Mohon tunggu...
erizka dwi amelia
erizka dwi amelia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Student of psychology at Muhammaddiyah Malang University

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Fenomena Maraknya Self Diagnosis Kesehatan Mental Generasi Z.

20 September 2022   23:02 Diperbarui: 20 September 2022   23:06 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

NAMA: Erizka Dwi Amelia
NIM    : 202210230311274

Dewasa ini, sumber informasi yang paling sering diakses oleh khalayak, yakni media sosial. Media sosial adalah salah satu media penyebaran informasi wajib bagi masyarakat, khususnya kalangan generasi Z. Hal tersebut disebabkan oleh cepatnya penyebaran informasi dan selalu menyajikan kabar yang ter up to date. 

Namun informasi yang tersebar di media sosial tidak sepenuhnya dapat dipercaya serta dapat dibuktikan kebenarannya. Hal tersebut disebabkan oleh kebebasan setiap orang dalam mengunggah berita atau konten pribadi, serta menggunakan media sosial. Informasi yang diberikan tidak sepenuhnya benar. 

Adapun informasi mengenai kesehatan mental yang sering kali tersebar di media sosial dapat menambah wawasan khalayak, khususnya Generasi Z. Wawasan tersebut dapat menimbulkan perilaku self-diagnosis bagi sebagian remaja. Kerap kali, kurangnya pemahaman remaja mengenai informasi yang telah diterima, dapat meningkatkan rasa ingin tahunya, sehingga menerapkan perilaku self-diagnosis. Informasi yang rancu serta tidak memiliki sumber yang jelas dapat menyebabkan miskonsepsi literasi generasi Z.

Adapun menurut White dan Horvitz (2009) self-diagnosis merupakan salah satu upaya untuk menentukan bahwa diri sendiri sedang mengidap suatu penyakit berdasarkan informasi yang diketahui, tanpa melakukan pemeriksaan terhadap tenaga profesional. Akibat yang ditimbulkan setelah melakukan self-diagnosis yaitu salah diagnosis, sehingga penanganan yang diberikan menjadi kurang tepat. 

Oleh sebab itu, dapat memicu gangguan kesehatan yang lebih parah. Selain itu, self-diagnosis dapat memicu gangguan kepanikan dan kecemasan (Persada, 2021) karena seseorang terlalu banyak mencari dan mengetahui informasi yang ada di internet. 

Dampak negatif dari kecemasan yang berlebih tersebut adalah melakukan kegiatan tertentu yang terus diulang, takut tanpa alasan, serta serangan panik yang tidak lazim. Berdasarkan dampak negatif tersebut, dapat diketahui bahwa self-diagnosis dapat menjadi salah satu alasan seseorang mengalami gangguan kesehatan mental (Diferiansyah, 2016). Selain itu, kurang percayanya seorang pasien terhadap dokter, juga menjadi salah satu penyebab dari self-diagnosis (Kim & Kim, 2009).

Adapun selama pandemi COVID-19, dilansir dari Kompasiana.com self-diagnosis di kalangan remaja mengalami peningkatan. Banyak dari mereka mengaku mengalami gangguan kesehatan mental dan menyebarluaskan pada platform media sosial padahal hal tersebut hanya hasil dari self-diagnosis (Kurnia, 2021). 

Adapun penyebab dari hal tersebut, yakni rasa kesepian selama isolasi mandiri di awal pandemic COVID-19. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan tindakan remaja yang cenderung mencari perhatian atau menjadi centre of attention. Oleh sebab itu, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah dan meminimalisir terjadinya self-diagnosis pada seseorang khususnya seorang remaja, yakni mengenal beberapa ciri diri yang sehat secara mental. 

Beberapa tanda tersebut, yakni menjadi produktif, mampuh berkontribusi terhadap lingkungan, dan dapat mengendalikan stress diri sendiri. Selain itu, perilaku memperhatikan diri sendiri dan orang sekitar juga sangat diperlukan selama pandemi COVID-19 agar mengurangi rasa kesepian antar individu dan orang sekitar. Jangan biarkan orang lain merasa sendirian, karena rasa kesepian dapat memicu gangguan emosional yang berlebihan.

Daftar Pustaka

Diferiansyah, O., Septa, T. & Lisiswanti, R. (2016). Gangguan cemas menyeluruh. Jurnal Medula Unila, 5(2), 63-68. https://juke.kedokteran.unila.ac.id/i ndex.php/medula/article/view/1510/pdf

Kim, J., & Kim, S. (2009). Physicians' perception of the effects of Internet health information on the doctor-patient relationship. Informatics for Health and Social Care, 34(3), 136--148. https://doi.org/10.1080/17538150903102422

Kurnia, R. (2021, Oktober 18). Tren self-diagnose mental illness berbahaya? Kompasiana.https://www.kompasiana.com/rahmakns/616d26357711b616b27a1952/tren-self-diagnosis-mental-illness-berbahaya

Persada, I. B. (2021, November 23). Dampak buruk self-diagnosis gangguan kesehatan mental. KlikDokter. https://www.klikdokter.com/info-sehat/read/3653327/dampak-buruk-self-diagnosis-gangguan-kesehatan-mental

White, R. W., & Horvitz, E. (2009). Cyberchondria: Studies of the escalation of medical concerns in web search. ACM Transactions on Information Systems, 27(4), 1-37. https://doi.org/10.1145/1629096.1629101

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun