Mohon tunggu...
Rohmatul Jamilah
Rohmatul Jamilah Mohon Tunggu... Guru - Guru

Tak ada perjuangan yang sia-sia. Tetap semangat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Emakku, Panutan, dan Guru Sejatiku

6 Desember 2020   13:35 Diperbarui: 6 Desember 2020   13:57 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai seorang anak petani di desa, yang terlahir pada zaman negara ini baru merdeka, emak tak punya kesempatan menyelesaikan pendidikan umum meski hanya setingkat Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar. 

Emak hanya memiliki kesempatan menuntut ilmu di sebuah Madrasah Ibtidaiyah dan tempat mengaji dekat rumah mbah Kung. Jadilah emakku buta huruf latin namun melek huruf hijaiyah.

Emak pernah bilang bahwa mbah Kung tak suka anaknya sekolah umum karena itu warisan penjajahan Belanda. Yang terpenting anak-anak mbah Kung wajib mematangkan mendidikan agama, sebab menyiapkan bekal untuk kehidupan di akhirat itu lebih penting. Pandangan ini yang ditekankan oleh mbah Kung kepada anak-anaknya, termasuk emakku.

Tidak demikian dengan emak. Meski beliau buta huruf latin, namun pandangan, pemikiran, dan cita-citanya tidak kalah dengan orang-orang yang bersekolah tinggi. 

Kepandaiannya membaca kitab-kitab yang ditulis dengan huruf arab atau biasa disebut pegon, mampu memberinya kesempatan membuka cakrawala berpikir melalui pengetahuan agama yang dibacanya. Emakku sadar akan pentingnya pendidikan bagi putra putrinya. 

Meskipun begitu, beliau juga tak mau menghilangkan pengajaran dari mbah Kung. Kami semua wajib memulai pendidikan dasar di madrasah lebih dulu. 

Padahal di tempat kami, MI/SDI terdekat termasuk sekolah yang biayanya bisa dikatakan mahal dibandingkan dengan sekolah negeri. Tapi kegigihan emak tidak mau bergeser sedikitpun. 

Keyakinannya pada sesuatu yang dianggapnya benar, begitu besar dan kuat. Jadilah kami sebagai pelanggan tetap rumah pak RT dan RW setiap tahun, untuk meminta surat keterangan tidak mampu agar mendapatkan keringanan bayar ataupun bebas SPP. 

Sejak menikah, bapak mengajak emak untuk merantau. Keluar dari desa kelahiran dan  mencoba peruntungan di tempat lain. Awalnya bapak dan emak ditampung sementara oleh seorang kerabat yang tinggal di daerah Singosari, Kabupaten Malang Jawa Timur. Untuk selanjutnya tentu saja bapak dan emak harus mandiri. Jadilah kami keluarga (:kontraktor), ngontrak sana ngontrak sini. 

Saya ingat waktu kecil sering diajak berpindah-pindah rumah dan bertemu dengan teman baru. Saya dan kakak tak selalu bisa bermain seperti mereka. Sepulang sekolah saya harus menjaga adik-adik, sementara kakak membantu emak bekerja membuat aneka gorengan dan cemilan yang akan dititipkan di warung-warung. 

Bapak yang hanya pedagang es keliling, penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Ditambah lagi hampir tiap dua tahun sekali emak melahirkan anak. Yah, waktu itu, hukum mengikuti program KB kan masih menjadi perdebatan antara pemerintah dan ulama. Jadilah kami keluarga besar yang hidup kekurangan.

*******

"Emak akan berjuang untuk sekolah kalian, tidak usah minder meskipun kita miskin dan rumah kita jelek. Emak dan bapak hanya bisa mewariskan ilmu. Tidak bisa mewariskan harta pada kalian. Dengan ilmu itulah kalian bisa memiliki harta kelak. Tuhan akan membersamai dan meridai hambanya yang berjuang dalam menuntut ilmu. Sebab menuntut ilmu itu perkara wajib, Nak." Kata-kata emak ini masih membekas kuat dalam memori ingatanku. 

Kata-kata itu disampaikan waktu kakakku naik kelas 6. Emak berpesan agar kami belajar dengan sungguh-sungguh untuk bisa diterima di sekolah-sekolah negeri setelah menamatkan pendidikan dasar di madrasah. Semangat emak mengajarkan kami tentang kemandirian, tanggung jawab, kedisiplinan, kegigihan, dan semangat dalam berjuang. 

Selain harus giat belajar dan juga membantu emak bekerja sebisa mungkin, kami juga harus berupaya untuk mendapatkan biaya sekolah sampai tinggi. Karena itulah kami berusaha untuk mendapatkan beasiswa sebagai siswa yang berprestasi di sekolah.

*******

Bapak berpulang waktu adik terkecil kami masih berusia lima tahun. Kakak tertuaku sudah tamat S1 dan sudah bekerja. Hanya aku yang sudah berkeluarga waktu itu. Setamat Diploma 3 IKIP Malang, aku menjadi guru honorer di sebuah sekolah swasta. Satu tahun berikutnya Tuhan mempertemukanku dengan jodoh yang juga tenaga honorer. 

Anak pertama kami masih berusia dua tahun waktu kakeknya meninggal dunia. Bersyukur suami tidak keberatan jika saya harus tetap membantu emak dan kakak dalam membiayai sekolah adik-adik, meski untuk menutup kebutuhan keluarga kami sendiri pun mungkin masih dirasa kurang. Namun semua ilmu dan tauladan yang emak ajarkan kepada kami tidaklah sia-sia. Dengan memberi dan berbagi, maka keperluan kita sendiri akan dicukupi oleh Alloh dari jalan yang tak pernah disangka-sangka.

Pernah suatu ketika, aku bingung dan linglung sebab tak tahu harus berbuat apa untuk sesaat. Waktu itu aku masih kuliah dan harus tinggal indekos, sebab jarak rumah dengan kampus tidak memungkinkan untuk perjalanan pulang pergi. Biasanya aku pulang di akhir bulan untuk menengok keluarga dan mengambil biaya hidup selama satu bulan di tempat indekos. Meski tidak seberapa namun momen ini cukup bagiku untuk melepas rindu pada emak, bapak, dan saudara. 

Tiba-tiba datang teman satu kampung yang menyampaikan titipan dari emak. Sebuah amplop yang tertutup rapat.  Buru-buru kubuka dan kulihat isinya. Aku terduduk lemas saat aku tahu apa isinya. Sepucuk surat dengan tulisan pegon yang isinya permintaan maaf emak bahwa bulan ini emak hanya bisa memberikan separuh saja dari jatah uang sakuku. 

Kebutuhan adik-adik lebih mendesak untuk didahulukan. Aku harus banyak puasa dan ngirit katanya. Ya Alloh, diberi penuh saja hanya cukup buat makan. Aku tak pernah bisa ikut jajan bersama teman-teman, apalagi hanya separuh. Di akhir surat, emak memberikanku keyakinan bahwa Alloh tidak akan meninggalkan hambanya yang sabar dan tawakkal.  

Aku menghela napas panjang. Pelajaran hidup yang emak berikan selama ini mengajarkanku untuk kuat. Dan benar saja, hari itu juga seusai sholat berjamaah di masjid, seorang ibu menawariku untuk memberikan privat mengaji buat kedua anaknya di rumah. Subhanalloh, ibu itu baik dan dermawan. Selain diberikan gaji privat, aku juga sering diajak makan di sana atau kadang diberi oleh-oleh hingga aku tak harus minta jatah bulanan lagi kepada emak. Satu lagi pelajaran yang emak berikan berpengaruh besar dalam hidupku.

Emakku yang menjadi single parent telah berhasil mengantarkan delapan putra -putrinya menjadi orang sukses dengan rasa persaudaraan yang kuat, sebab kami ditempa pada kondisi yang sama. Emak tidak pernah memikirkan tentang kebahagiannya selain kebahagiaan putra-putrinya. Namun saya tahu, keinginannya untuk bisa menunaikan ibadah haji begitu besar meski tak pernah dia katakana pada kami anak-anaknya. Terbersit keinginanku untuk bisa menabung dan mendaftarkan emak berhaji meskipun aku dan suami masih sama-sama sebagai tenaga honorer waktu itu.

Berkat doa emak, tahun 1997 suamiku diangkat sebagai pegawai tetap BUMD, dan tahun 2008 aku menjadi CPNS guru. Karena terbiasa hidup sederhana maka kami tidak merubah pola hidup. Atas persetujuan suami, tahun 2009 aku mendaftarkan emak berhaji dengan dana talangan. Emak harus menunggu selama 7 tahun lebih untuk bisa berangkat. 

Tahun 2014 aku dan suami juga mendaftar haji dengan estimasi 2030. Tahun 2017 emak mendapat panggilan haji di usia 72 tahun. Sementara kondisinya sudah mulai menua dan harus dibantu kursi roda tidak memungkinkan untuk berangkat haji sendiri. Subhanalloh, satu lagi pelajaran yang emak berikan kepadaku memberikan bukti. Aku yang estimasi haji berangkat tahun 2030, berkesempatan mendampingi emak berhaji di tahun 2017. Hanya perlu tiga tahun daftar tungguku berkat emak. Alloh memberiku kesempatan lebih cepat dibandingkan yang lain.

Kini emak telah damai di sisih Alloh SWT, empat bulan setelah menunaikan ibadah haji bersamaku. Namun semua ajaran yang emak berikan, akan tetap hidup pada kami anak-anak emak. Dan akan kami wariskan kepada cucu-cucu, serta buyut-buyut emak. Terimakasih atas semuanya ya, Mak.

Malang, 6 Desember 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun