya akan terdiri dari beberapa bagian saja.
Terima kasih yang sudah mampir membaca. ☺️🙏🙏
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H